Rara Maharani Putri, seorang wanita muda yang tumbuh dalam keluarga miskin dan penuh tekanan, hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rendra Wijaya, yang keras dan egois. Rendra menjual Rara kepada seorang pengusaha kaya untuk melunasi utangnya, namun Rara melarikan diri dan bertemu dengan Bayu Aditya Kusuma, seorang pria muda yang ceria dan penuh semangat, yang menjadi cahaya dalam hidupnya yang gelap.
Namun Cahaya tersebut kembali hilang ketika rara bertemu Arga Dwijaya Kusuma kakak dari Bayu yang memiliki sifat dingin dan tertutup. Meskipun Arga tampak tak peduli pada dunia sekitarnya, sebuah kecelakaan yang melibatkan Rara mempertemukan mereka lebih dekat. Arga membawa Rara ke rumah sakit, dan meskipun sikapnya tetap dingin, mereka mulai saling memahami luka masing-masing.
Bagaimana kisah rara selanjutnya? yuk simak ceritanya 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Jessi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arga Hilang Kendali
Arga melangkah keluar dari rumah tanpa sepatah kata pun. Malam itu, pikirannya kacau, dipenuhi oleh konflik batin yang semakin membelenggu. Ia mengendarai mobilnya menuju sebuah bar mewah di pusat kota, salah satu aset bisnis gelapnya. Bar itu berkilauan dengan lampu neon, musik menggema, dan suara tawa pelanggan. Namun, semua itu hanya membuat hati Arga terasa lebih hampa.
Dia memesan minuman tanpa henti, tenggelam dalam rasa pahit alkohol yang seolah bisa melarutkan beban pikirannya. Namun, semakin ia minum, semakin perasaan bersalah dan kebingungannya menguasai dirinya.
Di sisi lain, Rara duduk termenung di kamar. Jam dinding menunjukkan pukul 12 malam, tetapi mata Rara masih terbuka lebar. Masalah yang mereka hadapi tadi membuat hatinya berat, namun bukan amarah yang ia rasakan, melainkan kekhawatiran. Ia tahu Arga mungkin sedang melarikan diri ke tempat yang salah.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu kamar. Rara menoleh, dan matanya membelalak ketika melihat Arga berdiri di sana dengan tubuh yang goyah, matanya merah, dan aroma alkohol memenuhi udara.
"Arga... Kau mabuk?" tanya Rara dengan nada marah dan panik.
Arga tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia mendekati Rara, lalu dengan lembut mengelus perut ratanya. "Kapan kita akan punya baby, Rara?" tanyanya, suaranya serak namun terdengar penuh keinginan.
Rara melangkah mundur, mencoba menjaga jarak dan mengalihkan pembicaraan. "Arga! Kau mengatasi masalah dengan mabuk, ha? Ini bukan kau yang aku kenal!"
Namun, Arga tidak menggubris protesnya. Ia mendekat, menangkap tangan Rara, lalu menariknya ke dalam pelukan erat. "Lupakan semuanya, Rara. Masalah itu, dunia gelapku... Aku hanya ingin jadi milikmu malam ini," bisiknya di telinga Rara.
Rara mencoba berontak, namun tubuh kekar Arga membuatnya tak berkutik. "Lepaskan aku, Arga! Kau tidak bisa begini! Kita harus bicara, bukan malah seperti ini!"
Namun, Arga hanya mempererat pelukannya, seolah Rara adalah satu-satunya hal yang dapat membuatnya tetap berdiri di tengah kekacauan batinnya. "Aku lelah, Rara. Aku hanya ingin kamu di sisiku. Itu saja."
Air mata mulai mengalir di pipi Rara. Ia tahu Arga sedang terpuruk, tapi ia juga tidak bisa membiarkan tindakan suaminya ini terus berlanjut. Dengan suara yang tegas namun lembut, ia berkata, "Arga, aku di sini. Aku tidak akan pergi. Tapi kau harus sadar, ini bukan caranya. Jika kau terus seperti ini, kau bukan hanya menghancurkan dirimu, tapi juga kita."
