Kisah ini mengisahkan tentang seorang gadis lugu dan seorang pilot playboy yang saling jatuh cinta. Pertemuan pertama mereka terjadi di dalam pesawat, ketika sang pilot memenuhi permintaan sepupunya untuk mengajak seorang gadis lugu, ke kokpit pesawat dan menunjukkan betapa indahnya dunia dari ketinggian, serta meyakinkannya untuk tidak merasa cemas. Tanpa diduga, pertemuan ini justru menjadi awal dari kisah mereka yang dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RUDW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kita Akhiri Saja
Dalam perjalanan pulang, senyum cerah tak juga luntur dari wajah tampan Xander. Hati melayang, masih terbawa euforia kenekatan beberapa saat lalu—mencium Clarissa sebelum beranjak pergi.
Gadis itu sudah terlelap, tak menyadari bagaimana Xander mencondongkan tubuh, lalu dengan lembut mengecup kening dan bibir yang terlihat menggoda. Hanya sejenak, sekadar ucapan selamat malam, tetapi cukup untuk membuat jantung pria tampan itu berdebar tak karuan.
Ada dorongan kuat dalam diri Xander untuk tetap tinggal, menghabiskan malam di sana. Namun, ia sadar betul—Clarissa begitu polos. Jika ia bersikap terlalu berani, gadis itu pasti akan merasa tidak nyaman.
"Kenapa aku bisa sebahagia ini?" gumamnya, sambil tangan menyentuh dada yang berdegup lebih kencang. Perasaan yang cukup asing.
Lantunan musik romantis dari radio mobil semakin memperkuat suasana hatinya. Seakan dunia pun bersekongkol untuk membuat kebahagiaan itu lebih nyata.
Sesampai di rumah, rona bahagia masih melekat jelas di wajah Xander. Bahkan saat ia menyapa sang mommy di dekat tangga, ekspresi ceria itu begitu kentara hingga menarik perhatian.
"Hei, Mom! Cup!" Sapanya sambil mengecup pipi wanita itu.
Emily menyipitkan mata, menatap putranya dengan keheranan. "Ada apa dengan wajahmu?"
Xander mengernyit. "Memangnya ada apa, Mom?"
"Kamu tersenyum sendiri sejak masuk rumah. Ada sesuatu yang menyenangkan, ya?"
Alih-alih menjawab, Xander justru semakin lebar merekah senyum, seolah tengah mengingat sesuatu yang begitu berharga.
"Tidak ada apa-apa, Mom. Aku hanya... sedang bahagia."
Emily menghela napas, masih tak paham. Namun, ia memilih tak mendesak lebih jauh. "Ya sudah, kalau begitu. Jangan lupa mandi sebelum tidur."
"Siap, Mom! Good night!" Xander bergegas menaiki tangga.
Dari kejauhan, Emily masih menatap punggung putranya dengan penuh tanda tanya. "Ada apa dengan dia? Berseri-seri seperti itu..." gumamnya pelan.
Suara berat tiba-tiba menyela. "Sedang jatuh cinta, sepertinya."
Emily tersentak kaget. "Ya ampun, Honey! Kenapa muncul tiba-tiba seperti hantu!" tangannya refleks memukul bahu Victor.
Pria itu terkekeh, menikmati ekspresi sebal sang istri. "Jangan cemberut begitu, nanti keriputmu makin bertambah, Sayang."
Emily spontan meraba wajahnya, seolah memastikan ucapan sang suami tak menjadi kenyataan. "Hei, itu tidak akan terjadi! Aku tetap cantik, meskipun sudah enam puluh tahun lebih!"
Victor tertawa kecil, lalu dengan sekali gerakan, ia mengangkat tubuh istrinya seperti membawa karung beras. "Kamu memang cantik, dan akan semakin cantik kalau malam ini kamu membuat suamimu bahagia di ranjang."
"Aku berat honey! Turunkan aku!" protes Emily, tetapi tawanya menggema. Dalam hitungan detik, keduanya menghilang ke dalam kamar, di mana hanya suara desahan penuh gairah yang menggema di dalam sana.
☆☆☆☆
Sementara itu di kamar yang bersebelahan, Xander baru saja selesai mandi. Hanya handuk selutut yang melilit di pinggang, memperlihatkan tubuh atletis dengan perut berotot yang masih basah oleh sisa-sisa air. Rambut yang setengah kering menambah kesan sensual, seolah ia baru saja keluar dari iklan parfum pria kelas atas.
Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, Xander duduk di tepi ranjang. Senyum tipis tak kunjung hilang dari wajahnya. Ia masih tenggelam dalam memori tentang Clarissa—tentang wajah tidur gadis itu yang terlihat begitu damai, begitu polos... begitu menggemaskan.
Tangan bergerak mengambil ponsel. Jemari Xander membuka galeri, melihat foto yang sempat ia ambil diam-diam tadi. Clarissa tertidur nyenyak, dengan rambut terurai dan napas teratur. Sejenak, dadanya bergetar tanpa alasan yang pasti.
Namun, momen itu buyar ketika layar ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah panggilan masuk. Nama yang tertera di layar membuat Xander menghela napas malas. Olivia.
Sebisa mungkin ia mengabaikan. Namun, panggilan itu terus berdering tanpa henti, memaksa untuk mengangkat.
"Halo?" jawab Xander singkat, tanpa antusiasme.
Dari seberang, suara Olivia terdengar menyentak, sedikit bercampur kesal. "Kenapa kamu terdengar malas? Akhir-akhir ini kamu selalu menghindar. Telepon dan pesan pun tak kamu balas!"
Xander menutup mata, berusaha sabar.
"Atau... kamu sudah bertemu perempuan lain yang bisa membuatmu lebih bergairah dibandingkan aku?" lanjut Olivia dengan nada menantang.
Diam. Xander tidak menanggapi.
"Hah? Kenapa diam? Apa aku benar?"
Lagi-lagi, tak ada jawaban.
Nada suara Olivia berubah tajam. "Ingat, Xander. Kita bukan hanya partner di ranjang, tapi kamu juga kekasihku. Semua orang tahu, kamu adalah calon tunanganku."
Xander mengernyit. Matanya berkilat tajam. "Kita tidak pernah membuat perjanjian seperti itu, Olivia," ucapnya dingin.
Wanita di seberang sana terdiam.
"Kalau kamu mulai membuat klaim sepihak seperti itu, lebih baik kita akhiri saja semuanya. Aku sudah bosan."
Tanpa menunggu reaksi, Xander langsung memutus panggilan.
Di apartemen, Olivia membuang ponsel ke sofa dengan kesal. Rahang wanita itu mengatup erat, mata pun berkilat penuh amarah.
"Bodoh! Seharusnya aku merayu dia tadi, bukan malah bicara seperti ini..." gerutunya. Namun, rasa penyesalan itu tak berlangsung lama.
Ada sesuatu yang mengusik pikiran Olivia.
"Ada seseorang yang membuat Xander berpaling..." bisiknya lirih.
Sebuah kilasan pikiran muncul di benaknya, menyusup seperti racun yang mengusik ketenangan.
"Aku akan mencari tahu siapa wanita sialan itu," ujar Olivia dengan nada penuh kebencian.
☆☆☆☆
Selepas mengakhiri panggilan dengan Olivia, Xander masih terbaring dengan pikiran berantakan. Suasana hati mendadak buruk, dan kantuk pun tak kunjung datang.
Spontan, ia meraih ponsel dan menelepon sahabatnya, Nathaniel. Namun, saat panggilan tersambung, ia malah terdiam. Sementara yang ditelepon justru bingung.
"Halo? Ada apa?" suara Nathaniel terdengar di seberang.
Sepuluh detik berlalu tanpa jawaban.
"Xander? Ada masalah?"
Xander tetap diam.
"Heh, kalau tidak ada yang penting, ngapain telepon? Ganggu orang aja!" Nathaniel terdengar kesal.
"Tunggu!" akhirnya Xander bersuara.
"Kukira kamu jadi bisu!" ejek Nathaniel. "Cepat katakan, aku sibuk."
Xander menghela napas. "Kamu sedang apa?"
"Apa pedulimu? Aku lagi sib—"
Nathaniel berhenti sejenak dan Xander seperti mendengar suara seorang perempuan merengek manja.
Dia mengernyit. Suara itu... terdengar familiar.
"Tunggu... Kamu bersama siapa?" tanya Xander penuh selidik.
Nathaniel tertawa kecil. "Bukan urusanmu."
Xander semakin penasaran. Suara itu... ia merasa mengenalnya.
Tapi siapa?