Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33: Rahasia di Balik Amplop
Sepulang sekolah, Alfariel memeriksa ponselnya yang bergetar di saku. Sebuah pesan dari Revan muncul di layar.
Revan: Al, kumpul di depan gerbang. Kita mulai langkah berikutnya sekarang.
Alfariel segera menoleh ke teman-temannya yang sedang sibuk membereskan buku di kelas. “Guys, Kak Revan ngajak kita kumpul di depan gerbang. Waktunya bergerak.”
Abyan mengangguk perlahan. “Oke, gue ikut.”
Zidan meliriknya dengan raut khawatir. “Lo yakin, By? Jangan terlalu maksain diri.”
Abyan tersenyum dan menepuk bahunya sendiri. “Tenang aja, gue udah baik-baik aja. Gue nggak bakal bikin kalian khawatir.”
Melihat keyakinan Abyan yang lain pun setuju. Tanpa menunda lagi, mereka bergegas menuju tempat parkir sekolah untuk mengambil sepeda motor masing-masing.
Di depan gerbang SMA Global, Revan bersama teman-temannya sudah menunggu. Mereka berdiri dalam lingkaran kecil, berbicara pelan sambil sesekali melirik sekitar untuk memastikan keadaan aman. Ketika Alfariel dan gengnya tiba, Revan melambaikan tangan ke arah mereka.
“Semua udah siap, kan?” tanya Revan sambil menatap satu per satu wajah mereka.
“Siap, Kak,” jawab Alfariel dengan penuh keyakinan.
Revan mengangguk puas. “Bagus. Sekarang ikuti kita. Tapi inget, jaga jarak. Jangan terlalu dekat. Kita nggak mau menarik perhatian orang lain.”
Setelah memberikan instruksi, Revan mengenakan helmnya, diikuti oleh anggota tim lainnya. Alfariel, Abyan, Zidan, Gibran, dan Fariz pun segera bersiap.
Iring-iringan motor mulai bergerak dengan Revan yang memimpin jalan. Alfariel dan gengnya mengikuti dari belakang, menjaga jarak sesuai arahan. Jalanan sore itu cukup ramai, dipadati oleh siswa-siswi lain yang baru saja pulang sekolah. Bunyi klakson kendaraan sesekali terdengar menambah riuh suasana.
Meskipun lalu lintas agak padat, Revan dan timnya tetap menjaga ritme perjalanan. Alfariel sesekali melirik ke Abyan melalui kaca spion, memastikan temannya itu tetap baik-baik saja. Di sisi lain, Fariz yang berada di posisi paling belakang terus mengawasi keadaan di sekitar, berjaga-jaga jika ada sesuatu yang mencurigakan.
***
Revan memarkirkan motornya di depan sebuah warung kopi yang berjarak sekitar 200 meter dari SMA Mentari. Sambil turun dari motor, dia berkata, “Kita parkir di sini aja. Kalau langsung ke depan sekolah, bakal terlalu mencolok. Lagipula, lebih aman dari sini.”
Angga menimpali, “Iya, lagian jam segini masih banyak siswa SMA Mentari yang baru pulang. Kita tunggu sampai situasi agak sepi.”
Mereka memasuki warung yang tampak sederhana dengan meja-meja kayu yang tertata rapi di dalamnya. Setelah memesan minuman, mereka berkumpul di sudut ruangan untuk mendiskusikan rencana.
“Jadi, langkah kita selanjutnya gimana, Kak?” tanya Gibran dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Revan menjelaskan, “Kita akan masuk lewat lapangan basket di belakang sekolah. Dari situ, kita bisa mengamati aktivitas mereka, termasuk kegiatan tim basketnya.”
Alfariel mengangguk setuju. “Tapi kita juga harus punya cara buat masuk ke ruang ekskul basket mereka, kalau memang dibutuhkan.”
Revan tersenyum tipis, menunjukkan kepercayaan diri. “Tenang aja, itu udah gue atur. Nanti Dimas bakal bantu kalian dari dalam. Dia udah sepakat untuk jadi kontak kita di sana.”
Setelah menunggu sekitar 30 menit, suasana di sekitar SMA Mentari mulai sepi. Dengan hati-hati, mereka bergerak menuju lapangan basket di belakang sekolah. Semak-semak lebat dan pohon-pohon besar menjadi tempat perlindungan mereka dari pandangan siapa pun.
“Di sini aman, nggak kelihatan dari arah lapangan,” bisik Fariz sambil berjongkok di balik pagar kecil.
Dari posisi mereka, lapangan basket terlihat jelas. Tim basket SMA Mentari tengah berlatih dengan serius. Beberapa pemain berlatih dengan serius. Ada pun yang lainnya duduk di pinggir lapangan sedang berbincang santai.
“Eh, denger itu,” ujar Zidan sambil mengangkat jari ke bibir, memberi isyarat agar semua diam.
Percakapan dari para pemain basket mulai terdengar samar-samar, tetapi cukup jelas untuk ditangkap.
