"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Mulai sekarang kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha mengatur napas. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu benaran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue mengangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dinner
Gue deg-degan.
Gue usap tangan sambil nungguin Antari di depan kampus. Ini pertama kalinya gue ngerasain hal kayak begini sebelum pergi sama cowok.
Tapi ya, dia bukan cowok biasa, jadi gue juga nggak kaget banget sih sama reaksi gue ini. Dia cinta pertama gue, dan ini kencan resmi pertama kita.
Gue gelisah, merapikan ujung gaun bunga-bunga yang cuma nyampe lutut, sama sedikit membenarkan bagian dadanya.
Rambut, sengaja gue biarin tergerai di kedua sisi wajah. Gue bersyukur banget musim kemarau udah datang, jadi gue bisa pakai baju yang cakep tanpa harus ketutupan jaket, topi, atau aksesori lain, buat menghangatkan badan.
Gue jilat bibir sambil ingat ciuman yang gue kasih ke Antari tadi malam. Napasnya yang mulai cepat, ketegangan di badannya.
Jujur aja, gue yakin kalau kita ada di tempat sepi pasti sudah langsung gaspol. Jadi kalau tempat kencan kita bukan di tempat umum, feeling gue sih ini bakal berakhir dengan lemas bareng-bareng.
Nahan diri tuh susah banget, apalagi kalau lihat sejarah panjang gue sama dia. Bertahun-tahun ada rasa sayang, ada juga keinginan yang udah ketahan lama.
Nggak ngebantu juga sih kalau Antari sekeren itu, badan bagus, muka cakep. Cuma ngebayangin dia aja, gue udah nggak karuan. Gue tarik napas dalem-dalem, mencoba membawa pikiran gue ke arah yang lebih… suci.
Jantung gue langsung ngebut pas lihat dia berhentiin mobil hitamnya yang keren di depan gue. Gue hampir aja jalan ke pintu mobil, tapi dia keburu turun duluan. Dia pakai setelan hitam sama dasi yang warnanya sama. Menyatu banget sama mobilnya, dua-duanya elegan, serba hitam.
Mata dia langsung jatuh ke gue, dan gue berusaha mati-matian buat kelihatan santai, seolah-olah ketampanan dia nggak ngaruh sama sekali ke gue.
Antari senyum dikit pas bukain pintu buat gue. "Halo."
"Halo."
Gue balas senyumannya dan masuk ke mobil.
Bagian dalam mobilnya juga hitam, tapi ada aksen biru tua yang bikin kelihatan makin classy. AC langsung menyembur ke muka gue, nyegerin banget.
Bau parfumnya kecampur sama aroma dia sendiri. Gue pasang sabuk pengaman sementara Antari masuk dan duduk di samping gue.
"Mobil lo keren sih," komentar gue sambil melihatin dia pasang sabuknya juga.
"Baru sekarang lo bilang? Ini bukan pertama kalinya lo naik mobil gue, tahu."
Dia mulai nyetir.
Gue langsung paham dia lagi ngomongin malam itu, pas kita di barnya, terus dia nganterin gue pulang. Malam di mana kita hampir aja merusak meja dapur kalau aja Anan nggak muncul buat ganggu.
Atau lebih tepatnya, menyelamatkan gue dari malu yang lebih parah, karena nggak lama setelah itu, Antari balik lagi ke pacarnya.
Jangan mikirin itu, Ellaine.
Fokus di sekarang.
Gue harus ganti topik. "bagaimana kerjaan hari ini?"
Gue tahu dia lagi sibuk banget sama proyek baru. Tim Marketing heboh banget ngomongin ini kemarin, katanya proyek gede, nilainya milyaran, dan kalau kesepakatannya deal, kita bakal kerja keras banget buat promosi dan nyusun strategi marketingnya.
Antari mengusap belakang lehernya. "Lumayan… berat. Tapi nggak ada yang nggak bisa gue atasi."
"Gue nggak nyangka lo bakal tertarik sama dunia bisnis. Lo nggak pernah ngomongin ini sama sekali pas kita masih kecil."
"Karena dulu gue nggak tertarik."
Gue jadi sedih dengarnya.
