Mempelai Pengganti
Aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'
'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.
dia menghilang beberapa saat sebelum kami resmi diikat dalam janji suci. gaun putih yang seharusnya menjadi simbol kebahagiaan kini hanya bayangan kelam di benakku. aku tidak tahu apakah harus marah, kecewa, atau sekadar tertawa pahit. tapi satu hal yang pasti, pernikahan ini seharusnya tetap berjalan demi kehormatan keluarga, dan demi menghindari skandal.
sampai pada akhirnya 'dia' muncul.
salah satu sahabatku sejak kecil, perempuan yang hampir selalu ada dalam hidupku, ALDA.
dengan langkah ragu, dia mendekat. matanya menatapku penuh kebingungan dan keberanian yang dipaksakan. aku tau dia sekarang gugup, tapi dia tetap ingin berdiri di dekatku.
"biarkan aku yang menggantikannya," ucapnya lirih, cukup untuk kudengar di tengah hiruk-pikuk tamu yang masih bingung.
aku menoleh, mencari kepastian di wajahnya. ini gila! harusnya sebuah pernikahan bukan sesuatu yang bisa diambil alih begitu saja. tapi di saat semua berantakan, hanya Alda yang bisa berdiri di sampingku saat ini.
"Apa kau yakin?" tanyaku nyaris berbisik dan mirisnya justru saat ini akulah yang terlihat sangat gugup.
dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. "lebih baik seperti ini. aku tidak ingin melihatmu menanggung malu di kursi pelaminan ini sendirian Ram. biarkan aku menggantikan Nayla,,,"
dan sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, acara sudah dilanjutkan, dengan hitungan beberapa detik saja, dua panitia pernikahan berhasil membawa Alda kearah ruangan lain.
tak lama kemudian bagianku akhirnya datang, aku dipersilahkan duduk tepat di depan penghulu yang telah siap dengan baju kokoh berwarna putih terang dan peci hitam yang dia pakai.
suasana tiba-tiba menjadi hening, suara lantunan ayat suci yang sebelumnya terdengar pelan kini telah dihentikan, menyisakan kesunyian yang hanya diisi oleh napas tertahan dan detak jantung yang seakan ikut memperlambat waktu.
penghulu menyesuaikan posisi duduknya, lalu melirikku dengan senyum tipis yang menenangkan. di sekeliling, semua orang tampak bersiap.
aku merasakan genggaman tanganku sendiri mulai terasa lebih erat. di sebelahku, ayah masih duduk tegak dengan kedua tangan yang bertaut di atas pangkuannya. meski terlihat ada ketegangan di wajahnya, aku tau, dalam diam nya, beliau sedang berdoa untuk ku, untuk perjalanan hidup yang sebentar lagi akan berubah.
di hadapanku, ayah Alda duduk tak kalah tegang nya. meski ekspresinya tetap tenang, tapi aku bisa melihat bagaimana jemarinya mengusap perlahan kain di pangkuannya, seolah ingin memastikan dirinya tetap tenang.
tak lama dari itu, penghulu terlihat mulai menggeser mikrofon kecil di depannya, memastikan suaranya terdengar jelas di ruangan yang kini semakin hening. "apa nak Rama sudah siap?,"
akhirnya dengan sisa keberanian yang ku miliki, aku mulai menegakkan pandanganku tepat kearah pria berpeci hitam itu. "insyaallah saya siap pak"
"sebelum kita melanjutkan prosesi akad nikah, saya ingin memastikan bahwa kamu benar-benar siap untuk menikahi saudari Alda. ini adalah keputusan yang besar, dan saya harap kamu sudah memikirkannya dengan matang."
"insyaAllah, saya siap pak. saya akan berusaha menjadi suami yang baik untuk dia," aku mengangguk pelan. namun tanganku justru mengepal lemas di atas lutut. hatiku masih berdebar, bukan hanya karena ini adalah akad nikahku, tetapi juga karena aku masih belum tahu bagaimana kelanjutan hidupku setelah ini.
