NovelToon NovelToon
PENGHIANATAN SANG ADIK

PENGHIANATAN SANG ADIK

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Mengubah Takdir / Pelakor jahat
Popularitas:7.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ristha Aristha

Ariana harus menerima pukulan terberat dalam hidupnya, ketika suaminya ketahuan selingkuh dengan adiknya. Siapa yang mengira, berkas yang tertinggal suatu pagi membawa Ariana menemukan kejam suatu perselingkuhan itu.
Berbekal sakit hati yang dalam, Ariana memutuskan untuk pergi dari rumah. Namun dibalik itu, dia secara diam-diam mengurus perceraian dan merencanakan balas dendam.

Apakah Ariana berhasil menjalankan misi balas dendamny??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ristha Aristha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tidak Terlalu Buruk Ternyata

Aku menarik napas dalam-dalam sambil menatap setumpuk kertas yang mungkin jumlahnya ratusan kertas tiap bendelnya. Awalnya, aku berpikir untuk asal mengoreksi dan menulis tanpa dikurasi detail, namun setelah dipikir-pikir, itu sama sekali tidak profesional.

Akhirnya, meski dengan berat hati, aku mulai mengambil satu bendel cerita paling. Yang membuatku heran adalah, kenapa mereka masih mau menerima naskah tulisan tangan seperti ini jika mereka enggan melakukan kurasi?

Namun setelah aku lihat nama penulisnya, kedua mataku spontan membulat. Sekar Arunika, penulis besar yang sadar terkenal. Siapa sangka dalam hidup, aku bisa secara langsung menjadi editornya. Suatu kehormatan bagiku bisa memeriksa sekaligus memeriksanya.

"Sudah berapa lama sejak volume terakhirnya terbit?" Gumamku sambil membuka tiap lembar dengan hati-hati. Ah, rasanya menyenangkan sekali, tulisan Sekar Arunika selalu nyaman dibaca.

Rasa malas yang tadinya menyelimuti diriku kini perlahan berubah menjadi semangat yang membara. Tanganku gemetar saat menyentuh kertas-kertas itu, seolah-olah aku sedang memegang bagian dari sejarah sastra. Aku segera merapikan meja, menyiapkan penasaran dan kertas, meski harus mengoreksi secara menjual sekalipun, aku jabanin.

Untuk mempersingkat waktu pekerjaan, aku membaginya sepuluh lembar setiap sesi kurasi dan langsung mengetiknya di komputer, lalu melanjutkannya berulang kali.

Setiap kata yang ditulis, seperti puisi yang tidak pernah kehilangan diksi. Alurnya cepat tapi tidak buru-buru, pengembangan karakter dari volume yang pernah aku baca sebelumnya juga semakin baik. Aku benar-benar beruntung, terimakasih karena editor yang lain melas mengoreksi naskah ini.

Aku mengoreksi tiap kalimat dengan hati-hati. Selain profesional, itu juga hanya kedok untuk mencuri start membaca karyanya lebih dulu sebelum diterbitkan.

Namun, saat aku tiba di lembar ke-80, keningku tiba-tiba mengkerut. Adegan di lembaran selanjutnya terasa tidak nyambung. Aku berkali-kali mengecek, membaca dari atas sampai bawah dan memeriksa barangkali ada naskah yang keselip. Sayangnya tidak ada. Memang ada satu atau dua lembar yang keselip.

Tak mau menyerah, aku berdiri, mencoba mencarinya ditempat dimana naskah itu pertama kali disimpan.

"Cari apa kamu?" Tanya salah satu editor, yang tidak salah namanya Lidya?

"Ah, itu... Naskah yang sedang aku periksa ada yang hilang, barangkali keselip disini", jawabku.

"Bentar, kamu yang kurasi naskahnya Sekar Arunika?" Tebaknya dengan mata melebar, seperti terkejut.

Aku mengangguk, mengiyakan tebakan Lidya barusan. "Kenapa ya?"

Lidya terdiam sebentar, lalu menggeleng. "Nggak kenapa. Sebab naskah itu sudah lama dianggurin," katanya. "Oh iya, daripada kamu cari-cari kertas yang hilang, mending kamu langsung telpon saja langsung penulisnya".

Kali ini mataku yang membulat. "Aku bisa telpon penulis besar langsung?"

"Iya. Kamu editornya sekarang ".

