SUDAH TERBIT CETAK
Cinta bertepuk sebelah tangan Anja mempertemukannya dengan Cakra, siswa paling berandal di sekolah.
Hati yang terluka bertemu dengan apatis masa depan akhirnya berujung pada satu kesalahan besar.
Namun masalah sesungguhnya bukanlah hamil di usia 18 tahun. Tetapi kenyataan bahwa Cakra adalah anak panglima gerakan separatis bersenjata yang hampir membuat papa Anja terbunuh dalam operasi penumpasan gabungan ABRI/Polri belasan tahun silam.
Beautifully Painful.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. "I'm Nobody and I've Nothing"
Cakra
Ia sedang terkantuk-kantuk dengan punggung menyandar di pintu teralis besi ketika tiba-tiba sebuah suara bentakan mengagetkannya,
"BANGUN!"
Ia sempat tergeragap sebentar sebelum akhirnya menyadari sedang berada dimana. Ya, penjara.
"Pendatang baru lu!" hardik seorang pria yang berdiri paling dekat dengannya, berbadan kerempeng namun memiliki garis wajah paling bromocorah diantara sekitar dua puluhan orang yang kini tengah berdiri menegakkan badan mengerumuninya seolah sedang memberi upacara penyambutan.
Ia hanya bisa mengangguk tanpa bersuara.
"Kenalan dulu lah pendatang baru!" teriak pria berbadan paling besar dan berwajah sangar yang tadi pagi sempat meminta untuk bertukar kaos dengannya. Yang kini sedang duduk menyandar di salah satu sisi tembok sambil merokok. Tak ikut mengerumuninya.
"NAMA?!" bentak orang berbadan kerempeng sambil menggerakkan kaki seperti orang menendang namun hanya mengenai angin, tak sampai menyentuh tubuhnya.
"C-cakra."
"SIAPA?!"
"Cakra," ulangnya dengan leher tercekik.
"UMUR?!"
"Sembilan belas tahun."
Yang langsung disambut dengan gelak tawa semua orang yang sedang mengerumuninya.
"Bukan bocah lagi lu!"
"Mam pus lu!"
Begitu komentar hampir sebagian besar mereka sambil mencibir kearahnya.
"Kasus apa?!" tanya si kerempeng lagi.
"S-salah paham, Bang."
"Salah paham gimana?!"
"S-saya juga nggak ngerti kenapa bisa ditangkap."
"BUAHAHAHAHAHAHAHA!!!!" tawa kembali meledak. Beberapa bahkan kembali mencibirinya dengan sinis.
"Orang kaya lu?!" bentak si kerempeng lagi.
Namun ia menggeleng.
"Pastinya!" sahut seorang yang lain bersamaan dengan gelengan kepalanya. "Lihat aja noh mukenye bersih gitu! Pasti orang kaya!"
"Bokap lu pejabat hah?! Salah paham narkoba?!" desak si kerempeng dengan nada mengancam.
Ia menggeleng keras-keras, "Bukan, Bang. Saya bukan orang kaya. Saya orang biasa."
"Jangan bohong lu!" bentak si kerempeng sambil menarik leher kaos yang sedang dipakainya tinggi-tinggi, tapi sedetik kemudian langsung dilepaskan dengan gerakan kasar.
"Abisin aja!" seru seseorang berapi-api. "Baru masuk udah berani bohong!"
"Mana ada orang biasa punya tampang kayak lu!" hardik si kerempeng menggebu karena merasa didukung oleh teman-temannya.
"Tampang kayak gini nih!" sambil menoyor kepalanya hingga membentur teralis besi. "Pasti tampang orang kaya!"
"Ngaku nggak?!"
"Enggak, Bang," lagi-lagi ia menggeleng. "Saya beneran bukan orang kaya."
"Masih berani bacot lu?!?"
"Kasih salam perkenalan dulu, Ces!!"
"Anak baru udah belagu!!"
"Udah!" teriak pria berbadan besar berwajah sangar yang masih memakai kaos navy miliknya.
"Dia jujur!" lanjut pria berbadan besar berwajah sangar dengan santai. Dari gaya yang ditampilkan, kemungkinan besar dia adalah pemimpin di ruangan ini. Membuat puluhan orang yang mengerumuninya saling berbicara satu sama lain dengan ekspresi tak percaya.
"Orang kaya mana ada yang sepatunya sobek!" pungkas pria berbadan besar berwajah sangar sambil tergelak.