“baik, nak Rama,..” katanya dengan suara yang dalam, “saya akan memandu prosesi ini. dengarkan baik-baik, dan ketika saatnya tiba, ucapkan dengan tenang dan yakin.”
aku mengangguk, mencoba menyerap setiap kata yang diucapkannya.
salah satu saksi, seorang pria paruh baya dengan peci hitam yang sama, tengah membetulkan posisi duduknya. ia melirikku sekilas sebelum kembali menatap ke arah penghulu.
penghulu kemudian beralih ke ayah Alda yang kini bersiap untuk mengucapkan ijab. ada jeda sejenak, seakan memberi ruang bagi siapa pun yang ingin menarik napas terakhir sebelum segalanya dimulai.
samar-samar aku merasakan angin berembus pelan dari arah luar, menggoyangkan tirai-tirai dekorasi yang terpasang di ruangan ini. aku bisa merasakan kesejukan udara itu, tapi di saat yang sama, ada kehangatan yang perlahan menyelimuti dadaku.
ketika ayah Alda akhirnya membuka mulut untuk mulai mengucapkan ijab, semua orang menahan napas.
dan aku tahu, ini adalah momen di mana segalanya akan berubah.
"Rama…" suaranya sedikit tertahan sebelum akhirnya melanjutkan, "saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya, Alda Syafira dengan mahar berupa uang tunai sebesar 2 juta rupiah serta emas 20 gram dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai"
sejenak, aku merasakan waktu seperti berhenti. suara-suara di sekitar menghilang, menyisakan detik-detik yang terasa sangat lambat.
lalu, aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri. "SAYA TERIMA NIKAH DAN KAWINNYA ALDA SYAFIRA BINTI HUSEIN, DENGAN MAHAR TERSEBUT, DIBAYAR TUNAI."
Hening...
sampai aku bisa mendengar detak jantungku sendiri.
"SAH!" suara saksi terdengar tegas, disusul dengan gema yang menyusul dari para tamu yang hadir.
aku mengembuskan napas, melepaskan semua ketegangan yang sejak tadi menghimpit dada. aku telah mengucapkan janji suci ini, 'aku kini telah resmi menjadi suami Alda!'
mata ayah Alda sedikit berkaca-kaca sebelum akhirnya tersenyum tipis. ayahku menepuk pundakku, memberikan kehangatan yang terasa menenangkan. dan di antara hiruk-pikuk suara tamu yang mulai mengucapkan selamat, pikiranku kembali pada satu hal—Alda.
bagaimana perasaannya sekarang?
di ruangan terpisah, dia pasti tengah meresapi perubahan besar yang terjadi begitu cepat dalam hidupnya, sama seperti ku.
namun mungkin satu hal yang sekarang aku tahu, mulai saat ini, kami bukan lagi sekadar sahabat. ikatan kami telah berubah sebagai suami dan istri.
setelah prosesi akad selesai, aku akhirnya berdiri dari tempatku, sementara tamu-tamu perlahan mulai bersiap melanjutkan rangkaian acara berikutnya. mataku masih terasa berat, seperti sedang memikul sesuatu yang tak terlihat.
"selamat, nak Rama." pak Husein menepuk pundakku pelan, tatapannya penuh harapan sekaligus kebimbangan yang tidak bisa dia sembunyikan.
aku hanya mengangguk kecil, lalu memandang ke arah pintu di mana Alda tengah dipersiapkan untuk memasuki pelaminan. suasana seolah melambat ketika dia muncul. gaun putih begitu indah yang semula disiapkan untuk Nayla, kini justru membalut tubuhnya. wajahnya tampak berusaha tegar, meski aku tahu hatinya pasti tidak kalah berkecambuk dariku.
dia melangkah mendekat dengan hati-hati, dibimbing oleh ibunya. aku bisa merasakan debar jantungku semakin kencang. setelah begitu dekat, aku semakin dapat melihat sorot matanya, sorot yang penuh keraguan namun juga keberanian.
"Ram..." Alda memanggilku pelan begitu dia tiba di hadapanku.
aku hanya mengangguk, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. beberapa saat kami saling diam dikelilingi oleh tatapan tamu yang menunggu kelanjutan acara.
"terima kasih, Da," aku akhirnya berbisik, mencoba mengatasi gumpalan emosi yang menghimpit dadaku. “aku tidak tahu harus berkata apa selain itu.”
