Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1. Aku bukan batu
"Maaf. Aku khilaf," ucap Arya, kedua maniknya berkaca-kaca.
Raya sendiri hanya membisu, dengan air mata yang berjatuhan tanpa jeda. Sakit, sungguh sakit tak terkira dan tak terucap dengan kata. Dadanya merasa sesak dan rasanya ingin meledak. Raya ingin memukul wajah suaminya sampai puas. Ia ingin berteriak hingga rasa yang mengganjal dalam hatinya bebas.
"Izinkan aku menikahinya. Dia sedang hamil sekarang," lanjut Arya
Air mata Raya semakin luruh, tubuhnya bergetar hebat, menahan amarah bercampur sakit hati. Wanita gila mana, yang akan mengizinkan suaminya menikah lagi. Sementara, ia masih sanggup melakukan tugasnya sebagai istri.
"Ra," panggilnya.
Namun, Raya masih membisu dengan wajah basah, ia bahkan mengalihkan pandangan. Sumpah, ia tidak sanggup. Langit rasanya runtuh diatas kepala, kedua kakinya seolah berpijak di lumpur hidup yang mengisapnya perlahan hingga ke dasar.
"Kenapa harus minta izinnya?" sela sang ibu mertua, "Kamu tidak perlu izinnya. Kamu secepatnya, menikahi wanita itu. Kamu harus tanggung jawab."
Benar. Arya memang tidak butuh izin, jika ingin menikah lagi. Tapi paling tidak, Raya ingin keluarga sang suami melihat posisi, kekecewaan, sakit hatinya.
Kepala Raya berdentam hebat, karena terlalu menangis. Ia kehabisan oksigen, sebab cairan menutupi saluran pernapasannya. Pandangannya perlahan kabur, hingga ia harus menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali.
"Ceraikan aku!" ujar Raya, dengan sisa tenaga yang ia miliki.
"Ra!"
"Kamu jangan menambah masalah. Cerai, cerai, kamu sedang mengancam putraku?" Ibu mertua yang kembali menjawab dengan nada tinggi.
"Ibu, stop! Jangan ikut campur. Tolong, tinggalkan kami."
"Bagaimana ibu tidak buka mulut? Istri kamu ini harusnya tahu diri. Apa susahnya di madu? Toh, kamu akan tetap menafkahinya. Jika kamu tidak tanggung jawab, urusannya bisa panjang."
"Ibu, tolong keluarlah."
"Ra, ibu ingatkan kamu, yah! Lihat kondisi kamu sekarang. Kamu pikir, bisa memberi makan anak kamu, dengan minta cerai, hah! Arya, tidak akan selingkuh, jika kamu becus ngurus dia!"
Tatapan Raya berubah menjadi nyalang, menakutkan sekaligus ngeri. Ia tidak pernah memberikan tatapan seperti itu kepada mertuanya, selama ia menjadi menantu. Namun, hari ia benar-benar murka.
"Kenapa? Kamu tidak terima?" ibu mundur, Raya maju dengan tatapan yang sama.
"Tidak becus?" ulang Raya, "aku melayani ibu dan anak, di rumah yang berbeda, seperti pembantu. Dan kau mengatai ku tidak becus?"
"Bu ... bukankah itu sudah tugasmu?" ibu mengalihkan pandangan, tidak berani menatap menantunya yang kini mengeluarkan tanduknya.
"Tugas?" Raya tersenyum pahit. "Apa aku pembantumu? Apa kau pernah memberikanku gaji, Hah!" teriak Raya membuat ibu mertuanya terlonjak.
"Raya!" bentak Arya.
"Apa?" teriak Raya yang semakin lantang, "kau mau menamparku? Kau meminta izin, seolah-olah kau akan menuruti perkataanku. Apa gunanya, meminta izin, jika kau tetap menikahinya."
"Ra, maafkan aku." Arya menggenggam kedua tangan Raya. "Aku yang salah, aku memang bajingan. Tolong, jangan berpikir untuk bercerai. Lily, masih kecil. Dia membutuhkanku."
"Kau tahu dia masih kecil dan membutuhkan mu," teriak Raya, "kau berselingkuh, apa masih memikirkan anakmu, memikirkanku? Apa salahku? Aku kurang apa, selama ini? Katakan, apa?"
Dia membisu.
"Kau tidak pernah mengingat, apa yang aku lakukan untukmu. Bagaimana kita bisa menjadi seperti sekarang? Aku rasa, kau tidak pernah mengggapnya, hanya karena aku tidak menambah penghasilanmu."
"Ra,"
"Ceraikan aku, jika kau ingin menikah lagi," teriak Raya dengan lantang, dengan mata melotot.
"Tidak akan. Aku tidak akan menceraikanmu."
"Kau yakin?" Raya tersenyum dengan penuh kepahitan. "Apa kau tahu, aku hampir gila sekarang? Aku bisa membunuh siapapun, saat ini. Ceraikan aku. Agar aku bisa waras dan kembali hidup."
Malam itu, Raya menangis sepuasnya tanpa bersuara, sendirian, bertemankan kegelapan dan sakit hati. Sekuat apapun, ia berpikir positif, tetap tidak bisa. Ia tidak terima. Ia salah apa? Kenapa Arya begitu tega? Pertanyaan, demi pertanyaan terus terlontar dari pikirannya.