Sebenarnya gue udah agak curiga sih, kalau dia kuliah manajemen bukan karena maunya, tapi karena terpaksa. Gue pikir, mungkin dia lama-lama jadi suka atau bagaimana, tapi ternyata enggak.
Gue lirik dia, satu tangan di setir, satu lagi mijat lehernya. Mata dia kelihatan capek banget, bahunya tegang. Antari masih muda, tapi udah harus nanggung tanggung jawab segede ini.
Dan yang paling parah?
Dia harus jalanin sesuatu yang sebenarnya nggak pernah dia minati.
Bagaimana lo bisa tahan bertahun-tahun ngelakuin hal yang lo nggak suka, Antari?
Seberapa jauh lo udah tersiksa?
Seberapa frustrasi lo?
Kalau dia benaran sengsara, berarti dia jago banget nyembunyiinnya. Dia nggak pernah ngeluh, nggak pernah maki-maki bokapnya, bahkan nggak pernah nyalahin nyokapnya setelah kejadian perselingkuhan itu.
Gue salut sih, dia bisa nahan semuanya sendiri, bisa ngejalanin semuanya tanpa nyakitin orang yang udah melahirkan dia.
Berapa lama lo udah bertahan sendirian, Antari?
Merasa dilihatin, dia sempet ngelirik gue cepat-cepat. "Apa?"
"Nggak ada."
Gue tahu kita bakal ngobrol soal ini suatu saat nanti, tapi bukan sekarang. malam ini gue nggak mau bahas hal yang bikin suasana hancur.
"Kita mau ke mana?"
"Makan dulu, abis itu terserah lo mau ke mana."
Ke kasur lo?
Ellaine, astaga.
Fokus.
"Makan di mana?" Gue pura-pura kepo, sambil melihatin jalan, rumah-rumah, pohon-pohon yang lewat. Kita udah agak jauh dari area kampus, tapi juga nggak menuju pusat kota.
"Ntar juga lo lihat sendiri."
Dan benar aja, begitu gue lihat jalan yang kita masukin, dada gue langsung sesak. Gue kenal banget tempat ini, setiap rumah, setiap restoran, kayak nggak ada yang berubah sedikit pun. Rasanya kayak jalanan ini berhenti di satu titik waktu, membawa semua kenangan lama.
Antari berhentiin mobil di pinggir jalan. Gue nggak nunggu dia bukain pintu, langsung turun sendiri dan berdiri buat ngadepin dia.
Restoran Mewah tempat gue pertama kali melihat keluarga Batari.
Gila, gue masih bisa ingat dengan jelas betapa laparnya gue waktu itu, bau makanannya, dan rasa takut gue sama orang-orang yang nyariin nyokap. Gue masih bisa kebayang bagaimana keluarga Batari duduk di meja itu.
Antari tiba-tiba muncul di samping gue, diam aja. Kita berdua cuma berdiri di sana, mandangin tempat itu, kayak lagi muter ulang kejadian dulu di kepala kita.
Setelah beberapa saat, dia yang pertama ngomong, "Gue pikir kita harus mulai dari tempat semuanya dimulai."
Gue melihat ke arahnya, dan dia balik menatap gue dengan serius, kayak dia lagi baca reaksi gue. Pas gue nggak bilang apa-apa, dia lanjut ngomong. "Kalau lo nggak nyaman, kita bisa ke tempat lain. Tapi menurut gue, nggak ada restoran semewah apa pun, yang punya makna sebesar tempat ini. Ini tempat pertama kali gue melihat lo. Mungkin kenangan lo di sini nggak semuanya bagus, tapi ini hari, di mana hidup lo berubah ke arah yang lebih baik… dan juga hari di mana lo masuk ke hidup gue."
Gue gigit bibir, bingung mau ngomong apa. Tapi dia benar. Tempat ini punya arti penting buat gue, bukan sebagai kenangan buruk, tapi sebagai titik balik dalam hidup gue.
"Gue suka tempat ini," jawab gue sambil menggenggam tangannya.
Dia kelihatan kaget.
Dia berdehem, terus...
Apa muka dia barusan merah?
Antari Batari… salting?
"Oke, ayo masuk."
