tag khusus : cinta lansia
“Renata Thomson ?” panggil seorang pria bernama Prima ( 48 tahun ).
Suara yang tak asing dan bahkan sangat lama sekali tak pernah Re dengar tiba – tiba memanggil jelas namanya.
Re menoleh, alangkah terkejutnya ia dengan sosok pria bertubuh tinggi dan atletis itu. Ia tergugu dalam diam. Detik berikutnya ia setengah berlari seolah baru saja melihat hantu.
Setelah 22 tahun dan berumah tangga dengan pria lain, Renata bertemu kembali dengan tunangannya dulu.
Karena Duan sudah bosan dengan kehidupannya bersama Re, pada akhirnya Duan menceraikan Renata.
Lalu apakah Re akan terbuka kembali hatinya untuk seorang Prima ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
"Ampun, Bu !" Mika segera kabur dari kejaran ibunya.
Prima tak bisa berdiam saja melihat Mika disalahkan. "Re, jangan salahkan Mika !" menahan dengan kedua tangannya agar Re bersikap tenang.
Mika sembunyi di belakang pria itu, menjadikannya tameng perlindungan.
"Gadis ini perlu dikasih pelajaran, kalian rupanya bersekongkol di belakangku ya," Re berusaha menggapai putrinya.
Tangan Prima mencengkal pergelangan tangannya. Mika kabur ke dapur. "Aku tidak ada niatan buruk kok!" teriaknya sambil terus berlari.
Re tak bisa menyeimbangkan tubuhnya hingga ia ambruk membuat Prima terdorong jatuh ke atas sofa bersamaan dengan Re yang menindihnya.
Kedua pandangan mereka terkunci. Re bisa melihat pantulan wajahnya di bola mata pria itu dan merasakan hembusan panas dari indra penciumannya. Bersamaan itu deguban jantungnya kembali tidak normal. "Ya Ampun, jantungku kambuh lagi !" pekiknya dalam diam.
Begitu pula dengan Prima, dalam jarak yang sedekat ini ia merasakan di dalam kain segitiganya telah bangun dan mengeras. Ia sungguh tidak tahan, apalagi tubuh Re dengan balutan kain daster membuatnya makin menggoda. Pipi dan bibirnya juga terlihat mulus, bisa saja ia melahapnya seketika itu juga, sayangnya ia tidak sedang sendiri di rumah Re.
"Maaf !" Re berjingkat dan segera bangun. "Ini terlalu kekanakan." ia berusaha mencairkan suasana yang sedikit membeku. Apalagi jantungnya belum kembali normal.
"It's oke." ujar Prima sambil membenahi posisi duduknya. Prima menang banyak malam ini. Meski perasaanya juga gelisah namun ia menunjukkan sikap yang biasa saja seolah dirinya sedang baik - baik saja.
"Kalau kamu tidak menerima kedatanganku malam ini lebih baik aku pulang saja." ujar Prima dan bersiap akan beranjak dari duduknya.
Merasa tidak enak dengan kebaikan Prima atas apa yang sudah ia berikan untuknya Re lekas menahan pergerakan Prima. "Tunggu, Prima! Kamu baru saja datang masa keburu pergi ? Kamu adalah tamu di rumah ini, tidak sepantasnya aku bersikap kurang sopan padamu. Cicipilah kue nanas ini dulu, rasanya mungkin terlalu masam." Re bersikap sewajarnya juga. Menyuguhkan kue nanas itu.
Prima tersenyum, ia menang lagi. Re tak jadi mengusirnya. Padahal di awal tadi terlihat sekali emosinya membludak bak gunung meletus.
Lalu Prima mengambilnya sebuah dan mencicipinya. "Ini enak !" ujarnya dan meminta satu lagi untuk ia makan.
Re menyodorkan piring. "Sungguh, aku hanya mengikuti petunjuk di you tube saat membuatnya. Mika yang mencampurkan adonan, aku hanya membantunya sedikit."
"Ya, aku akui meski sedikit masam tapi tetap enak kok !" Prima tak ingin mengecewakan Mika, entah mengapa seperti ada ikatan batin yang kuat kerap kali berdekatan dengan gadis itu. Apalagi, warna baju yang mereka kenakan juga sama. Merah marun menjadi warna favorit keduanya ternyata.
"Lalu mana Mika?" Prima melongokkan kepala mencarinya.
"Aku akan mencarinya, dia yang sudah menyuruhmu datang, dia juga yang harus bertanggung jawab." Re beranjak menuju belakang. Dicarinya di dapur sambil memanggil nama Mika namun tak kunjung menyahut juga. Re mencari di dalam kamar. "Hah, tidur!"
Re kembali dengan perasaan bersalah dan tidak enak hati, "Maaf Prima, Mika terlanjur sudah tidur. Putriku sangat tidak sopan padamu, maafkan dia."