"Udah sobek, dekil, butut lagi! Apes lu! Hahahahahahahaha!!" tegas pria berbadan besar berwajah sangar sambil terpingkal-pingkal.
"BUAHAHAHAHAAHAHAHAHA!!!" diikuti tawa seluruh orang yang sedang mengerumuninya. Selang sedetik kemudian, perlahan namun pasti, mulai membubarkan diri.
Membuatnya bernapas lega karena hal yang sejak awal ditakutkan ternyata tak terjadi. Namun belum juga napas leganya tuntas, suara langkah kaki yang mendekat diikuti dengan bunyi suara kunci yang dimasukkan ke dalam lubang kembali mengejutkannya.
Hidupnya akhir-akhir ini sungguh banyak kejutan. Kejutan yang tak mengenakkan.
Kehadiran petugas yang tiba-tiba sontak membuat dua puluhan orang yang tadi dengan gagah berani mengerumuninya langsung kicep dengan ekspresi malu-malu kucing. Masing-masing berusaha terlihat sibuk sendiri, pura-pura tak menghiraukan keberadaan petugas di antara mereka.
"Kamu keluar!" ujar petugas yang telah berhasil membuka pintu teralis besi. Yang hanya bisa ia lihat kedua kakinya.
Ia masih duduk diam ketika dua puluhan orang yang sedang pura-pura sibuk tiba-tiba memelototinya dengan serempak. Tak menyangka jika yang dimaksud oleh petugas adalah dirinya.
Ketika akhirnya ia bangkit, hatinya mendadak diliputi kelegaan yang luar biasa. Karena petugas yang menyuruhnya keluar adalah pengemudi mobil yang semalam.
"Ikut saya!" ujar pengemudi mobil itu lagi setelah mengunci kembali pintu teralis besi.
Ia mengangguk dan mulai berjalan di belakang pengemudi mobil. Melewati lorong yang semalam, lalu ruang besuk tahanan dan meja cokelat panjang di sebelah kiri yang kini telah diisi oleh beberapa petugas yang sedang bekerja di balik meja. Setelah itu barulah melewati sepasang pintu besar yang penuh intimidasi, keluar dari ruang tahanan.
Pengemudi mobil terus berjalan melewati sebuah ruangan terbuka yang luas, sambil sesekali saling menyapa dengan petugas lain yang kebetulan lewat. Kemudian melewati lorong panjang yang kanan kirinya terdapat ruang-ruang mirip kantor. Berbelok ke kiri, kembali melewati lorong. Hingga akhirnya perjalanan mereka berakhir di salah satu pintu warna cokelat dengan tulisan Sat Reskrim (satuan reserse kriminal) di atasnya.
Ruangan berukuran sekitar 45 m2 ini terlihat lengang. Hanya ada satu dua orang yang duduk di meja masing-masing sambil memeriksa tumpukan berkas.
"Duduk!" perintah pengemudi mobil sambil menarik sebuah kursi kearahnya.
"Gimana rasanya di penjara?" tanya pengemudi mobil dengan nada suara yang lebih bersahabat. "Enak?"
Ia menggeleng.
"Tadi udah dapat makan?"
Lagi-lagi ia menggeleng.
Pengemudi mobil kemudian berjalan ke lemari yang memenuhi salah satu sisi tembok, mengambil sebuah kantong kresek warna putih, lalu meletakkan di atas meja tepat di hadapannya.
"Kamu mandi dulu!" perintah pengemudi mobil. "Kamar mandi disana!" sambil menunjuk keluar ruangan. "Belok kanan. Nanti ada petunjuk kamar mandi ada di sebelah mana."
Ia yang masih belum mengerti hanya termangu sambil terheran-heran mendengarkan serangkaian instruksi yang tak pernah disangkanya.
"Ini peralatan mandi sama baju gantinya," sambil menunjuk kantong kresek putih di atas meja. "Baju punya anak saya. Coba dulu."
"Mungkin sedikit kebesaran," lanjut pengemudi mobil lagi. "Karena badan anak saya gempal, bahunya bidang. Tapi memang nggak setinggi kamu."
Setelah mengangguk sambil mengucapkan terima kasih, ia bergegas menuju kamar mandi seperti petunjuk dari pengemudi mobil. Yang ternyata tak sulit ditemukan, karena banyak papan petunjuk yang menjelaskan nama-nama tempat dan ruangan dengan gamblang.
