Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasib Tragis
"Apa yang akan dia lakukan saat ini jika Dia melihat lu diposisi kek gini?" tanya dia sembari mengangkat goloknya.
"Kau bisa kemari dan membuktikan sendiri," aku memegang dengan erat sabitku walau kakiku sangat gemetaran saat ini. Dia kemudian membuang ludahnya diatas rumput yang basah dan lembab.
"Oke. Lu yang minta yah," ucapnya lagi. Tiba-tiba dia berlari dengan cepat kearahku. Aku pun segera memasang kuda-kudaku untuk menghadapinya.
Dia langsung melompat dan berusaha untuk menebas tubuhku. Aku sebisa mungkin harus menghindari setiap serangannya karena aku tahu, setiap serangannya sangatlah fatal dengan ukuran golok yang besar itu. Dia menyerangku dengan membabi buta dan dengan tanpa ragu terus menerus mengayunkan golok besarnya.
Aku terus menghindar sembari mencari celah yang pas untuk melancarkan serangan balik. Dia mengayunkan setiap ayunan goloknya sembari berteriak layaknya orang yang kerasukan setan. Sangat berbahaya jika aku lengah sedetik pun untuk saat ini.
Perlahan-lahan gerakannya sedikit melambat. Aku rasa inilah kesempatanku untuk melancarkan serangan balik. Disebuah kesempatan aku mencoba untuk menebas lehernya namun gagal. Dia terlihat tersenyum menyeringai.
"Boleh juga lu," ledeknya. Kemudian dia kembali menyerangku secara membabi buta.
Aku masih terus menghindar dari setiap serangannya. Sampai pada sebuah kesempatan, aku berhasil merendahkan tubuhku untuk menghindari ayunan goloknya dan langsung menusuk perutnya dengan ujung sabitku. Dia berteriak kesakitan. Tak sampai disitu, aku mencabut tusukan sabitku dan langsung menebas lehernya. Tetapi masih belum mampu untuk menumbangkan dirinya.
Darah bercucuran dari tubuhnya hingga mengenai bajuku. Tetapi aku tidak peduli, kakiku sudah tidak gemetar lagi. Sepertinya aku bisa. Aku kemudian menatap dingin kearahnya.
"Ada apa? Apa cuman segini kemampuanmu?" ucapku untuk memprovokasinya. Giginya bergemeretak dan urat lehernya menegang menandakan dia sangat jengkel dengan provokasiku tadi.
Dengan leher yang masih bercucuran darah dan darah diperutnya yang masih mengalir, dia kembali mengayunkan goloknya dengan lebih gila lagi. Untuk kali ini, aku harus meningkatkan fokusku untuk menghindari setiap serangannya. Serangannya kali ini lebih brutal dari sebelumnya. Dia sampai memutar tubuhnya beberapa kali demi bisa melukaiku apapun yang terjadi.
Sepertinya gerakan memutar tubuh seperti itu sangatlah beresiko untuk posisi tanah yang tidak merata ini. Tiba-tiba dia tersandung gundukan tanah hingga jatuh berlutut didepanku. Aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan emas ini, aku langsung menendang kepalanya hingga dia terjengkang kebelakang. Tetapi dia masih mampu untuk kembali duduk dan bersiap untuk bangkit kembali.
"Dia sangat tangguh," gumamku sembari menyeka mulutku dari cipratan darahnya.
Aku kembali menendang kepalanya untuk kedua kalinya hingga membuatnya jatuh terduduk. Aku langsung menebas lehernya dan memperburuk keadaannya saat ini. Darah mengalir deras dari lehernya dan dia berteriak histeris.
Aku kembali menendang kepalanya hingga membuatnya terbaring ditanah. Aku menginjak tangannya agar dia melepaskan genggaman goloknya dan aku segera menyitanya. Dia terbatuk-batuk hingga mengeluarkan batuk darah. Disaat kondisinya yang sekarat seperti itu, aku menodongkan sabitku kearah lehernya.
"Ceritamu membuatku bersimpati, tetapi aku tidak peduli," ucapku dengan nafas yang masih terengah-engah atas pertarungan tadi.
"Apa yang membuatmu sangat berani?" tanya dia dengan mulut bergetar yang dipenuhi oleh darah dan tatapan penuh kebencian.
"Perasaan untuk melindungi orang yang aku cintai. Seseorang yang membuatku merasa bahagia ketika aku berada disisinya. Perasaan yang membuatku berani untuk mati kalau ada orang yang mencoba untuk menyakitinya. Perasaan itu adalah perasaan cinta yang besar kepada keluarganya," aku menatapnya dalam-dalam. Dia hanya terdiam mendengarkan perkataanku. Kemudian dia menatap langit dan berbicara dalam kondisi yang sudah sekarat itu.
