aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'
'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kembali berulah
Malam itu, suasana di ruang makan terasa sedikit berbeda. hanya ada Alda, Ibu mertua, dan Ayah mertua di meja makan. sang abang Ipar tidak ada, katanya ada urusan di luar.
Alda duduk dengan tenang, sesekali membantu Ibu mertua menata lauk di meja. namun, diam-diam ia menyadari ada ketegangan yang menggantung di udara. terlebih setelah kejadian tadi siang, sejak Karina datang dan melemparkan tuduhan tak masuk akal pada Rama.
Ayah Rama, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya membuka suara, "di mana suamimu?"
Alda menoleh, lalu menjawab dengan nada sopan, "mas Rama tadi masih berbincang dengan rekan kerjanya di telepon, Yah. mungkin sebentar lagi dia ke sini."
belum sempat ayahnya menanggapi, sebuah suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Rama muncul, tapi kali ini dengan penampilan yang membuat Alda langsung mengernyit bingung.
Rama tidak mengenakan pakaian santai seperti biasa. ia memakai kaus hitam, jaket kulit cokelat yang tampak klasik, serta celana jeans gelap. rambutnya tertata lebih rapi, dan ia bahkan sudah memakai jam tangan serta sepatu.
Alda langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. apalagi rama berjalan ke arah meja makan tanpa niat untuk duduk.
"mas mau mau pergi?" tanya Alda heran.
Rama menghela napas pelan sebelum menjawab, "ada keadaan mendesak di pabrik, Da. kabar kurang mengenakkan, ada maling yang tertangkap basah di sana, dan aku diminta datang ke kantor sekarang.”
Alda mengerutkan kening, "maling? malam-malam begini, Mas?"
"iya. satpam di sana sudah menangkap pelakunya, tapi mereka butuh aku untuk mengurus laporan sebelum dibawa ke pihak berwajib," jelas Rama dengan nada tenang, meskipun raut wajahnya menunjukkan bahwa ini bukan situasi biasa.
alda mengangguk paham. "kalau begitu hati-hati, mas. semoga cepat selesai."
"iya, Da. jangan tunggu aku, makanlah dulu dengan Ibu dan Ayah," kata Rama lembut.
ayahnya juga akhirnya angkat suara, "pastikan semua beres sebelum kamu pulang, Ram. itu bukan masalah ringan"
"baik, Yah," jawab Rama sambil tersenyum kecil.
setelah itu, ia berbalik dan berjalan keluar. suara mobilnya terdengar meninggalkan rumah, sementara di ruang makan, Alda dan kedua orang tua Rama melanjutkan makan dengan tenang, meskipun dalam hati berharap urusan Rama bisa selesai dengan cepat.
***
sesampainya di pabrik, suasana sudah kacau. kerumunan karyawan berdesakan di salah satu lantai, tepat di area tempat Rama biasa melakukan survei dan bekerja. suara gaduh terdengar, disertai umpatan dan kemarahan.
tanpa membuang waktu, Rama bergegas mendekati kerumunan dan berusaha menenangkan mereka. "cukup! ini sudah berlebihan! ini bukan hak kalian! biarkan pihak berwajib yang menangani kasus ini," serunya dengan suara tegas.
namun, para karyawan yang masih terbakar emosi tidak langsung diam.
"tapi pak Rama, dia pantas mendapat ganjaran ini! karena mereka, pekerjaan kita sering dicaci maki oleh atasan!"
"iya, benar! mereka itu hama pabrik!"
"pantas hasil produksi kita tidak pernah mencapai target! huh, maling!"
di tengah lingkaran itu, beberapa laki-laki terduduk lemah, babak belur akibat amukan para pekerja. wajah mereka penuh luka dan pakaian mereka lusuh. salah satu dari mereka masih meringis kesakitan, sementara yang lain hanya menunduk pasrah.
Rama mengusap wajahnya dengan satu tangan, mencoba meredakan amarahnya. lalu, dengan nada lebih tegas, ia kembali berbicara.
"sudah! sudah! kalian kembali bekerja. biarkan para satpam dan polisi yang mengurusnya! jangan bertindak di luar wewenang kalian!"
para karyawan masih tampak ragu, tetapi setelah melihat sorot mata tajam Rama, perlahan-lahan mereka mulai mundur. beberapa masih menggerutu tidak puas, tapi tak berani membantah lebih lanjut.
di saat bersamaan, beberapa petugas keamanan pabrik datang bersama pihak kepolisian. "pak Rama, kami sudah di sini. kami akan membawa mereka untuk diperiksa lebih lanjut," ujar salah satu petugas.
Rama mengangguk. "pastikan mereka mendapat perlakuan yang sesuai prosedur. jangan ada lagi kekerasan di sini."
polisi segera menggiring para tersangka, sementara rama masih berdiri di tempatnya, memandang pabrik yang kini mulai kembali tenang. dalam hati, ia tahu masalah ini belum selesai.
Rama berdiri di tempatnya, memandang pabrik yang mulai kembali tenang. namun, pikirannya jauh dari situ. dalam hati, ia tersenyum miris. masalah ini seolah menjadi pengingat bahwa hidupnya tidak pernah benar-benar tenang.
"kenapa selalu begini…?" batinnya.
satu demi satu masalah terus datang tanpa henti. perubahan sikap Raka, yang tiba-tiba menjauh dan seolah menyimpan sesuatu darinya. kehamilan Naila, yang masih belum bisa ia cerna sepenuhnya. dan sekarang, masalah di pabrik, yang mengancam pekerjaan dan kredibilitasnya.
sejak kapan hidupnya menjadi serumit ini?
Rama menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan pikirannya. ia tahu, tidak ada gunanya mengeluh. yang bisa ia lakukan hanyalah menghadapi semuanya satu per satu. tapi tetap saja, beban itu terasa semakin berat.
saat sedang tenggelam dalam pikirannya, suara salah satu petugas keamanan menyadarkannya. "pak Rama, ini dokumen laporan awal. kami akan terus berkoordinasi dengan polisi untuk penyelidikan lebih lanjut."
Rama menerima dokumen itu dan mengangguk. "baik. terima kasih. pastikan tidak ada kelalaian dalam menangani ini."
setelah memastikan semuanya terkendali, rama akhirnya melangkah pergi. ia ingin segera pulang. bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena ingin bertemu Alda. ia butuh seseorang yang bisa menjadi tempatnya bersandar, meski hanya dengan tatapan penuh pengertian dari istrinya itu.
di dalam hati, Rama tersenyum miris. masalah seperti ini seolah menjadi pengingat betapa hidupnya tak pernah benar-benar tenang.
namun di tengah lamunannya, tiba-tiba seorang pria menghampirinya.
"mas Rama, maaf untuk kejadian ini. lagi-lagi masalah pabrik mengganggu masa cuti mas Rama," kata Andre
Rama mengangkat wajahnya, lalu memasang senyum tipis untuk menyembunyikan kelelahan yang ia rasakan. "kenapa harus minta maaf, Ndre? ini sudah tanggung jawabku."
ia terdiam sejenak, lalu menambahkan dengan nada lebih tegas. "oh, satu lagi. aku sudah memangkas masa cutiku. besok aku akan kembali bekerja."
Andre menatapnya dengan bingung. "tapi, mas… masa cuti anda masih tersisa beberapa hari lagi. kenapa harus memangkasnya?"
Rama hanya menghela napas. "aku sudah cukup istirahat. lagipula, perusahaan tidak bisa terus dibiarkan begini. aku harus kembali."
melihat ekspresi Rama yang tak bisa diganggu gugat, Andre akhirnya hanya mengangguk. "baik, kalau itu keputusan mas Rama."
setelah itu, mereka berbicara lebih lanjut mengenai kondisi pabrik. Andre melaporkan bahwa para pencuri sudah diserahkan kepada pihak keamanan, dan mereka akan memperketat pengawasan ke depannya.
"bagus. besok kita bicarakan sistem keamanan baru," kata Rama sebelum akhirnya berpamitan.
saat masuk ke dalam mobil, Rama kembali menghela napas panjang. pikirannya berkecamuk. ini semua terasa melelahkan, tapi setidaknya, ia punya seseorang untuk pulang.
Alda.
mungkin, hanya dengan melihat wajah istrinya, sedikit saja beban itu akan terasa lebih ringan.
Rama mengemudi dengan pikiran penuh. setelah kejadian di pabrik, kepalanya terasa berat, tapi ia tahu tidak bisa membiarkan dirinya larut dalam masalah itu terus-menerus.
dalam perjalanan pulang, tiba-tiba ia merasa ingin membeli sesuatu di supermarket. mungkin sekadar camilan atau minuman dingin untuk menenangkan pikirannya. dengan spontan, ia membelokkan mobil ke area parkir supermarket yang cukup ramai malam itu.
namun, begitu ia menepi, matanya langsung terpaku pada sebuah motor yang tampak familiar. ia menyipitkan mata, mencoba memastikan.