Ia berjalan dengan sedikit tergesa sambil terus menundukkan kepala. Berusaha menghindari tatapan aneh para petugas yang kebetulan lewat atau berpapasan dengannya.
"Heh!" tegur seorang petugas ketika ia hendak berbelok ke arah kamar mandi. "Mau kemana kamu?!"
Ia yang terkejut hanya bisa terbengong-bengong. Saat itulah seseorang berteriak dari arah belakang punggungnya, "Punya gua itu! Aman!"
Jelas suara si pengemudi mobil. Membuat petugas yang barusan bertanya langsung pergi tak menghiraukannya lagi.
Lima belas menit kemudian ia telah kembali ke ruang Satreskrim. Merasa lebih segar karena telah mandi dan mengganti kaos berleher belel dan berbau menyengat milik pria berbadan besar dengan kaos warna hitam bertulisan INKAI di bagian dada sebelah kanan. Kaos berbahan halus yang terasa pas di badan seperti sedang memakai kaos miliknya sendiri.
"Pas kan?" pengemudi mobil tertawa puas begitu melihatnya memasuki ruang Satreskrim.
"Sekarang makan dulu," ujar pengemudi mobil sambil menunjuk sebungkus kertas nasi warna cokelat yang tersimpan di atas meja, lengkap dengan sebotol air mineral.
"Terima kasih, Pak," ia tentu harus mengucapkan terima kasih terlebih dahulu sebelum mulai menyantap makanan di atas meja. Yang ternyata berisi sebungkus nasi Padang, lengkap dengan rendang dan sambal hijau.
Selama ia menyantap nasi Padang, pengemudi mobil mengambil duduk di meja lain. Bercakap-cakap dengan dua orang petugas yang berpenampilan tak kalah sangar dengan yang memukulinya semalam. Sesekali diselingi tawa dan jokes. Benar-benar normal seperti suasana bapak-bapak kantoran pada umumnya. Jauh dari kesan garang yang ditampilkan.
Begitu mengetahui ia telah selesai makan, pengemudi mobil segera menghampiri, kemudian mendudukkan diri di salah satu kursi yang terletak tak jauh dari tempat duduknya.
"Ini," ujar pengemudi mobil sambil meletakkan sebuah ponsel lalu menyorongkan kearahnya.
"Kabari orangtua kamu," lanjut pengemudi mobil dengan suara tenang. "Mungkin sekarang mereka lagi bingung nyari-nyari kamu."
Ia sempat terdiam sebentar karena ragu campur bingung. Tak langsung mengambil ponsel di atas meja. Hanya bisa termangu.
"Kirim pesan aja, jangan telepon," sambung pengemudi mobil sambil mengangguk. "Ayo cepet keburu teman-teman saya datang kesini."
Dengan tangan gemetaran ia mengambil ponsel dari atas meja, mengetikkan nomor ponsel Kak Pocut, kemudian mulai menulis pesan.
"Bilang kamu pergi sekitar seminggu," ujar pengemudi mobil. "Kurang lebih segitu, biar orangtua kamu nggak panik nyariin."
"S-seminggu Pak?" tanyanya heran sekaligus takut.
Pengemudi mobil mengangguk, "Pak Tama udah pulang ke Surabaya. Disana lagi banyak kasus besar. Nggak bisa cepet-cepet kesini."
"Paling hari Sabtu atau Minggu baru bisa ke Jakarta lagi."
"Dan selama Pak Tama belum datang, kamu masih harus tinggal disini."
"Baru bisa keluar atas ijin Pak Tama."
Ketika ia masih berusaha keras mencerna maksud dari ucapan pengemudi mobil, terdengar suara bening news anchor di televisi yang tengah membacakan headline news.
"Hingga hari Rabu siang, Polda Jatim telah memberikan rilis resmi tentang kasus kekerasan massal yang menimpa dua desa di Situbondo, Jawa Timur."
Membuat matanya spontan menengok kearah layar televisi yang menempel di salah satu sisi tembok.
"Kami telah menetapkan 90 orang warga dari dua desa dan 45 oknum PSPS sebagai tersangka."
Terang seseorang yang sedang diwawancarai oleh reporter, dengan tulisan yang tertera di layar televisi adalah,
Kombes Pol Heru Prasaja,
Kabid Humas Polda Jatim.
"Namun 11 diantaranya telah dikembalikan kepada orangtua masing-masing, tidak kami lakukan penahanan, karena masih di bawah umur."
Kini layar televisi kembali menayangkan situasi terakhir di TKP, dengan diikuti narasi dari news anchor,
"Bentrok massal antara oknum perguruan silat persatuan putra sakti atau disingkat PSPS dengan warga dari dua desa di Situbondo, terjadi pada Sabtu dinihari."
"Berawal dari euforia perayaan kenaikan pangkat puluhan oknum PSPS yang mengadakan pawai sepeda motor. Namun saat melintas di depan Desa Krubungan, Kecamatan Manyaran dan Desa Banyu Putih, Kecamatan Ranji, Kabupaten Situbondo. Beberapa oknum PSPS mengambil bendera merah putih milik salah satu warga sekitar."
“Mengetahui bahwa bendera diambil oleh oknum PSPS, warga tidak terima dan terjadi cekcok antara warga dan oknum PSPS."
"Oknum PSPS yang tak terima dengan tindakan beberapa warga desa, kemudian kembali pada Sabtu dini hari dengan membawa lebih banyak oknum PSPS dan massa yang diperkirakan berjumlah ratusan orang."
"Mereka melakukan penyerangan ke rumah warga dengan melempar batu serta melakukan pengerusakan barang milik warga diantaranya, rumah, kios serta mobil."
"Selain melakukan pengerusakan mereka juga melakukan penganiayaan terhadap warga sekitar."
"Berikut kita saksikan wawancara khusus reporter kami dengan Direskrimum Polda Jatim."
Kini layar televisi beralih menayangkan kegiatan reporter yang sedang mewawancarai seseorang,
"Pemirsa, sekarang kami telah bersama Kombes Wiratama Yuda, Direskrimum (direktur reserse kriminal umum) Polda Jatim, yang akan memberikan penjelasan terkini mengenai kasus kekerasan massal di Situbondo."
Kamera mulai memfokuskan gambar pada seorang berpakaian dinas lengkap yang mulai memberikan statement.
"Hari Sabtu pagi, Polres Situbondo mendapatkan laporan dari warga bahwa ada pengerusakan dan penganiayaan terhadap warga Desa Banyu putih dan Desa Krubungan Kecamatan Ranji."
Layar televisi jelas menayangkan gambar orang dengan penampilan yang persis sama seperti yang merengkuh tubuh lemah Anja di kamar hotel dini hari tadi. Namun kali ini lengkap dengan tulisan yang tertera sangat jelas di layar televisi,
Kombes Pol Wiratama Yuda,
Direskrimum Polda Jatim.
"Atas laporan tersebut, anggota kami langsung menuju ke lokasi melakukan penyelidikan."
Matanya tak lagi melihat ke layar televisi, namun telah beralih kearah ponsel yang masih digenggamnya dengan telapak tangan berkeringat.
"Itu Pak Tama keluar di TV," pengemudi mobil semakin memperjelas keadaan.
"Sejauh ini, kasus masih kita lakukan proses penyidikan lebih lanjut. Di back up penuh oleh jajaran Polda Jatim."
"Peristiwa ini sangat kami sesalkan, terlebih karena melibatkan anak-anak dibawah umur."
Suara Kombes Wiratama Yuda sampai saat ini masih terdengar menggema dari layar televisi, namun ia tak lagi berkonsentrasi karena kini tangannya yang telah berkeringat bahkan mulai gemetaran saat hendak kembali mengetik di dalam ponsel. Bayangan gelap tentang masa depan kini semakin suram. Ia bahkan tak lagi melihat apa-apa di depan sana. Hitam, pekat, kosong, tanpa daya.
"Itu baru satu kakak," ujar pengemudi mobil sambil menggelengkan kepala dan melihatnya iba.
"Kakak yang satu lagi nggak beda jauh sama Pak Tama."
"Belum bapaknya."
Ia bahkan harus menelan ludah terlebih dahulu agar memiliki kekuatan untuk berbicara, "S-saya hubungi Kakak saya dulu, Pak."
Pengemudi mobil mengangguk, "Bilang kamu pergi semingguan. Kemana kek, tapi jangan sampai keluarga kamu curiga."
"Jangan takut," sambung pengemudi mobil lagi. "Kamu nggak akan diapa-apain disini. Pak Tama udah wanti-wanti jangan sampai ada yang berani nyentuh kamu."
"Cuma memang nggak bisa keluar sebelum Pak Tama datang."
"Tunggu aja disini. Anggap lagi nginep di rumah orang."
udah aku wakilin tuh Ja 🤭🤭
ayo mas Tama cepetan nongol keburu disalip duluan 🤭