Tragedi Ranjang Kakak Tiri

.

Hari berikutnya

Di kampus.

"Sekarang tanya diri lo sendiri apa hubungan dengan Rony akan ada ujungnya seperti berlanjut pada pernikahan?." Tanya Anna serius setelah mendengar curhatan wanita cantik di hadapannya itu.

Tampak Nao menekuk wajahnya. "Ini mungkin jahat bagi Rony tapi aku tidak berpikir hingga ke sana Na."

"Nah itu dia buat apa hubungan kalian? lo gak kasihan sama Rony?."

"Justru karena kasihan gue nerima dia." Potong Nao.

Anna menggelengkan kepalanya. "Aduh ikut pusing gue, iya intinya lebih kasihan Rony saat ini seolah dia yang berjuang sendirian, lo tahu kan maksud gue Na?."

"Iya tahu."

"Selebihnya itu terserah lo gue cuma nyaranin ikuti kata hati saja." Lanjut Anna yang tak mau sahabatnya itu terjebak.

"Hmmm lo bener."

Selepas dari sana Nao menghampiri Rony yang sedang latihan di lapangan, Nao duduk menunggunya pada kursi penonton.

Setelah latihan Nao menghampiri dan menyodorkan minuman, Rony yang melihat itu mengambilnya. "Thanks."

"Hmmm.."

"Ron ada sesuatu yang mau aku omongin, tentang hari itu aku benar-benar...

"Shuuut!.." Telunjuk Rony menempel pada bibir Nao, tampak pria itu tersenyum. "Aku tahu apa yang kamu pikir dan inginkan saat ini."

Sebelum melanjutkan ucapan Rony meneguk minuman yang dibawa Nao.

"Apa maksudmu?." Tanya Nao.

"Mengakhiri hubungan bukan?." Lanjut Rony yang membuat Nao terdiam seolah ia tahu, melihat itu Rony tertawa seraya mengelus pipi Nao. "Tak apa jika itu yang kamu inginkan aku menghargai, namun ingat aku tak mau asing setelah hubungan selesai, kita dulu sahabat maka kembali lagi menjadi sahabat."

"Ron..."

"Tak apa kita sepakat untuk mengakhirinya, right?." Rony meyakinkan Nao agar wanita itu tak merasa bersalah.

Nao tersenyum. "Iya, kita sahabat."

Rony memeluk erat Nao begitu pun sebaliknya setelah mengakhiri hubungan, tidak lama keduanya tertawa bersama.

Anna yang melihat dari kejauhan merasa lega.

.

Nao kini sudah masuk dan mulai magang di Airoo Company bersama Anna, dari pada debat dengan mamanya ia lebih baik patuh saja.

Seperti hari ini setibanya sore hari di rumah, Nao melihat jas hitam Ares kala itu yang belum dikembalikan. "Jika dipikir-pikir selama 4 hari aku belum melihatnya, kemana dia?." Bukan hanya di rumah di perusahaan juga Ares tak terlihat.

Ada rasa yang mengganjal namun Nao cepat menggubris itu. "Dia punya pekerjaan, buat apa kau mengingat pria menyebalkan itu Na?."

Nao menggelengkan kepalanya berkali-kali lalu memilih masuk kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sementara Ares saat ini disibukkan dengan sidang skripsinya, banyak yang harus dilakukan untuk menyelesaikan S2 di usia muda, setelahnya ia akan fokus bergelut di dunia kerja sebelum nantinya menggantikan posisi Agam.

Di ruang pribadi perusahaan.

Ares keluar dari kamarnya hanya mengenakan celana pendek membiarkan tubuh atletis itu terekspos, tampak ia habis mandi.

"Bagaimana dengannya?." Ujar Ares kepada Ben yang sudah menyelesaikan pekerjaan.

Ben tersenyum. "Adik itik-mu?."

"Ck! hanya aku yang bisa menyebutnya itik." Potong Ares dengan tatapan sinis.

Ben terkekeh. "Iya-iya, seperti yang kau tahu Nao mulai masuk magang di perusahaan ini dan dia tidak keluar malam lagi hanya sahabatnya yang datang ke sana."

"Hmmm, pria yang bernama Rony?."

"Mereka berinteraksi di kampus saja, Rony tidak datang lagi ke rumah." Ujar Ben menyampaikan info.

"Oke, awasi terus."

"Ya."

"Res?." Tanya Ben.

Ares yang sedang minum menoleh.

"Apa langkahmu selanjutnya? kau memang tidak mengucapkan secara langsung tapi sikapmu menunjukan bahwa Nao wanita yang berhasil mencuri hatimu dan kau mencintainya." Ujar Ben.

Ares diam sesaat namun ia terkekeh.

"Jika dugaan ku salah maka izinkan aku yang mengejarnya." Sengaja Ben memancing membuat tatapan Ares seketika berubah.

"Mau ku bunuh?."

"Tentu saja tidak."

Tatapan Ares tertuju pada luar jendela perusahaan. "Aku yang mengambil kesuciannya maka aku yang harus menjadi suami Nao, tampak tak mungkin namun wanita itu tak akan ku lepaskan."