Beautifully Painful
Anja
"DIPA MEGANTARA ... I LOVE YOU!"
Ia berteriak sekeras mungkin melalui microphone clip on, yang bahkan telah terpasang sejak menit pertama pertandingan dimulai.
Namun suaranya tenggelam di antara hiruk pikuk teriakan gembira para penonton, official dan pemain yang memadati GOR Grogol di laga pamungkas HSBL (Highschool Basketball League) DKI Jakarta West Region musim ini.
Dengan peraih juara dan runner-up, yang berhak mengikuti Championship Series. Fase paling bergengsi dalam kompetisi basket pelajar terbesar se ibukota di GOR Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, tiga bulan ke depan.
"Kurang keras, Ja!"
"Elah, letoy amat. Yang keras dong biar ke notice!"
Ia mencibir ke arah Hanum dan Bening, yang mendadak cerewet seperti emak-emak kompleks. Ini juga ia sudah berusaha maksimal, menahan malu dan ego di hadapan ribuan manusia lain. Yang sebagian besar tak dikenalnya. Mengutarakan isi hati terdalam yang harusnya dilakukan dalam suasana paling privat, namun kini justru sebaliknya.
"DIPA MEGANTARA ... I LOVE YOU!"
Ia kembali berteriak setengah menjerit. Berharap Dipa notice lalu menengok ke arahnya. Seperti selama pertandingan berlangsung tadi. Acapkali usai mencetak poin, Dipa selalu mengerling ke arahnya sambil tersenyum lebar.
Namun harapan seringkali tak seindah kenyataan. Disaat asa terlalu melambung tinggi ke angkasa, dalam sekejap terhempas ke dasar jurang yang paling dalam. Menyakitkan.
"Lho, kok malah pelukan sama Tiara sih?"
"Lho ... lho ... kissing segala?!?"
Telinganya mendengar dengan baik kalimat yang diucapkan oleh Hanum dan Bening. Begitupun kedua matanya. Menangkap dengan jelas adegan paling menghancurkan hati yang terjadi di tengah lapangan, dimana Dipa tengah memeluk dan mencium Tiara.
"ANJA!"
Ia masih bisa mendengar Hanum dan Bening berteriak kaget. Ketika ia dengan kasar mencopot clip on, lalu melemparnya begitu saja ke bangku penonton.
"Lo mau ngapain?!?"
Ia pun masih bisa merasakan Hanum dan Bening berusaha menahan langkahnya. Namun gelegak kemarahan campur cemburu yang membabi buta, telah menguasai keseluruhan diri dan jiwa. Membuatnya memiliki kekuatan penuh untuk melepaskan diri. Dan kini, berlari kesetanan menuruni tribun penonton menuju ke dalam lapangan.
"ANJA!"
"NO ANJA!"
Sekeras apapun Hanum dan Bening mencegah, ia tetap tak peduli. Terus berlari menuruni tribun penonton dengan langkah panjang. Berusaha sekuat tenaga menyeruak di antara tubuh dan peluh yang berdesakan ingin merangsek ke tengah lapangan. Merayakan kemenangan fenomenal bersama para pemain favorit.
"Minggir!" teriaknya penuh amarah. "Gue mau lewat!"
"Aduh!"
"Dasar cewek gila!"
"Apa-apaan sih?!"
"WOI! KAKI GUA LU INJEK AN YING!"
Puluhan orang menggerutu dan memaki kesal. Karena ulah membabi butanya merangsek ke tengah lapangan. Namun ia tak peduli. Terus berlari dan berlari. Ingin secepat mungkin sampai di hadapan Dipa, yang hingga kini masih memeluk Tiara.
Sialan!
"ANJAAAA!"
"JANGAAAN!"
Sayup-sayup telinganya masih sempat mendengar teriakan panik Hanum dan Bening, sesaat sebelum ia menghampiri Dipa dan ....
"Hai, Ja?"
Dipa melepas pelukan dari tubuh Tiara dan tersenyum menyambutnya. Namun gerakan refleks akibat kemarahan memuncaknya, ternyata lebih mendominasi.
BUG!
Ia mendorong sekaligus memukul dada Dipa dalam satu waktu.
"Anja, apa-apaan nih?!"
Ketika Dipa masih memerlukan waktu untuk memproses kelakuan abnormalnya, ia telah lebih dulu menampar pipi Dipa. Twice!