Tiba-tiba jantungku berdebar. Sebagai penikmat novel sekaligus penggemar Sekar Arunika, bukankah ini suatu keberuntungan satu tahun yang aku pakai semua? Ini benar-benar mendebarkan tapi aku sangat menantikannya.

"Baik. Terimakasih banyak, Lidya", kataku dengan semangat.

"Bentar, Ariana".

Aku berhenti dan berbalik. Namun di detik berikutnya, Lidya kembali menggelengkan kepala.

"Ah, gak jadi. Aku rada kamu bisa sabar".

Aku mengernyit, tak mengerti dengan apa yang dikatakan Lidya. Namun aku tidak begitu peduli karena setelah ini aku akan menghubungi penulis favoritku.

Dengan tangan gemetar, dan jantung deg-degan, aku meletakkan gagang telepon ke telinga setelah menekan beberapa digit nomor. Beruntung, tak lama panggilan langsung terhubung.

"Halo. Selamat siang", sapaku seramah mungkin. "Perkenalkan saya, Ariana dari penerbit Fu__"

[Halo?] Dari sebrang telepon bisa kudengar suara serak seorang wanita menyapa.

"Iya halo, ibu. sa__"

[Halo! Ini siapa?]

Aku memberi jeda sebentar, apakah jaringan teleponnya rusak sampai suaraku tidak terdengar jelas.

[Halo... Halo?]

"Halo, ibu. Saya dari penerbit Fujiko", kaki ini aku sedikit menggerakkan suara. "Apakah surat saya tidak jelas?"

[Fujiko?]

Ah, akhirnya suaraku terdengar juga. "Benar, ibu. Saya Ariana, ingin menanyakan terkait...".

[Kenapa Fujiko tiba-tiba menelpon?]

.....

[Halo. Kenapa anak ini tiba-tiba diam?]

Aku menelan ludah yang mendadak kering. Inikah sebabnya Lidya mengatakan jika aku harus bisa sabar menghadapi penulis Sekar Arunika?

"Ariana!" Kudengar Lidya memanggil dengan berbisik. Lalu saat aku menoleh, kulihat dia sedang menunjuk-nunjuk telinga. "Pendengarannya udah agak berkurang, jadi kamu perlu kerasin suara".

"Ah..." Aku mengangguk singkat, kemudian kembali pada panggilan dan menerapkan saran dari Lidya. "Halo, ibu. Saya Ariana, ingin membahas soal naskah yang anda kirimkan kepada kami", sambungku dengan suara keras.

[Naskah?] Akhirnya. [Naskah yang mans ya? ]

Lah, aku mematung bingung sesaat. "Naskah dengan judul menanti jingga volume-7, Bu", ucapku.

Hening, sesaat aku tidak mendapatkan jawaban dari seberang.

"Halo___"

[Ah, naskah yang itu?]

Aku mengangguk bersemangat. "Benar, Bu. Di bab ke-48 lembar ke 80, sepertinya naskahnya ada yang hilang. Apa ibu punya salinannya untuk dikirim ulang?"

.....

Lagi-lagi tidak ada jawaban. Beberapa saat, aku masih menunggu dengan sabar, berharap wanita sepuh di sebrang mau melanjutkan dan mengingat-ingat. Namun setelah cukup lama....

[Aku sudah lupa, Mbak. Wong udah lama banget.] Katanya.

Ah, hal seperti ini bisa saja terjadi. Tenang Riana, kamu bisa menjelaskannya dengan sabar.

Setelah menarik napas sebentar, aku kembali menjelaskan. "Itu terputus dibagian pemeran utama wanita sedang menghadapi konflik__"

[Wes gini aja, Mbak. Gimana kalau Mbaknya datang kesini langsung, kita bahas langsung.]

Aku terdiam sejenak. Memang bertemu langsung akan lebih mudah, hanya saja.... "Baik Bu. Setelah ini saya ketempat ibu, ya", akhirnya aku menurut.

Telepon aku tutup usai mendapatkan konfirmasi dari seberang. Tangan yang tadi gemetar karena terlalu bersemangat, kini mendadak lemas. Firasatku buruk soal pertemuan nanti.

"Gimana?" Tanya Lidya sambil berjalan kemejaku.

"Aku mau samperin kerumah penulis", ucapku sambil memasukkan barang-barang penting kedalam tas, termasuk naskah yang akan dibahas.