Kata-kata Rara seolah menusuk hati Arga. Ia terdiam, pelukannya melemah. Perlahan, ia melepaskan Rara dan duduk di tepi tempat tidur, wajahnya tertunduk.
Arga perlahan mendekat, langkahnya sedikit goyah, tapi matanya menatap lurus ke arah Rara. Ia berlutut di depannya, menangkupkan kedua tangannya di wajah Rara, menyentuhnya dengan lembut seolah takut ia akan menghilang.
"Rara..." bisiknya, suaranya serak namun sarat emosi. "Maafkan aku... untuk semuanya. Aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi suami yang pantas untukmu."
Rara hanya diam. Kata-kata Arga terdengar tulus, dan hatinya berdebar keras mendengar suara yang biasanya penuh ketegasan kini berubah rapuh.
Perlahan, Arga mendekatkan wajahnya, matanya tak lepas dari mata Rara. Ia berhenti sejenak, memberi waktu jika Rara ingin menjauh. Namun, Rara tetap diam di tempatnya, terhipnotis oleh intensitas tatapan suaminya.
Dengan lembut, bibir Arga menyentuh bibir Rara. Ciumannya ringan pada awalnya, seperti menyampaikan permohonan maaf tanpa kata-kata. Namun, saat Rara mulai membalasnya, ciuman itu berubah menjadi lebih dalam, seolah mereka berdua mencari pelarian dari rasa sakit yang memenuhi hati mereka.
Pelukan Arga semakin erat, membuat Rara merasa aman dalam kehangatan tubuhnya. Malam itu, mereka membiarkan semua kekhawatiran, kemarahan, dan rasa sakit yang sempat melingkupi hari itu perlahan memudar.
Dalam keheningan malam, mereka saling berbagi kehangatan, tanpa perlu kata-kata, hanya perasaan yang berbicara. Untuk sementara, mereka memilih melupakan segalanya, memilih berada di dunia kecil mereka yang penuh keintiman dan cinta.
Paginya, rara terbangun dengan rasa hangat yang menyelimuti tubuhnya. Matanya membuka perlahan, dan ia mendapati arga terbaring di sampingnya. Wajah suaminya tampak tenang dalam tidur, meskipun ada sedikit kelelahan di bawah matanya. Rara menatapnya dengan penuh perasaan, masih mencoba memahami segala yang terjadi sebelumnya.
Tangan arga terulur, dan tanpa sadar, ia menggenggam tangan rara, yang masih terbaring di sampingnya. Perlahan, arga membuka matanya, menyadari bahwa rara sudah terjaga.
"Selamat pagi sayang," ujar arga dengan suara serak, mencoba tersenyum meski matanya masih belum sepenuhnya terbuka.
Rara hanya mengangguk, merasa canggung. "Pagi, Arga," jawabnya pelan.
Ada keheningan sejenak antara mereka. Tak ada kata-kata besar yang diucapkan, hanya sebuah kehadiran yang terasa kuat di antara mereka berdua. Arga menggeser sedikit tubuhnya, duduk di tepi tempat tidur dan merapikan rambutnya yang acak-acakan.
"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Arga dengan nada lembut, matanya menatap rara dengan penuh perhatian.
Rara terdiam sejenak. "Aku... Aku sedang mencoba mengerti semuanya," jawabnya dengan jujur. "Tapi aku tak bisa membohongi diriku. Aku merasa ada banyak hal yang harus kita selesaikan."
Arga terdiam, menatap rara dengan tatapan yang dalam.
"Aku tidak ingin membahas itu lagi" ucap Arga akhirnya
Rara tersenyum kecil. "Aku berharap masalah kita segera selesai," jawabnya dengan lembut. "Aku ingin kita bisa saling mendukung, Arga. Aku ingin kita bersama, hidup tenang dan normal seperti orang lainnya."
Arga hanya diam, lalu bangkit dari tempat tidur. "Aku akan membuatkan sarapan. aku tidak ingin lagi ada pertengkaran" ucapnya sambil berjalan ke arah pintu.
Rara menghela nafasnya, lagi dan lagi arga hanya menghindari dirinya dari perdebatan tersebut.