"ANJAAAA!?!"
Bersamaan dengan terdengarnya teriakan panik penuh ketakutan Hanum dan Bening. Dalam sepersekian detik aktivitas gemuruh orang-orang di sekitar mendadak berhenti, bertepatan dengan tamparan keduanya.
Untuk kemudian semua mata memandang ke arahnya. Dengan tatapan menuduh dan penuh selidik.
"Lo jahat, Dip! Jahat!" teriaknya dengan mata memanas.
"Anja?" Dipa masih memegangi pipi yang baru saja ditamparnya dengan wajah tak mengerti. Namun sedetik kemudian tatapan Dipa berubah lembut penuh rasa ingin tahu.
"Lo tahu nggak sih, selama ini gue tuh suka sama lo! Cinta sama lo!" ia kembali berteriak. Namun kali ini sambil menangis. Deraian air mata tak terbendung lagi mengalir membasahi pipi.
"Anja?" kedua bola mata Dipa semakin melembut dengan tangan terulur berusaha meraihnya.
Tapi ia tak akan tertipu lagi kali ini. Dengan gerakan cepat, tangannya justru mendorong dada Dipa hingga terjengkang ke belakang.
"Anja?!" mata Dipa berubah menuntut. Tapi ia sudah tak peduli.
Sambil menangis, ia pun membalikkan badan dan berusaha berlari secepat mungkin. Menyeruak lautan manusia. Yang memperhatikannya dengan pandangan penuh penghakiman sekaligus mencemooh.
"HUUUUUUUUUUU!"
"Cewek gila!"
"Dih, pede banget!"
"Kegatelan!"
Suara sorakan dan cacian para penonton seisi GOR, seolah menjadi musik pengiring langkah cepatnya menuju pintu keluar. Telinganya bahkan langsung memanas. Demi mendengar ragam komentar yang hampir semua menyudutkannya.
Akhirnya, setelah berusaha keras dengan kepala hampir meledak. Juga dada yang penuh sesak oleh perasaan marah, cemburu, sekaligus hampir gila. Ia akhirnya berhasil mencapai pintu keluar GOR. Yang justru semakin membuat suasana hatinya mengharu biru. Karena keadaan di luar sedang hujan deras. Lengkap dengan petir yang menyambar-nyambar.
Dengan tanpa berpikir, ia menerobos derasnya air hujan. Telinganya bahkan masih sempat mendengar teriakan Hanum, Bening, juga Dipa yang memanggil-manggil namanya. Namun tak dihiraukan.
Ia terus saja berlari, berlari, dan berlari. Berharap derasnya air hujan, mampu menyembuhkan luka hati dalam sekejap.
DIIN! DIIN! DIIIIIINNNNNNN!
Jantungnya hampir copot. Akibat suara klakson, yang begitu keras dari mobil di belakangnya.
"MINGGIR LO! MAU MATI?!"
Teriak pengemudi mobil dengan mata melotot marah. Namun ia tetap tak peduli, terus saja berlari. Meski air hujan telah membasahi sekujur tubuhnya. Bahkan hingga sisi terdalam.
Ia basah, dingin, marah, sakit hati, dan merasa ingin mati saja.
Kakinya terus melangkah. Seolah berkejaran dengan derasnya air hujan. Yang bagai ditumpahkan dari langit.
Dengan setengah berlari melewati RSIA (Rumah Sakit Ibu dan Anak). Yang bagian lobbynya terang benderang dihiasi oleh lampu bervoltase besar.
Melalui Gereja yang dipadati oleh antrian kendaraan. Yang hendak masuk dan keluar dari kompleks Gereja. Melewati sebuah SMP yang gelap dan sepi. Dengan hanya terdapat sebuah lampu penerang di pintu gerbangnya.
Lalu menyusuri deretan toko kelontong, kedai, warung makan, angkringan, warung kopi. Yang kesemuanya ramai dengan gelak tawa meski hujan mengguyur.
Lihatlah, semua orang ceria, tertawa, dan bahagia.
Kecuali dirinya.
Ia pun mengusap pipi yang basah kuyup melalui punggung tangan. Akibat campuran dari air mata dan guyuran hujan.
Lalu menyusut hidung yang juga berair. Dengan kaki tak berhenti melangkah. Sama sekali tak mempedulikan orang-orang di sekitar. Yang sesekali memanggilnya dengan penuh rasa iba.