"Ah ..." Lidya mengangguk, sepertinya dia sudah menebak hal ini akan terjadi. "Kalo gitu, semangat ya!" Katanya.

Aku hanya mengangguk sekenanya. Aku langsung bangkit dan berniat langsung pergi. Namun tiba-tiba, Gladys ikut menyela.

"Semangat, Riana! Nanti aku bilang ke direktur buat kasih bonus gede ke kamu ", ujar gadis mencolok itu.

Mendengar candaan seperti itu, aku terkekeh. "Ada-ada saja".

Lalu setelahnya aku bergegas keluar, mengambil mobil di parkiran dan mengendarainya menuju tujuan menuju rumah penulis besar yang bernama Sekar Arunika.

Bermodalkan peta digital di ponsel, aku berbelok mengikuti petunjuk navigasi di layar. Perlahan, mobil yang aku kendarai keluar dari jalan raya dan mulai masuk ke area cluster yang lumayan mewah. Tidak mengherankan, mengingat wanita itu sudah menjadi penulis terkenal sejak belasan tahun yang lalu.

Tepat di sebuah rumah berlantai dua berwarna cream, aku menghentikan mobil dan buru-buru turun. Entah bagaimana perasaanku sekarang, yang jelas jantung didalam sini berdegup kencang.

Aku menekan bel sampai dua kali, hingga akhirnya terdengar sahutan dari dalam.

"Permisi, saya Ariana dari penerbit Fujiko, sudah membuat janji dengan Bu Sekar Arunika ", ucapku sopan pada wanita muda yang membukakan pintu.

Wanita itu mengangguk dan membiarkanku masuk. "Ibu sudah menunggu didalam".

Sudut bibirku naik, mencoba sopan dan seramah mungkin. Begitu masuk, mataku langsung dimanjakan dengan disain interior yang minimalis namun terlihat elegan. Lalu diatas sofa, kulihat sudah ada wanita sepuh duduk menunggu disana.

Wanita yang umurnya banyak, tapi masih terlihat bugar dan berkarisma.

"Selamat siang, Bu. Saya Ariana dari penerbit Fujiko yang tadi menelpon ", ucapku.

"Arini?"

"Ariana, Bu".

Wanita dihadapanku mengangguk-angguk. Setelah membiarkanku duduk, dia kembali berkata, "Jadi, apa tadi yang ingin kamu bahas?"

"Ah, sebentar ". Aku mengeluarkan beberapa lembar dari naskah penting. "Sepertinya kami kehilangan dibagian ini, Bu". Lanjutku sambil menunjukkan pada wanita itu.

Kulihat, dia memakai naskah, lalu memakai naskah dan mulai membacanya. Aku oiki5, sepertinya akan berjalan lancar. Namun lagi-lagi...

"Nah, beneran aku sudah lupa dengan bagian adegan disini", katanya dengan tenang.

"Y_ya?" Tanpa sadar aku mencondongkan wajah kedepan . "Ibu lupa? Maksudnya.... Jadi ibu benar-benar tidak ingat lada bagian yang rumpang ini?"

"Iya. Aku sudah tua, sering lupa ", ucapnya. "Lagian, sebenarnya aku sudah ingin berhenti di volume keenam kemarin. Tapi Fujiko terus maksa untuk suruh lanjut karena banyak yang baca. Tapi pas aku kirim, hampir setahun ini gak ada tanggapan, malah baru sekarang. Wajarlah kalau aku lupa".

Aku bergeming, bingung harus menanggapinya seperti apa. Dibilang salah, sebenarnya kami yang lebih banyak salahnya.

"Tapi Mbak Ariana tengah saja", sambungnya. "Aku bisa tambahin adegan yang hilang itu sekarang".

Mendengarnya, kekhawatiran di dadaku mendadak berkurang. Aku mengangguk dengan semangat. "Baik, Bu. Saya akan bantu sebaik yang saya bisa".

Kemudian, kami mulai membahas adegan yang hilang sambil memikirkan berbagai opsi. Sekar Arunika yang memegang kendali, aku akui, dia sangat cerdas. Naskah yang rumpang lumayan banyak, bisa dia tutup dengan mudah dan dalam waktu yang singkat.

Aku benar-benar menghormatinya.

"Nah, udah kelar", katanya, padahal belum ada satu jam.

Mataku mendelik dengan kagum. "Wah, anda hebat sekali. Adegan tetap terlihat alami dan menarik", pujiku.