"motor ini… bukan kah milik bang Raka?" rama meneliti sekitar, memastikan apakah ia tidak salah lihat.
tanpa pikir panjang, Rama hendak turun dan memanggil Raka. namun, sebelum langkahnya benar-benar keluar dari mobil, tubuhnya langsung membeku di tempat.
apa yang dia lihat sekarang benar-benar membuatnya tercengang.
di seberang tempat parkir, tepat di balik salah satu mobil yang terparkir, Raka tidak sendirian. sosok yang berdiri bersamanya adalah.., Karina.
Rama segera mengumpat pelan, lalu dengan sigap menunduk dan mencari posisi untuk mengawasi tanpa ketahuan.
"sejak kapan abang mengenal Karina?" Raka terlihat berbincang dengan Karina. tidak hanya itu, tiga ajudan Karina yang siang tadi datang ke rumahnya juga berdiri di sekitar mereka, tampak waspada.
Rama mengerutkan kening. "apa yang sebenarnya terjadi?"
pikirannya langsung berputar mencari kemungkinan. kenapa Raka bertemu dengan Karina? apa hubungan mereka? kenapa semua ini terasa semakin rumit?
dari jarak ini, Rama tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi ekspresi serius di wajah Raka membuatnya semakin curiga.
Rama menahan napas, tubuhnya tetap bersembunyi di balik mobil agar tak ketahuan. matanya terus mengamati pergerakan Raka dan Karina.
dari gestur tubuhnya, Karina tampak berbicara dengan nada yang cukup tajam, sementara Raka terlihat lebih tenang, meskipun ada raut ketegangan di wajahnya.
sesekali, Karina menunjuk ke arah Raka dengan ekspresi penuh tekanan, sementara Raka hanya melipat tangan di dada, terlihat berpikir keras.
Rama semakin dibuat bingung. "sejak kapan bang Raka mengenal Karina? apa mereka memiliki hubungan sebelum ini?"
hingga pada akhirnya tiba-tiba Karina mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu pada Raka. dari kejauhan, Rama tidak bisa melihat jelas apa yang ditunjukkan, tetapi ekspresi Raka berubah seketika.
dahi Rama semakin mengernyit. "apa yang baru saja Karina tunjukkan?"
tak lama kemudian, salah satu ajudan Karina memberikan sebuah amplop cokelat kepada Raka. Raka sempat ragu sebelum akhirnya mengambil amplop itu dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Karina lalu berbicara lagi, kali ini nadanya terdengar lebih rendah, mungkin seperti ancaman atau kesepakatan. setelah itu, Karina tersenyum tipis, lalu berbalik dan berjalan menuju mobilnya bersama para ajudannya.
Raka tetap berdiri di tempatnya, masih menatap amplop itu seolah sedang berpikir apakah ia harus membukanya atau tidak.
Rama mengepalkan tangan. ia benar-benar ingin keluar dari tempat persembunyiannya dan langsung bertanya pada Raka, tetapi ia tahu ini bukan waktunya.
"aku harus mencari tahu lebih dulu sebelum bertindak gegabah" dengan perasaan tak tenang, Rama mundur perlahan, kembali masuk ke mobilnya. ia mengurungkan niatnya untuk singgah di supermarket dan memilih menyalakan mesin dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian, lalu pergi dari tempat itu dengan kepala penuh pertanyaan.
saat mobil melaju perlahan di jalanan yang mulai lengang, Rama menggertakkan giginya. tangannya mencengkeram erat setir, pikirannya berkecamuk.
"apa yang abang lakukan dibelakang ku? Karina? jangan-jangan… selama ini mereka sudah saling kenal?"
semakin dipikirkan, semakin tidak masuk akal. Raka bukan tipe orang yang sembarangan bertemu dengan orang lain tanpa alasan yang jelas. ditambah lagi, Karina bukan orang biasa, dia adalah seseorang yang sejak awal datang membawa masalah besar dalam hidup Rama.
Rama menggeleng, berusaha mengusir pikiran itu. "tidak, tidak mungkin. bang Raka bahkan terlihat terkejut saat Karina muncul di rumah tadi siang. tapi, jika memang mereka tidak saling kenal, lalu kenapa Raka menerima amplop dari Karina? apa yang ada di dalam amplop itu? apa dia sedang diancam?"
pikiran itu membuat dada Rama semakin sesak. dia hanya bisa menghela napas berat. sembari berusaha tetap fokus menatap jalanan.