Ikuti setiap bab nya dan jangan lupa tinggalkan dukungannya ♥️
****
Anindira dan Anindita adalah saudari kembar yang terpisah sejak lahir. Keduanya memiliki nasib yang berbeda, Anindira sudah menikah tetapi dirinya selalu di sakiti oleh sang suami dan tidak mendapatkan kebahagiaannya. Sementara Anindita, dirinya hanya bisa menghamburkan uang dan angkuh.
Suatu hari, tanpa sengaja Anindita menggantikan peran Anindira. Dirinya masuk ke dalam kehidupan suami Anindira, dan tidak menyangka betapa hebat saudari kembarnya itu bisa hidup di tengah-tengah manusia Toxic.
Bagaimana kehidupan mereka selanjutnya?
SO STAY STUNE!
NO BOOM LIKE, BACA TERATUR DAN SEMOGA SUKA 😍🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom AL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 1 TWINS A
15 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 20 Oktober 1996.
Suara tangisan bayi memenuhi rumah keluarga Bramantyo. Terlihat sepasang suami istri tersenyum bahagia karena akhirnya hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Kelahiran sang bayi yang berjenis kelamin perempuan, dan kembar. Mereka memberi nama Anindira dan Anindita. Namun, senyum mereka surut ketika Kakak Bramantyo datang dan memberikan surat yang mana membuat keduanya merasa terhimpit.
"Berikan salah satu bayi kalian jika ingin menyelamatkan perusahaan dan aset aset lainnya!" ucap sang kakak — Adiba Maharani. Dia sengaja menjebak adiknya sendiri karena kebencian terhadap istri Bram. Pernikahan keduanya tidak direstui tetapi Bram dan Mely malah memutuskan untuk kawin lari hingga membuat sang Ayah terkena serangan jantung lalu meninggal dunia.
'Aku akan membalas semuanya dan ku pastikan kalian berdua tidak akan hidup bahagia. Mely adalah penyebab Papaku meninggal, dia harus membayarnya.' itulah janji Adiba ketika pemakaman sang Ayah selesai.
"Kenapa kau melakukan ini, Kak?" tanya Bram menatap Adiba dengan nanar, sementara Mely mencoba menenangkan bayi mereka yang sedari tadi menangis tanpa sebab.
Adiba melirik Mely dengan sinis. Bukan hanya dendam tetapi juga iri, Mely dan Bram sudah memiliki keturunan sementara dirinya belum memiliki anak setelah usia pernikahan yang hampir menginjak sepuluh tahun.
"Bukan aku yang melakukannya, Bram. Tapi kecerobohanmu sendirilah yang menyebabkan ini semua. Baiklah, akan aku beri waktu satu Minggu. Pikirkan baik-baik, kau ingin menyerahkan bayimu padaku atau kau kehilangan semuanya dan hidup melarat. Kau akan menjadi gelandangan diluar sana." Adiba tersenyum jahat, lalu dia meninggalkan rumah adik angkatnya itu.
Bram menatap Mely yang menangis di pojokan sambil memeluk kedua bayinya. Saat Bram mendekat, Mely dengan cepat menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Bram! Jangan berikan anak kita padanya. Aku tidak percaya pada wanita itu, dia sengaja menjebak kita dan mempermainkan mentalmu." Mely memohon, air mata terus mengalir deras di pipinya.
"Aku juga tidak menginginkan hal itu, Mel. Bagaimana mungkin aku menyerahkan anakku pada orang lain? Tapi aku bisa apa? Aku tidak ingin melihat kalian hidup menderita. Diba adalah perempuan yang licik, dia pasti akan melakukan apa pun untuk membuat hidup kita menderita."
"Aku tau, Bram, aku paham! Dia bisa mengambil semuanya dari kita, aku rela, aku tidak masalah kalau kita harus hidup sederhana. Masih ada perhiasan peninggalan orangtuaku, kau bisa menjualnya. Kita akan membuka usaha dan memulai semuanya dari nol. Aku tahu kalau kau tidak membutuhkan harta dari Orang tua Adiba. Pikirkan lagi, Bram. Jangan menjadi Ayah yang egois hanya karena memikirkan hidup melarat." pinta Mely dengan panjang lebar.
Bram terdiam, memikirkan setiap perkataan yang keluar dari mulut istrinya. "Aku akan mengurus semuanya, kau tunggulah dirumah!"
Bram pergi menemui Adiba, dirinya sudah memutuskan untuk menyerahkan semua harta warisan yang diberikan oleh sang Papa. Setelah berada dirumah Adiba yang sangat mewah, Bram langsung duduk di sofa, menunggu kedatangan kakak angkatnya itu.
Adiba tersenyum lebar, dia yakin kedatangan Bram saat ini pasti untuk menyerahkan salah satu bayinya.
"Adikku tersayang, kau datang? Cepat sekali." ucap Adiba terus tersenyum sementara Bram menatapnya dengan datar. "Kau sudah membuat keputusan? Lalu apa yang kau pilih? Ingat! Kau harus memikirkan masa depanmu dan juga anakmu." ujar Adiba percaya diri.
"Aku sudah membuat keputusan, Kakak. Aku bersedia menyerahkan semua aset padamu."
Adiba mendelik, senyum yang tadi terukir indah di bibirnya kini sirna begitu saja.
"Kau sungguh yakin dengan pilihanmu, Bram? Kalau begitu baiklah, kemasi barangmu dan tinggalkan rumah itu secepatnya! Aku yakin kau pasti akan menyesal." ucap Adiba tersenyum sinis, sebuah rencana sudah terlintas dibenaknya.
Bram menuruti perkataan Adiba. "Aku akan segera pergi dari rumah itu, dan..." Bram membubuhkan tandatangan diatas materai yang berisi pemindahan nama untuk semua aset dan perusahaan. "Aku tidak akan pernah menyesali keputusanku, Kakak. Selagi istri dan anak-anakku bersamaku, aku tidak akan pernah merasa kekurangan apa pun." lanjutnya percaya diri lalu pergi dari rumah Adiba.
Setelah kepergian Bram, wanita itu melemparkan surat persetujuan pemindahan saham yang berada di atas meja. Dia meremas nya terlebih dahulu dengan rasa kesal dan dendam yang membara.
"Lihat apa yang bisa aku lakukan, Bram! Wanita itu selalu saja berhasil meracuni pikiranmu." ucap Adiba menatap lurus ke depan.
BERSAMBUNG
mudah2 an mereka saling menerima 1 sama lainnya