Kulihat sudut bibir wanita itu naik. "Karena ini naskah terakhir yang akan terbit, aku bersungguh-sungguh membuatnya ".

"Apa maksud anda, naskah terakhir? Jangan bilang ___"

"Iya." Dia mengangguk, senyum simpul muncul diwajahnya. "Aku akan pensiun jadi penulis".

Aku cukup terkejut. "Anda serius? Tapi masih banyak banget orang yang menantikan buku dari Anda ".

"Hahaha. Makasih, tapi aku udah terlalu tua. Sudah seharusnya aku mengosongkan tempat untuk penulis-penulis lain".

Masuk akal. Mengingat usianya yang sudah senja, sudah sewajarnya jika dia ingin beristirahat dan menikmati masa tua dengan santai.

"Sayang sekali", ucapku dengan sedikit kecewa.

"Tenang saja, pasti ada penulis yang lebih baik dari orangtua kayak aku. Contohnya seperti cucuku ".

"Cucu Anda?" Mataku kembali membulat. "Maksud Anda. Cucu Anda juga jagi penulis?"

Wanita di depanku mengiyakan. "Tapi dia masih perlu banyak-banyak belajar. Untuk sekarang, dia masih bisa masuk ke penerbit kecil. Tapi kedepannya, semoga dia bisa tembus ke Fujiko ".

"Saya yakin, dia pasti bisa menjadi penulis besar seperti Anda ".

"Yah... Tapi untuk anak nakal sepertinya, aku tidak berharap terlalu banyak". Ucapnya sambil tertawa.

Kemudian setelah menghabiskan waktu hampir empat jam dengan kurasi sisa naskah dan mengkonfirmasi beberapa hal, aku akhirnya berpamitan pulang.

Ketika keluar dari rumah itu, aku merasakan beban di pundakku seperti berkurang banyak. Karena sekarang, naskah terbaik sedang aku pegang dan akan menjadi best seller, aku bisa menebaknya.

************

Di perjalanan pulang, ternyata aku melewati jalanan menuju rumah Papa. Tiba-tiba aku teringat dengan Ayunda semalam, perasaanku berkata jika mereka dalam kondisi kurang baik.

"Tapi apa hubungannya sama aku?" Gumamku. Meski setelah dipikir-pikir.... Tapi gak ada salahnya kalo nanti aku mampir ".

1
Kasih Bonda
next thor semangat
Kasih Bonda
next thor semangat.
Kasih Bonda
next thor semangat
Kasih Bonda
next thor semangat.
Kasih Bonda
next thor semangat
Kasih Bonda
next thor semangat.
Kasih Bonda
next thor semangat
Ma Em
Ada apa dgn papanya Riana mungkinkah Riana mau dijodohkan !
Kasih Bonda
next thor semangat.
Kasih Bonda
next thor semangat
Ma Em
Sabar Riana semoga kamu segera mendapatkan pekerjaan yg baik juga atasan yg baik juga yg bisa menghormati dan melindungi seorang wanita dari orang2 yg mau melecehkannya dan segera dapat pengganti Dimas.
Ma Em
makanya Riana kamu jgn lemah lawan Ayuna dan ibunya yg selalu menghina dan merendahkan mu Riana kalau kamu diam Ayuna dan ibunya makin menjadi tambah berani dia dan jgn dituruti kemauan mereka lebih baik cari kebahagiaanmu sendiri Riana tinggalkan orang2 yg tdk tau diri itu.
Kasih Bonda
next thor semangat
Ma Em
Semangat Riana kamu jgn patah semangat semoga kamu bisa melewati cobaan dgn legowo dan cepat lepaskan Dimas biarkan dia dgn Ayunda untuk apa Riana pertahankan lelaki mokondo yg cuma morotin uang kamu Riana, semoga Riana cepat move on dan aku berharap sih Riana berjodoh dgn Kenzi meskipun umurnya lbh muda dari Riana.
Ma Em
Bagus thor ceritanya aku langsung suka apalagi cerita perselingkuhan yg si istri yg diselingkuhin tdk bodoh dan berani melawan pada si suami dan pelakor .
Kasih Bonda
next thor semangat.
Kasih Bonda
next thor semangat
Kasih Bonda
next thor semangat.
Kasih Bonda
next thor semangat
Kasih Bonda
next thor semangat.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!