"Neng, mau ke mana hujan-hujanan?!"
"Nanti sakit, cantik!"
"Berteduh dulu, Neng!"
Namun ia justru mempercepat langkah. Berharap bisa sampai ke rumah.
My God Anja, dengan berjalan kaki sejauh 10 Km di malam hari saat hujan lebat?! Crazy, stupid the hell done. Alias tak mungkin.
Akhirnya, setelah berjalan melewati puluhan toko, ruko, sekolah, dan keramaian lain. Kini kemampuan dirinya tak bisa dipaksakan lagi.
Kakinya mulai melemah, terasa berat saat melangkah. Tubuhnya juga menggigil kedinginan akibat didera air hujan sepanjang perjalanannya melarikan diri.
Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri. Berusaha mencari tahu. Di mana kah ia kini berada. Semoga sudah dekat dengan rumah.
Karena sekarang yang diinginkannya hanyalah tenggelam di atas kasur, sambil menangis sejadi-jadinya. Menyesali kebodohan paling nyata yang baru saja dilakukan. Yaitu menyatakan cintanya kepada Dipa di depan umum.
Sungguh mengerikan dan memalukan. Memalukan dan mengerikan.
Damned!
Ia akhirnya memutuskan, untuk memasuki sebuah cafe paling menarik perhatian yang terletak di ujung jalan. Cafe berdesain industrial minimalis ini terlihat hangat. Dengan jendela besar setinggi langit-langit. Yang mengelilingi keseluruhan bangunan.
Ditambah sorot lampu jernih yang menerangi isi ruangan, membuat cafe ini terlihat bagai hangatnya sinar mentari di tengah pegunungan bersalju. Perfect.
Sekilas sebelum masuk ke dalam, ia sempat membaca nama cafe yang terpasang di depan pintu masuk, Retrouvailles.
Dan thanks God, suasana cafe tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung yang duduk berjauhan. Kesempurnaan yang nyata.
Ia pun sengaja memilih sofa tepat di samping jendela paling besar. Agar Dipa yang sedang mengejar dan mencarinya, langsung mengetahui keberadaannya di sini.
Sungguh Dipa sekarang sedang mencarinya? Don't think so.
"Mau pesan apa?" seorang pegawai wanita mendekati mejanya sambil membawa buku menu.
Sejenak pegawai wanita itu tertegun. Seolah sedang melihat setan. Pasti karena riasan wajahnya yang hancur berantakan akibat terkena air hujan.
"Sandwich tuna dan teh chamomile hangat, tolong," suaranya terdengar mencicit. Pasti karena dingin dan sisa isakan.
"Akan datang," ujar pegawai wanita itu segera pergi.
Entah apa yang dipikirkan pegawai wanita itu tentangnya Mungkin, semakin cepat memberinya makanan, akan semakin baik. Semacam itu.
Sambil menunggu, ia memandangi kaca yang menjadi buram terkena air hujan. Semakin lama bahkan semakin deras.
Rupanya karena hujan bertambah besar. Sesekali diselingi oleh suara petir yang menggelegar membelah angkasa.
Seakan berlomba dengan air matanya. Yang kembali mengucur deras. Sebab teringat kejadian beberapa menit yang lalu.
"DIPA MEGANTARA ... I LOVE YOU!"
Namun balasan yang diperolehnya adalah adegan paling tidak diinginkan. Yaitu Dipa yang memeluk dan mencium Tiara.
Tiara, bukan dirinya.
Sungguh miris bukan? Ia yang telah bertahun-tahun berada di samping Dipa terlebih dahulu. Justru tereliminasi oleh gadis yang baru muncul kemarin sore.
Worst thing ever!
Ia bahkan tak peduli. Meski sekarang, kakek yang duduk di seberang meja tengah menatapnya tajam. Saat isakan yang keluar dari mulutnya semakin keras. Beradu dengan derai suara hujan.
Ia hanya ingin meluapkan seluruh kesedihan. Berharap semua turut larut dalam derasnya hujan. Lalu mengalir sampai jauh.
"Ini pesanannya. Sandwich tuna dan teh chamomile hangat."
Pikiran yang kacau, pasti membuat pendengarannya terganggu. Hingga suara pegawai wanita yang tadi, mendadak berubah menjadi suara berat dan dalam. Khas seorang cowok. Sontak membuat isakannya terhenti. Untuk kemudian mendongak ke arah suara.