"Kamu santai saja Re, masih ada kamu yang menemaniku." tukas Prima yang langsung membuat wajah Renata bersungut.
"Kamu jangan memanfaatkan situasi dengan menjadikan putriku sugar baby seperti gadis - gadis lain di luar sana."
"Ya Ampun, Re ! Jahat banget pemikiranmu itu, buang jauh - jauh deh ! Malah aku menganggap Mika itu seperti anakku sendiri."
Re bersendekap lalu berkata dengan sewot, "Kamu telah membohongiku."
Prima mengerutkan dahi, "Bohong tentang apa, Re ?" tanyanya tak mengerti.
Re beralih menatapnya, "Kamu belum menikah kan ?"
"Pasti mama ya yang kasih tahu hal ini. Padahal aku sudah mati - matian loh buat jaga rahasia ini darimu."
"Prim, kamu itu sudah tua. Mengapa juga belum berkeluarga ? Seharusnya di usiamu yang sekarang ini kamu sudah mempunyai banyak anak." protes Re yang tidak terima dibodohi.
"Tua - tua begini, tapi tetep ganteng kan ?" kelakar pria itu sambil mengusap dagunya.
"Iya, ganteng kalau dilihat dari lubang sedotan." ejek Re yang masih kesal dengan kebohongan Prima.
"Segeralah menikah!" imbuhnya lagi dengan tegas. Malam ini ia akan menyampaikan apa yang sudah ia sepakati dengan nenek tua.
"Aku tidak mau !" tolaknya mentah
"Kenapa, Prima?" Re butuh penjelasan langsung darinya.
"Sesuai dengan janji yang sudah aku katakan padamu 22 tahun yang lalu."
"Janji ? Kamu masih mengingatnya. Lupakan janji itu !" Wajah Re menegang dan cemas.
"Menikah dan hidup bersama hanya dengan satu wanita, yaitu kamu, Renata Thomson," Prima mengingatkan Re kembali. Setelah sekian lama tak bertemu, Prima merasa lega bisa mengulang untuk mengatakan janji itu.
"Tidak, Prima !" Re memunggunginya. Seakan air matanya akan menitik, dengan begini ia tidak tahu keadaanya yang sebenarnya. Sangat sakit.
"Kenapa Re, kita sama - sama masih single, tidak ada masalah dengan status kita untuk menikah ? Aku sudah sangat lama menantikan momen kebersamaan kita."
Setiap kata yang keluar dari mulut Prima sangat lah indah jika di dengar oleh kaum hawa, tapi tidak dengan Re. Membuatnya semakin bersalah.
"Aku tidak bisa menikah denganmu, Prima." Re berusaha mengatakan itu dengan tegas meski bibirnya jelas bergetar.
Prima tidak terima mendengar jawaban itu. Ia membalikkan tubuh Re dengan kasar.
"Kenapa Re ?"
"Aku, aku, aku tidak mencintaimu, Prima." satu kalimat yang sudah menjadi kesepakatan telah lolos dengan begitu lancar ia ucapkan.
Prima menatap lekat wanita yang selama ini ia nanti kan.
Prima menjadi lemas, air matanya pun menitik. Dengan cepat ia menyeka matanya sebelum jatuh keseluruhan. "Aku tidak percaya. Re yang aku kenal selama ini berkata demikian padaku."
Re sesenggukan, sangat sakit mengatakannya. "Percayalah Prima. Masih ada wanita lain yang akan membuatmu bahagia. Ini sudah sangat lama, waktunya kamu mendapatkan kebahagiaan."
Prima memperlihatkan ujung jarinya. "Ingat Re, kebahagiaan hidupku hanya bergantung padamu. Kamu hidup dan matiku." lalu bergegas pergi membanting pintu dengan kasar. Hatinya sangat terluka.
Re menguatkan dirinya, hampir saja ia rapuh tak kuasa menahan diri melihat Prima sesakit itu.
Dengan tangan masih bergetar, Re merogoh kantong dasternya. Megeluarkan ponsel lalu menghubungi Merry.
"Nyonya Merry, aku sudah mengatakan apa yang sudah menjadi kesepakatan kita."
Dari arah seberang terdengar tawa gelegar nenek tua. "Sangat bagus. Aku menyukai usaha kerasmu."
"Selanjutnya, Anda tahu apa yang harus Anda lakukan."
"Kamu tidak perlu mengajariku."
"Tut!"
Dari balik pintu, rupanya Prima tidak lansung pergi. Ia mendengar Re berbicara di telepon dan menyebut nama ibunya. Ia mengambil kesimpulan jika Re telah diperdaya oleh ibunya untuk menolaknya. Padahal ibunya sangat tahu betapa ia mencintai Renata.
"Aku akan membuat perhitungan dengan Mama."