"Orang yang kau cintai ya? Sepertinya aku pernah merasakan perasaan seperti itu," ucapnya sembari tersenyum. Aku heran melihatnya.
"Kamu orang yang baik. Siapa namamu?" tanya dia lagi dengan suara lirih.
"Andra. Muhammad Andra Ramadhan,"
"Andra ya? Aku minta maaf sudah melakukan hal bejat itu kepada keluargamu. Sekali lagi tolong maafkan aku. Aku sangat berharap kamu memaafkanku saat ini," ucapnya pelan.
Kemudian terdengar suara semak yang saling bergesekan, lalu muncullah dua orang berandalan. Mereka terlihat syok melihat temannya tengah dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
"Kalian terlambat," ujar berandalan yang sekarat.
Dua berandalan itu terlihat sangat marah. Urat-urat lehernya menegang menandakan sebuah emosi yang tidak bisa mereka pendam lagi. Mereka menggenggam senjata yang mereka pegang dengan sangat erat.
"Woi bangsat!" gertaknya kearahku. Kemudian aku pun bangkit dan siap menghadapi mereka satu persatu walaupun sekujur tubuhku merasakan sakit dan sangat lemas.
Aku kemudian memasang gestur tubuh untuk menantang mereka. Meskipun aku tahu mungkin inilah akhirnya. Aku yang akan menjadi korban selanjutnya. Kemudian mereka serentak berlari kearahku dan aku kembali memasang kuda-kuda dengan kaki yang lemas dan tangan yang gemetaran.
Lalu tiba-tiba terdengar suara tembakan dari arah belakangku yang seketika membuat dua orang berandalan itu berhenti. Aku langsung menoleh kebelakang dan terlihat Pak Bonadi sedang menodongkan pistolnya kearah mereka berdua.
"Maju selangkah lagi, dan kalian akan mati," ancam Pak Bonadi dengan tatapan tajam. Kemudian mereka memasang gestur menyerah dan berlutut kemudian berbicara kepadaku.
"Izinkan kami untuk membawanya pergi bersama kami," ucap mereka memelas. Aku mempersilahkan mereka berdua untuk melihat temannya untuk terakhir kalinya.
Akhirnya kedua berandalan itu pun berlari menghampiri temannya yang sudah sekarat itu. Aku memberikan kode kepada Pak Bonadi untuk berhenti menodongkan pistolnya kepada mereka. Aku kemudian berjalan menjauh dan menuju Pak Bonadi. Mereka terlihat meratapi temannya yang sudah tidak bernyawa itu. Aku menatap dingin kearah mereka. Orang-orang tanpa masa depan yang masih dihantui oleh bayang-bayang kutukan akan tumbal mata yang terus menerus meneror mereka.
Tetapi kesedihan ini tak berlangsung lama. Terlihat ada banyak batang-batang tebu saling bergesekan. Terlihat juga didalam sana terdapat bayang-bayang yang sedang berjalan kearahku. Aku langsung berasumsi bahwa itu adalah para zombie yang terpancing akan siulanku tadi. Aku segera berlari kearah Pak Bonadi untuk memberitahukan bahwa tempat ini sudah tidak aman.
Kami berdua pun segera beranjak pergi dari lokasi ini. Aku sempat menoleh kebelakang untuk melihat apa yang selanjutnya terjadi. Ternyata dugaanku benar, mereka semua muncul. Para zombie dengan raut wajah yang mengerikan satu persatu keluar dari ladang tebu yang lebat itu.
Mereka berduyun-duyun menghampiri kedua berandalan yang masih meratapi kepergian temannya. Kedua berandalan itu kemudian menggotong temannya yang sudah sekarat itu dan segera pergi dari sana.
Tetapi naas, entah mereka yang masih mabuk atau tubuh mereka yang sudah lelah terlihat kewalahan untuk menggendongnya. Sehingga mereka berdua pun terjatuh dan langsung dikerubuti oleh para zombie yang kelaparan.
Tangisan pilu bercampur dengan geraman para zombie membuat sekujur tubuhku merinding. Kakiku menjadi lemas dan aku terjatuh untuk beberapa kali. Kemudian Pak Bonadi langsung menggendongku di punggungnya sembari berkata,
"Kalau kau juga mati disini, aku tidak bisa menyebut diriku menjadi seorang pemimpin lagi,"
thor...sehat2 yah cuaca lagi buruk..banyak yg sakit...