“Tim SMA Global itu nggak ada apa-apanya kemarin. Mereka cuma hoki bisa sampai semifinal,” ujar salah satu pemain dengan nada merendahkan.
“Setuju banget! Kita menang karena kita lebih jago. Nggak perlu diragukan lagi,” timpal pemain lain sambil tertawa penuh percaya diri.
Abyan yang mendengar komentar itu langsung mengepalkan tangannya, wajahnya memerah menahan emosi. “Sombong banget mereka!” bisiknya dengan nada geram.
“Tenang, By,” kata Raka sambil menepuk pundaknya pelan. “Fokus dulu ke tujuan kita. Masih banyak yang harus kita kerjakan di sini.”
Percakapan itu membuat suasana semakin tegang di antara mereka. Alfariel memberi isyarat agar semua tetap fokus. Misi mereka belum selesai dan satu langkah ceroboh bisa menggagalkan semuanya. Mereka memilih untuk menunggu kesempatan yang lebih baik untuk melanjutkan rencana tanpa menarik perhatian.
Setelah beberapa menit, Alfariel memberi sinyal kepada Abyan dan Raka. “Kalian masuk ke ruang ekskul basket sekarang. Kita tetap di sini buat mengawasi situasi.”
Tanpa ragu, Abyan dan Raka mengangguk. Mereka bergerak perlahan, menyelinap menuju ruang ekskul yang berada tidak jauh dari lapangan. Di dekat pintu, Dimas sudah menunggu dengan gelisah.
“Ini kuncinya. Cepet, jangan lama-lama. Kalau ketahuan, gue kena masalah besar,” bisik Dimas sambil menyerahkan kunci cadangan.
“Tenang aja, ini nggak bakal lama,” jawab Abyan dengan nada meyakinkan.
Begitu masuk ke dalam, mereka mendapati ruangan yang penuh dengan peralatan olahraga, deretan piala yang dipajang rapi, dan rak besar berisi dokumen-dokumen.
“Lo cari di bagian rak itu, gue di sini,” bisik Abyan sambil menunjuk ke sudut ruangan.
Dengan gerakan cepat namun hati-hati, mereka mulai mencari sesuatu yang mencurigakan. Tidak lama kemudian, perhatian Raka tertuju pada sebuah amplop cokelat besar di atas meja.
“By, sini. Gue nemu ini. Kayaknya penting,” bisiknya sambil menunjuk amplop tersebut.
Abyan segera mendekat, tetapi sebelum mereka sempat membuka amplop itu, suara langkah kaki terdengar semakin mendekat.
“Cepet! Ada orang datang!” bisik Dimas cemas dari luar pintu.
Tanpa ragu, Raka menyelipkan amplop itu di balik rak untuk sementara. Setelah itu, dia dan Abyan dengan hati-hati menyelinap keluar melalui pintu yang sedikit terbuka. Akhirnya, mereka berhasil keluar tanpa masalah. Sayangnya, amplop tersebut tidak sempat mereka bawa.
Setelah menyelesaikan tugas masing-masing, geng Black Secret dan geng STMJ kembali ke warung kopi tempat mereka berkumpul sebelumnya. Raka memulai pembicaraan dengan ekspresi serius. “Di ruang ekskul tadi gue melihat amplop cokelat di atas meja.”
Alfariel langsung menatap Raka dengan penasaran. “Amplop cokelat? Apa isinya? Apa kita harus kembali ke sana untuk memastikannya?”
Raka menggelengkan kepala pelan. “Nggak mungkin kita kembali sekarang. Tapi yang jelas ada sesuatu yang harus kita waspadai dari dokumen itu.”
Zidan menyipitkan matanya, menyadari betapa seriusnya situasi ini. “Berarti misi kita nggak hanya berakhir di sini. Kita harus lebih hati-hati dengan setiap langkah ke depannya.”
Fariz mengangguk setuju. “Kita harus cari tahu lebih banyak sebelum melangkah lebih jauh. Amplop itu pasti bukan barang sembarangan.”
Revan yang mendengarkan diam-diam, mengangkat tangan sedikit untuk menyela. “Kalian yakin itu penting? Kalau memang begitu, kenapa cuma diletakkan begitu saja di ruang ekskul?”
“Gue nggak sempet buka isinya,” jawab Raka. “Tapi gue liat ada logo event pertandingan basket kemarin di amplop itu. Kayaknya ini ada hubungannya sama mereka.”
Alfariel menyimak dengan serius dan mengangguk. “Berarti itu bukti penting. Kita harus cari cara buat ngambil amplop itu.”
Diskusi mereka semakin intens. Mereka sadar bahwa setiap detik yang terlewat bisa menjadi ancaman bagi keselamatan mereka. Maka dari itu, keputusan segera dibuat untuk mengatur langkah berikutnya, mencari tahu apa yang ada di balik amplop cokelat tersebut tanpa membangkitkan kecurigaan lebih jauh.
Apakah rencana ini cukup aman, atau justru membawa mereka pada bahaya yang lebih besar? Semua itu akan segera terungkap.
***
Bersambung ….