Restorannya masih terawat dengan baik, kesannya tetap elegan. Kebanyakan pelanggan di sini cowok bersetelan rapi dan cewek-cewek yang super anggun. Walaupun lokasinya bukan di area paling elite, tempat ini tetep terasa eksklusif buat pelanggan tetapnya.
Gue mengikuti pelayan yang nuntun kita ke meja deket jendela. Meja yang sama tempat keluarga Batari duduk bertahun-tahun lalu. Mata gue otomatis tertuju ke luar jendela, dan gue hampir bisa melihat bayangan gue dulu, anak kecil yang berdiri di seberang sana, melihat makanan dengan penuh harap bisa makan makanan itu.
"Lo lagi mikirin apa?" tanya Antari, duduk di depan gue, cahaya remang-remang restoran nge-highlight wajahnya.
"Nggak ada, cuma lagi ingat-ingat aja." Gue maksa senyum, tapi hasilnya malah lebih kayak senyum sedih. "Bokap lo hari itu ngelakuin sesuatu yang benar-benar baik. Dia nyelamatin gue dan nyokap."
"Iya… Itu sisi bokap yang masih gue pegang sampe sekarang."
"Gue rasa itu bukan sekadar “sisi” dari dia. Itu emang dia, jauh di dalam sana. Lo cuma perlu sabar. Kakek masih percaya sama dia."
Antari melihatin gue, kayak lagi mikirin sesuatu. "Lo deket banget ya, sama Kakek?"
"Ya iyalah. Dia tuh orangnya baik banget."
"Jadi, dia Batari favorit lo?"
"Jujur aja, iya. Tapi jangan bilang ke Anan. Gue udah janji ke dia kalau dia bakal selalu jadi yang nomor satu. Padahal sebenarnya dia di posisi kedua, setelah Kakek."
Antari senyum tipis. "Berarti gue cuma di posisi ketiga?"
"Siapa bilang lo ketiga? Setelah Anan, ada Asta."
Senyumnya langsung ilang. Tangannya yang tadi santai di meja sekarang mengepal.
Oh, jadi Asta masih jadi topik sensitif buat dia, ya?
Harusnya dia udah bisa move on. Matanya bersinar, tapi gue nggak bisa nebak itu karena apa. Gue angkat gelas air buat minum.
Terus tiba-tiba...
"Kita lihat aja siapa Batari favorit lo setelah gue hajar lo sampe lo dapet orgasme terbaik dalam hidup lo."
Gue langsung keselek air, batuk-batuk sambil pegang dada.
Anjir, ini orang bisa-bisanya ngomong kayak gitu di tempat umum?!
Antari cuma senyum miring, ada aura jahat di balik ekspresinya. Gue kasih dia tatapan tajam, tapi dia malah kelihatan makin santai.
"Lo pede banget, ya?"
"Gue cuma cowok yang tau apa yang gue lakuin." Dia angkat gelas anggurnya yang setengah kosong, melihat warnanya sebelum menghirup aromanya. "Gue bisa bikin lo basah tanpa nyentuh lo."
Tiba-tiba, suasana jadi panas.
Gue atau ruangannya yang makin gerah, nih?
Gue melahap nafas pelan.
"Oh, gitu?"
Gue keluarin kaki dari sandal gue dan ngulurin ke bawah meja, menyentuh pangkal paha Antari, deket banget sama bagian sensitifnya. Dia langsung tegang, kelihatan kaget.
Gue senyum polos. "Dan gue bisa bikin lo malu-maluin karena ereksi di sini. Jangan lupa itu."
Dia menyempitkan matanya sedikit. "Lo emang nggak suka kehilangan kendali, ya?"
"Karena itu sesuatu yang harus lo menangkan dulu."
"Ini tantangan?"
Tatapan kita mengunci satu sama lain.
Pelayan datang dengan senyum ramah, nanya pesanan kita. Gue buru-buru nurunin kaki gue, pasang tampang kalem.
Malam ini bakal panjang.
kesayangan keluarga batari🥰🥰
lah thor,udah selesay aja kisah ini. happy dan semangat trus yaaa 🥰🥰
btw, kalian gak mau nikah yaa,kisah ini bukan berlatar belakang luar negeri kan thoorr
ella emang paling cocok dampingi antari,antari butuh ella
gak pakai pengaman ya antari,siap hamil dong ai ella