Tapi ia justru menyesali keputusannya. Dan buru-buru menunduk begitu melihat wajah si pemilik suara.
Membuat satu tangan kokoh dengan jemari panjang, seakan bergerak slow motion. Meletakkan piring berisi sandwich tuna. Yang masih mengeluarkan asap dan wangi bawang ke hadapannya.
Oh ya ampun, kenapa justru bertemu jenis makhluk seperti dia di saat seperti ini?
"Lo, kenapa basah kuyup begini? Kehujanan?"
Ia terpaksa menarik sedikit ujung bibir yang kaku karena kebanyakan menangis. Berusaha memberi tanda, jika semua baik-baik saja. Sekaligus mengusir cowok itu agar segera pergi dan menjauh.
Dunianya sedang runtuh, dengan cowok itu berdiri di sini, justru akan membuat kiamat menjadi kenyataan.
"Keberatan, kalau gue duduk di sini?"
Tanpa permisi, cowok itu menarik bangku di hadapannya dan langsung mendudukinya.
Jujur, ia sangat keberatan. Tapi entah mengapa, yang ia lakukan hanya diam.
Pasti kesedihan tingkat tinggi yang baru saja dialami, membuat kinerja otaknya menjadi kacau balau.
"Lo perlu ini."
Cowok itu mengangsurkan selembar kain berwarna hitam.
Namun ia enggan untuk mengambilnya. Justru ingin berteriak, menyuruhnya untuk segera pergi.
"Wajah lo ... berantakan," ucap cowok itu hati-hati. Seolah sedang berhadapan dengan singa yang marah.
Tanpa diberitahu ia mengerti. Jika yang dimaksud adalah make upnya yang luntur, dan lelehan maskara di pipi.
Entah seperti apa rupanya sekarang. Jendela kaca di samping, bahkan tak mampu menampakkan raut wajahnya dengan jelas. Tentu karena guyuran air hujan.
Pasti wajahnya terlihat menakutkan dan menyedihkan. Menyedihkan dan menakutkan. Dua kata itu saja cukup. Untuk menggambarkan kekacauan dirinya saat ini.
Cowok itu masih mengangsurkan selembar kain hitam ke arahnya. Namun ia menggeleng keras.
"Cakra!"
Teriak seseorang dari arah kasir.
"Ada pesenan nih!"
Cowok yang sedang duduk di depannya itu. Iya, yang dipanggil Cakra. Buru-buru berdiri sambil berkata, "Lo tunggu di sini."
Cih! Ia mendecih tak sudi.
Sejak kapan cowok paling berandal di sekolah bisa mengatur dirinya. Never ever. Ia tentu akan segera pulang. Usai menghabiskan sepiring sandwich tuna. Yang sedari tadi melambai-lambai dengan aroma begitu menggoda.
Namun, makan dalam suasana hati yang pedih dan terluka. Pastilah menjadi pekerjaan yang teramat berat.
Bahkan meski perut kosongnya lapar bukan main dan berteriak-teriak minta diisi. Tapi mulut, faring, dan esofagusnya, mendadak tak dapat berfungsi dengan semestinya. Sama sekali tak mau bekerja sama, dengan perut yang melolong-lolong minta diisi. Sialan!
Dan ketika ia masih berusaha keras mengunyah sandwich, yang sebenarnya lezat namun begitu menyentuh lidahnya, mendadak berubah menjadi pahit itu. Lagi-lagi tanpa permisi, Cakra telah kembali mendudukkan diri di hadapannya.
"Kenapa? Baru putus?"
Pertanyaan tanpa basa-basi -ya tentu saja, mana mungkin mengharapkan basa-basi dari berandal- dan straight to the point membuat egonya kembali terluka.
"Bukan urusan lo!" desisnya -masih- penuh amarah.
Cakra tertawa kecil.
Dan mulut Cakra yang sudah setengah terbuka, kini mendadak menutup kembali. Demi mendengar getaran ponsel di saku.
Ia memilih tak mempedulikan Cakra. Yang mengernyit melihat ponsel, sambil tertawa sumbang.
Hah, paling dari teman berandalnya. Atau cewek-cewek be go, yang sering menyodorkan diri pada cowok random macam Cakra.
Ia jelas tak peduli.
Lebih memilih untuk mengunyah sandwich, yang kali ini terasa bagai kerja rodi. Berat dan menyesakkan.
"Lebih parah dari putus ternyata," gumam Cakra dengan senyum -yang jelas-jelas mengejek- sambil memperlihatkan layar ponsel.
"DIPA MEGANTARA ... I LOVE YOU!"
Begitu suara nyaring yang terdengar dari ponsel Cakra. Lengkap dengan tayangan gambar dirinya, yang sedang berteriak di tribun penonton. Lalu berlari kesetanan menuju ke tengah lapangan.
Adegan selanjutnya sudah bisa ditebak bukan? Saat ia dengan impulsif mendorong dan menampar Dipa. Twice!
Ia hanya mendecih sebal. Lalu buru-buru menunduk. Berpura-pura menekuri piring sandwich, yang masih terisi setengahnya.
Tak ingin meladeni Cakra. Lebih tepatnya, sudah tak memiliki daya untuk sekedar beradu argumen, dengan cowok berandal yang sangat menyebalkan ini.
Tapi tanpa diduga, Cakra tak melanjutkan ejekannya. Justru berdiri. Kemudian menghilang di balik pintu bertuliskan office, yang terletak di sisi dapur terbuka cafe.
Ya, pergilah selamanya. Dan jangan pernah kembali, batinnya lega.
Namun, ketika ia mulai menikmati kesendirian. Mengunyah sandwich tuna sepelan mungkin. Sambil sesekali menyesap teh chamomile hangat. Cakra kembali muncul di hadapannya.
"Nih," ucap Cakra seraya meletakkan sebuah facial foam khusus wanita.
"Bersihin muka lo pakai ini di toilet," lanjut Cakra sambil menunjuk gambar toilet yang terletak di salah satu sudut cafe.
Ia tetap bergeming, terus saja -berusaha- asyik sendiri mengunyah sandwich.
"Sebentar lagi jam kerja gua habis," lanjut Cakra. Yang sepertinya sama sekali tak terganggu, dengan sikap abai yang sengaja ia perlihatkan secara terang-terangan.
"Gua bisa sekalian jalan, terus antar lo pulang. Belum pindah rumah kan?"
Diantar pulang ke rumah oleh hellboy? Oh, no way!
"Ini handuk buat lap habis cuci muka," imbuh Cakra lagi. Sambil menyorongkan selembar handuk warna biru ke hadapannya. Berdampingan dengan facial foam.
"Bukan handuk baru dari toko memang," Cakra terkekeh. "Cuma masih baru, habis dicuci. Seharian belum gua pakai. Serius."
"Sama baju," kini Cakra kembali menyorongkan sebuah kaos oblong dan celana.
"Lo mesti ganti baju. Kalau nggak, bisa sakit."
"Rejeki lo lumayan juga," sambung Cakra sembari tertawa sumbang. "Karena tumben-tumbenan hari ini gua bawa baju ganti."
"Mungkin kegedean sedikit, nggak apa-apa. Yang penting, lo nggak kedinginan lagi."
Ia hanya memutar bola mata. Tetap tak mempedulikan serentet kalimat penuh solusi, yang tak pernah disangkanya bisa keluar dari mulut seorang berandal.
Lebih memilih untuk terus berusaha keras mengabaikan keberadaan Cakra. Sambil terus berpura-pura menikmati sandwich. Padahal tidak.
Namun tanpa sengaja, sudut matanya yang terlalu tajam, justru menangkap seulas senyum di wajah Cakra.
"Kalau lo udah beres dan siap pulang, kasih tahu. Gua ada di dapur," pungkas Cakra sambil menunjuk dapur terbuka cafe. Untuk kemudian melangkah pergi.
***
Keterangan :
Retrouvailles. : dari bahasa Perancis, secara harfiah diartikan sebagai kepulangan atau reuni atau kebahagiaan yang dirasakan saat bertemu kembali dengan seseorang yang sudah lama tak dijumpai
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Silvi Hidayati
rinduuuu mampir sini.. ssh move on sm anja cakra tuuuhh
2024-11-21
0
Anonymous
kangen cakra😙😚😗😘...ga pernah bosen bacanya
2024-11-13
0
Ratna widayati
rindu cakra anja... solusi baca lagi😍
2024-11-20
0