Arya sendiri, tidur dirumah orang tuanya. Tepat, disamping rumah mereka. Ia membawa putri mereka bersamanya.
Raya dan Arya membangun rumah, dilahan kosong milik orang tua suaminya. Karena, ia merupakan anak sulung.
Lambat laun, rumah yang sudah berdiri kokoh, mulai terisi perabotan dan berkat rezeki, mereka memiliki kendaraan roda empat. Namun, setelah semua yang terjadi. Ia merasa semua usahanya terasa sia-sia dan tidak berguna? Karena ia tahu, siapa yang akan menginjakkan kaki keluar dari rumah ini.
Pagi ini, Raya sudah mengemas semua pakaian dan Lily, putrinya. Dua koper besar dan satu tas jinjing.
"Ra, tolong jangan seperti ini! Kau membuat semuanya runyam," cegah Arya. Ia mengenggam erat tangan sang istri.
Raya tidak menjawab, ia menghempaskan tangan Arya dan terus melangkah keluar rumah, sembari menggendong Lily, yang kebingungan.
"Papa," panggil Lily, saat keduanya diambang pintu rumah.
"Raya, stop!" teriak Arya, yang kesabarannya kini sudah habis, "apa kau tidak bisa menunggu dan bersabar? Aku hanya ingin kau tetap tinggal dan menerimanya. Aku akan tetap melakukan tugasku sebagai suami dan ayah. Apa susahnya menerima itu?"
Raya memberikan Lily kepada iparnya, yang sedari tadi membantu membawa koper. Sang ipar berlari masuk kamar, mencegah anak sekecil Lily melihat pertengkaran orang tuanya.
"Menerima?" isak Raya, "kau mau, aku menerima situasi ini? Kau mau, aku melihatmu ijab kabul dan duduk dipelaminan, seperti orang bodoh. Kau pikir aku batu." Raya melotot, bibirnya bergetar. Rasanya ia ingin mengayunkan kepalan tangannya yang terkepal.
"Ra. Kau ingin, aku bagaimana? Aku hanya ingin tanggung jawab dan aku mau kau mengerti keadaanku."
"Lalu, aku bagaimana?" bentak Raya dengan suara lantang, "kau mau dimengerti, lalu aku bagaimana? Katakan! Kau berbuat salah dan aku yang yang harus mengerti keadaan kamu, begitu."
"Oke, aku salah. Lalu, aku harus apa? Semua sudah terjadi. Apa kau tidak bisa menerima dan menghadapinya? Aku juga tidak menginginkan ini."
"Kau menginginkannya, Mas. Sejak kau memutuskan untuk tidur dengannya. Kau sudah memilih jalan yang akan kau lalui. Ceraikan aku!" Untuk kesekian kalinya Raya mengatakan hal yang sama.
"Sudah, ceraikan saja! Dia begitu ngotot, seolah bisa hidup tanpa nafkah dari kamu," sela ibu mertua Raya yang selalu tiba-tiba muncul dan bersuara lantang.
"Ibu,"
"Apa?" sahut sang ibu mertua, "biarkan saja dia pergi, kenapa kau terus menahannya? Percuma saja."
"Dia tidak akan pergi kemana-mana," tegas Arya, lalu menoleh kepada istrinya, "ini rumahmu, tinggallah disini. Aku yang akan keluar."
"Kau gila! Enak saja! Ini tanah ibu. Lagi pula, dia tidak berkontribusi apa-apa, selama ini. Apa Raya bekerja, untuk membantumu membangun rumah? Tidak, kan?"
Tidak ingin membuang waktu, Raya kembali dalam kamar mengambil Lily. Dan saat itu, Arya ikut menyusul.
"Ra, please. Jangan seperti ini. Kita bisa mencari solusi lain, asal tidak bercerai. Aku bisa mencari rumah lain untuknya dan kau tetap disini. Aku janji, aku akan bersama kalian."
"Dan dia?"
"Aku akan bersikap adil."
"Yang aku tahu, sikap adil itu berdasarkan versi kalian. Bukan versi kami yang dimadu."
Saat Raya menarik koper, Arya meraih tangan sang istri. Menggenggamnya dengan erat. Sorot matanya berubah tajam. Seperti ada kilatan amarah dan kesabaran yang sudah habis.
"Kenapa kau begitu egois?" desis Arya kasar, "aku hanya ingin bertanggung jawab dan minta pengertianmu. Tidak ada yang akan berubah, meski aku menikah lagi. Apa susahnya menerima itu?"
"Tidak ada yang akan berubah?" tanya Raya kembali, "kau akan menikah lagi, apanya yang tidak berubah?"
"Kau memang berbeda dengan Tari, Ra! Kau egois dan membuatku tidak nyaman berada di rumah. Kau tidak pengertian dan terlalu banyak menuntut."
"Ap... apa?" Raya terhenyak. Belum apa-apa, dia sudah membandingkannya dengan calon istri barunya.
"Karena kau sangat egois, aku akan mengabulkan keinginanmu. Aku menjatuhkan talak 1 padamu. Puas?"
Raya mematung, seolah suara petir menggelegar diatas kepalanya. Ini yang ia inginkan, tapi kenapa ia tidak terima dengan ucapannya. Memangnya, selama ini ia menuntut apa? Egois? Kenapa seolah ia yang bersalah?
🥀🥀🥀
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat