Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31: Black Secret, STMJ, dan Misi Selanjutnya
Pagi itu, taman kota sudah dipadati orang-orang yang menikmati Car Free Day . Sepeda, skuter, dan pejalan kaki berseliweran di jalanan yang ditutup untuk kendaraan bermotor. Suara musik dari panggung kecil di tengah taman semakin memeriahkan suasana. Sementara itu, aroma jajanan dari pedagang kaki lima menggoda siapa saja yang lewat.
“By, ini rame banget. Jangan-jangan susah nemuin mereka,” ujar Alfariel sambil celingukan. Sesekali matanya menyisir kerumunan.
“Yakin mereka nggak pake spanduk gede bertuliskan STMJ di sini biar gampang dicari?” sahut Abyan setengah bercanda.
Fariz menimpali, “Yaelah, By. Kalau pake spanduk itu kan malah ketahuan kalau mereka lagi jualan STMJ beneran.”
Tawa kecil pecah di antara mereka. Akhirnya, mereka melihat Revan melambaikan tangan. Geng STMJ langsung dikenali berkat Bagas yang heboh memainkan ukulele kecil di tengah kerumunan.
Di salah satu sudut taman, Revan, Raka, Satria, Bagas, dan Angga sudah berkumpul membentuk lingkaran. Di tengah mereka, jajanan seperti gorengan dan es teh berjejer.
“Al! Sini-sini, gue udah pesenin gorengan, tinggal bayar aja,” sapa Revan dengan nada bercanda begitu Alfariel dan teman-temannya sampai.
Zidan menyipitkan mata. “Kak Revan, lo yakin lo pesenin atau cuma ngejadiin kita sponsor gratis?”
Revan tertawa. “Santai, Dan. Nih gorengan gue bayar sendiri kok, cuma kalian tinggal bayar es tehnya aja.”
Mereka semua duduk melingkar, menikmati suasana santai di sudut taman. Bagas yang masih dengan ukulelenya mulai menyanyikan lagu dengan nada tak jelas.
“Kau langganan menangis, lakimu muntah-muntah—” Bagas memulai.
“Stop! Demi Tuhan, Kak Bagas, lo harus berhenti sebelum burung-burung di taman ini pada demo!” Zidan memotong dengan suara putus asa.
Angga terkekeh sambil menunjuk ke arah sekumpulan burung gereja yang terbang menjauh. “Zidan bener. Tuh, burung gereja aja udah mulai pindah ke taman sebelah. Kasihan mereka, Gas.”
Bagas menatap mereka semua dengan ekspresi dramatis, seperti seorang artis yang merasa karyanya tak dihargai. “Lo semua emang nggak ngerti seni. Gue ini menciptakan mahakarya, tau nggak?”
Raka menepuk pundak Bagas. “Bukan nggak menghargai, Gas. Telinga kita aja yang nggak siap sama suara lo.”
Bagas mendengus pura-pura kesal lalu kembali memetik ukulelenya. “Ya udah deh, gue diem aja. Tapi nanti kalau gue jadi viral di TikTok, jangan ngemis-ngemis minta diajakin kolab!”
Zidan mengabaikan ancaman konyol itu, matanya tertuju pada tusuk cilok yang dipegang Abyan. “By, lo yakin itu cilok? Jangan-jangan lo lagi makan bola bekel?” katanya sambil menatap tajam.
Abyan mendengus dan mengibaskan tangannya. “Santai kali, Zi. Ini cilok premium. Kenyalnya beda tau!” Abyan menggigit cilok itu dengan penuh percaya diri, tetapi ekspresinya langsung berubah kaku. “Eh, kok keras ya?” gumamnya dengan mulut setengah penuh.
Gibran langsung tertawa terbahak-bahak sampai hampir tersedak napasnya sendiri. “Makanya, By, jangan sembarangan beli cilok dari abang-abang yang gerobaknya udah miring gitu. Itu cilok kayaknya udah diawetin sejak zaman dinosaurus, tau nggak?”
Abyan menghela napas panjang, tetapi belum sempat membalas, Alfariel sudah memotong dengan nada tegas. “Udah, udah. Fokus, dong! Kita di sini buat bahas rencana, bukan nge-roasting ciloknya Abyan.”
“Iya, maap, maap,” kata Zidan sambil mengangkat tangan. Dia tetap menyengir lebar.
Revan mengangguk. “Oke, gue mulai aja ya. Jadi, dari info yang gue dapet, dugaan suap di pertandingan basket itu melibatkan tiga wasit, ada referee, umpire, sama scorer. Yang paling mencurigakan itu referee. Dia yang kelihatannya jadi otak dari semuanya.”
Bagas yang tadinya asyik memainkan ukulele, tiba-tiba merespons. "Wasit? Wah, mungkin dia sering beli cilok abang yang miring tuh.”
Semua tertawa kecil, kecuali Alfariel yang mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Kak Bagas, bisa nggak lo serius barang semenit aja? Ini tuh masalah gede.”
“Aduh, sorry, sorry. Gue cuma mencairkan suasana,” ujar Bagas sambil menaruh ukulelenya. “Oke, gue serius sekarang. Lanjut, Van.”
Revan melanjutkan. “Gue denger dia juga nyogok salah satu panitia biar tim SMA Mentari bisa masuk lewat jalur belakang tanpa pemeriksaan ketat. Ini makin jelas nunjukin kalau ada permainan kotor.”
“Fix sih, ini udah kayak skandal besar. Jadi apa langkah kita selanjutnya?” tanya Abyan sambil menyeruput es tehnya.
Satria membuka catatan kecil yang dia bawa. “Gue punya ide. Kita perlu kumpulin bukti. Caranya, kita bisa pantau langsung tim basket SMA Mentari. Mereka biasanya latihan di lapangan belakang sekolah pas jam pulang.”
Bagas menambahkan dengan semangat. “Dan kita bisa cari tahu lebih banyak soal wasit itu. Mungkin ada jejak digital kayak percakapan atau bukti transferan yang mencurigakan.”
Fariz sambil menggigit tempe goreng menimpali. “Tapi masalahnya, gimana caranya kita masuk ke SMA Mentari? Security-nya tuh ketat banget, apalagi sekarang mereka pasti lebih waspada sama siapa pun yang nggak dikenal.”
Gibran mengetuk meja kayu kecil di depan mereka, mengundang perhatian. “Gue ada ide. Sebentar lagi kan SMA Mentari bakal ngadain dies natalis. Kita bisa pura-pura nyari info tentang guest star mereka. Kalau ada yang nanya, kita bilang aja lagi mau beli tiket konsernya. Sambil jalan, kita bisa pantau situasi.”
Alfariel mengangguk, setuju dengan rencana itu. “Oke, tapi kita butuh orang dalam buat mempermudah semuanya. Siapa yang bisa bantu?”
Revan mengangkat tangannya dengan yakin. “Gue ada kenalan di sana. Namanya Dimas, anak kelas 11. Dia ketua OSIS di SMA Mentari. Gue yakin dia bisa bantu kita dapetin akses ke sana.”
Zidan menyipitkan matanya curiga. “Tapi, gimana kalau dia nolak bantuin kita? Atau lebih parah lagi, gimana kalau dia ngebohongin kita?”
Revan menggeleng cepat. “Nggak mungkin, Dan. Dimas itu orangnya jujur banget, bahkan saking jujurnya kadang bikin orang kesel. Gue percaya dia nggak akan macam-macam.”
Abyan mengangguk mantap. “Oke, jadi langkah pertama, kita masuk ke SMA Mentari pake alasan mau beli tiket konser. Langkah kedua, kita minta bantuan Dimas buat dapet akses ke ruang ekskul basket.”
Revan melirik jam tangannya, berpikir sejenak. “Gue bakal hubungi Dimas hari ini. Kalau dia setuju, kita atur jadwal buat masuk ke SMA Mentari, mungkin minggu depan pas tim mereka lagi latihan di lapangan belakang.”
Raka yang sejak tadi serius memperhatikan ikut menambahkan. “Oke, sih. Langkah ketiga, kita kumpulin bukti sebanyak mungkin. Rekam atau foto apa pun yang kelihatan mencurigakan. Kalau situasi memungkinkan, kita masuk langsung ke ruang ekskul basket mereka buat cari tahu lebih dalam.”
Bagas tiba-tiba menyeletuk. “Tapi jangan lupa, kita juga harus hati-hati. Jangan sampe kita ketauan terus langsung diusir, apalagi kalau ada yang teriak, ‘Hei, kalian penyusup!’ Gawat itu.”
Semua tertawa kecil, meskipun Abyan mencoba tetap fokus. “Tapi Kak Bagas ada benarnya. Kita harus punya rencana cadangan kalau tiba-tiba situasi nggak sesuai harapan. Kayak, siapa yang pura-pura jadi pengalih perhatian dan siapa yang jaga-jaga di luar.”
Zidan langsung mengangkat tangan dengan antusias. “Gue aja yang jadi pengalih perhatian! Gue bisa bikin drama ala sinetron di depan gerbang sekolah. Tinggal pura-pura nangis sambil bilang, ‘Pak, saya ini korban cinta yang ditinggalkan!’ Dijamin satpam bakal bingung.”
Gibran ngakak sambil menepuk punggung Zidan. “Wah, bener tuh. Tinggal tambahin musik sedih, dramanya dapet banget!”
Revan menggeleng sambil tersenyum kecil. “Zidan, gue nggak tahu lo serius atau bercanda, tapi itu mungkin bisa jadi opsi terakhir kalau semua rencana gagal.”
Alfariel yang duduk di tengah, mencoba menarik kembali fokus mereka. “Udah, udah. Jangan terlalu ngelantur. Kalau lo semua terlalu banyak bercanda, kita malah jadi kehilangan arah. Sekarang gini, siapa yang bakal berani masuk ke ruang ekskul basket kalau situasinya memungkinkan?”
Abyan mengangkat tangannya. "Gue sama Kak Raka.”
Raka menyetujui dengan anggukan. “Oke, gue backup Abyan. Kalau ada yang mencurigai kita, gue bisa alihin obrolan sambil ngajak mereka diskusi soal basket.”
“Bagus,” Revan menyetujui singkat, tampak setuju dengan rencana itu.
Namun, suasana serius itu mendadak pecah saat Bagas dengan gaya dramatis mengangkat tangannya tinggi-tinggi. “Gue mau tugas yang beda. Kalau situasi lagi panas, gue bakal nyanyi dengan ukulele ini buat mencairkan suasana!”
“Tolong banget, Gas,” keluh Angga sambil memijat pelipisnya. “Lo nggak capek bikin kita semua pusing dengan ide absurd lo?”
Tawa kecil mulai terdengar di antara mereka, namun suasana kembali serius saat Alfariel menambahkan, “Oke, pokoknya semua harus tetap fokus. Ini bukan sekadar misi biasa. Kita nggak bisa main-main kalau sudah sampai di sana.”
Mereka menutup diskusi itu dengan semangat membara, meskipun canda dan tawa masih terus mengiringi langkah mereka. Misi ini penuh tantangan, tetapi kepercayaan dan kerja sama di antara mereka menjadi alasan untuk tetap yakin apa pun yang terjadi, mereka akan menghadapi semuanya bersama.
***
Bersambung …