Alda tersenyum tipis. "aku hanya tidak ingin kamu sendirian di momen seperti ini."
kata-katanya sederhana, tapi justru ini begitu bermakna. aku mengangguk, meskipun hatiku masih penuh pertanyaan, 'apakah ini benar-benar keputusan yang tepat untuk kami berdua?'
tak lama dari itu, panitia kemudian memandu kami untuk duduk di pelaminan. saat kami duduk berdampingan, suasana menjadi canggung. tamu-tamu sibuk dengan obrolan dan tawa, tapi di antara kami berdua hanya ada keheningan. aku mencuri pandang ke arah Alda yang duduk di sampingku. dia menunduk, aku bisa merasakan hawa dingin tangannya yang bergetar samar di sebelahku. wajahnya tampak tenang, dia berusaha tersenyum pada tamu-tamu yang mengucapkan selamat, tapi aku, dibalik senyuman palsu itu, dia pasti sedang menahan banyak hal di dalam hatinya.
aku ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahku terasa kaku. sedikit berusaha aku memberanikan diri membuka suara, walau hanya pelan.
"Da…"
dia menoleh perlahan, terlihat sedikit terkejut, tapi langsung mengangguk kecil. "iya, Ram?"
aku berdehem, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "kamu... tidak papa?"
Alda diam sejenak, lalu tersenyum tipis. “aku tidak apa-apa. kamu?"
aku mengangguk pelan. "aku juga... baik."
keheningan terjadi lagi. kami kembali tenggelam dalam suasana yang kaku. tapi entah kenapa, aku merasa harus mengatakan sesuatu lagi.
"maaf ya, Da," kataku akhirnya keluar, meski suara itu hampir tidak terdengar di tengah keramaian.
dia menoleh lagi, namun kali ini dengan tatapan bingung. "maaf kenapa?"
aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal. "karena... kamu jadi terlibat dalam semua ini."
dia tersenyum kecil, tapi tidak langsung menjawab. pandangannya kembali ke depan, seolah sedang menyusun jawabannya.
"nggak apa-apa, Ram," ujarnya kemudian, suaranya pelan tapi begitu tegas. "aku… aku cuma nggak mau kamu sendirian. itu aja."
kata-katanya kembali membuatku terdiam. Aku memandangnya sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan saat matanya menangkap mataku.
"terima kasih, Da," kataku nyaris berbisik.
dia hanya mengangguk kecil, dan kami kembali diam. tapi kali ini, keheningannya terasa berbeda. lebih hangat, lebih bisa diterima. mungkin, kami memang tidak perlu bicara banyak. hanya dengan duduk di sini bersama dan menikmati apa yang sudah kita mulai.
resepsi berlangsung dengan riuh, tamu-tamu silih berganti memberikan ucapan selamat kepada kami. Alda tetap berdiri anggun di sampingku, wajahnya tenang meski aku tahu di balik itu semua dia sedang berusaha keras menyembunyikan kegugupannya.
di antara tamu-tamu yang datang, teman-teman kami mulai mendekat. ARYA, adalah yang pertama menyapaku, tangannya menjabat erat tanganku dengan senyum lebar.
"selamat, Ram," katanya sambil menepuk pundakku. "Nggak nyangka kamu bisa seberani ini. Alda, kamu luar biasa."
Alda tersenyum kecil, mengangguk sopan. "terima kasih, Arya."
GANI, LARAS, dan AYU juga menyusul, membawa kehangatan yang membuat suasana lebih ringan. Ayu dan Laras bahkan menggoda Alda dengan tawa kecil. "Alda, kamu cantik banget hari ini. Rama pasti bahagia banget."
"jadi tidak sabar menyambut Alda junior, xixi" tak kalah jailnya Laras menggoda Alda
Alda hanya tersenyum malu-malu, pipinya sedikit merona. sementara aku hanya mengangguk pelan, bingung harus merespon bagaimana.
namun, di antara semua itu, aku merasakan tatapan yang berbeda. GANI, salah satu sahabatku yang biasanya ceria, berdiri agak di belakang. dia tidak langsung mendekat, hanya memandangi kami dari kejauhan dengan ekspresi sulit ditebak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments