Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mereka yang Lebih Busuk dari Zombie
Mereka bertiga pun pergi dan sisanya menunggu dibangunan yang seperti ruang mesin yang sudah terbengkalai ini. Bangunan yang tanpa listrik dan hanya diterangi oleh sinar rembulan, membuat tempat ini sedikit terasa mencekam. Ditambah semak belukar yang mulai tumbuh disekitarnya dan beberapa lumut yang menempel di dindingnya. Ditemani oleh para pemuda berandalan yang aku sendiri sudah mencurigai mereka sejak pertama kali aku sampai. Kami pun memilih sedikit menjauh dari mereka. Mereka terlihat asyik bersenda gurau satu sama lain dan dengan entengnya mulut mereka berkata hal yang sangat tidak pantas untuk didengarkan.
Aku pun membantu menutup telinga Aini yang sudah risih akan percakapan mereka. Aku juga sesekali menjelaskan kepada Aini tentang apa yang mereka bicarakan dan memberikannya sedikit pengertian. Yang lain juga sepertinya merasa jengkel dengan kelakuan mereka. Mereka memang normal, tapi aku malah sedikit merasa terancam jika harus berada disekitaran mereka. Aku terus menatap mereka dengan tatapan sinis. Tiba-tiba seorang pemuda menghampiri kami.
"Oi pak? Ayo kita lanjut ngobrol disana saja. Kenapa kalian malah minggir disini. Disini dingin loh pak. Mending kalian semua didalam saja yah? Sekalian nunggu si Bores, Jeki sama Koblak balik," ucap pemuda itu dengan bau mulut alkohol yang merebak setiap kali dia berbicara. Aku sedikit ragu untuk menurutinya.
"Baiklah mungkin itu ide bagus. Ayok nak kita kedalam," ucap Pak Bonadi sembari bangkit dari duduknya. Kami terkejut atas tindakannya tersebut.
"Tapi pak?" ucap Vivi yang terlihat masih ragu itu. Pak Bonadi hanya mengedipkan sebelah matanya dengan makna yang mengisyaratkan semua akan baik-baik saja.
Kami pun berjalan sembari ditemani pemuda itu dan masuk kedalam ruangan itu. Ruangan itu hanya seluas 10x10 m². Dengan mesin besar ditengah ruangannya dan beberapa perkakas yang menempel di dindingnya. Sebuah kotak peralatan berukuran besar yang terbuat dari besi berada diujung ruangan ini dan sebuah panel listrik menempel disampingnya.
Kami pun duduk diujung ruangan tepat disamping kotak peralatan yang terlihat sudah pudar warnanya dan mulai berkarat disetiap sisinya. Aku yang penasaran pun membuka apa isi dari kotak peralatan itu.
"Yah. Aku sudah menduganya,"
Kotak itu terisi beberapa botol miras yang sudah kosong dan beberapa bong bekas pemakaian sabu tersimpan disamping perkakas yang sudah berkarat. Aku kembali menutup kotak itu tetapi suaranya yang nyaring menggema ke seluruh ruangan. Tiba-tiba seorang pemuda memasuki ruangan ini.
"Oh lu mau minum ya mas? Sok atuh minum aja. Gak usah sungkan-sungkan," ucap pemuda itu dengan mata sayu dan gigi yang hitam itu.
"Enggak mas. Aku cuman penasaran aja. Kirain ada cemilan gitu," jawabku dengan sedikit gelisah. Tanpa sepatah kata pun dia langsung pergi saja meninggalkan ruangan ini. Aku pun bernafas lega.
Pak Bonadi terlihat mengamati panel listrik itu. Kemudian dia sedikit mengotak-atiknya. Tak disangka, beberapa menit saja dia mengotak-atik panel itu, tiba-tiba lampu ruangan ini pun menyala. Kami terkejut atas apa yang dilakukan oleh Pak Bonadi. Lampu yang berwarna putih itu seketika menyilaukan pandangan kami. Mungkin sudah lama juga kami tidak merasakan pancaran cahaya lampu.
Terlihat dari dalam, lampu depan juga sudah menyala menerangi mereka yang juga masih terheran-heran itu. Mereka kemudian masuk dan bertanya kepada kami apa yang terjadi. Pak Bonadi pun menjelaskan semuanya. Mereka menatap tidak senang dan segera menyuruh Pak Bonadi untuk mematikan lampunya. Pak Bonadi pun hanya menurut mengingat jumlah mereka melebihi jumlah kami.
Kami terus menunggu jemputan kedua dari rombongan Pak Juari tetapi tak kunjung datang. Kemudian tak terasa kami pun mulai tertidur.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Aku terbangun karena merasakan ada yang sesuatu yang kurang disampingku. Aku perlahan membuka mataku dan mencoba untuk beradaptasi dengan kegelapan ruangan ini. Aku melihat Kak Ayu dan Vivi tidak ada disana. Perasaanku menjadi tidak enak karenanya. Suara berisik para berandalan diluar juga tidak terdengar.
Perasaanku semakin bertambah tidak enak. Aku segera mengalihkan tubuh Aini yang bersandar dipundakku dengan perlahan agar dia tidak bangun. Aku berjinjit keluar dari ruangan ini. Karena firasatku yang semakin buruk, aku membawa sabitku untuk berjaga-jaga kalau para zombie itu sudah memakan para berandalan atau mungkin juga Kak Ayu dan Vivi.
Pintu besi yang berderit karena sudah berkarat itu sejenak memecah keheningan malam. Dibawah sinar rembulan, dan desiran pohon yang tertiup angin membuat perasaanku campur aduk. Apakah ada bahaya yang mengintai diantara kegelapan ini?
Aku berjalan kesisi lain area ini dan menemukan sebuah bangunan lain dengan ukuran yang lebih sempit dari tempatku tadi. Aku berjalan perlahan menuju kesana sembari menggenggam erat sabitku kalau ada sesuatu yang berbahaya disana.
Beberapa langkah lagi aku sampai, samar-samar terdengar suara erangan yang sangat pilu dari dalam sana. Aku pun langsung berlari dan menerobos masuk kedalam. Aku sangat tercengang melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Aku melihat Kak Ayu dan Vivi dikerubungi oleh berandalan busuk itu. Dengan seluruh kain yang menutupi tubuh mereka sudah mereka tanggalkan, dengan botol alkohol berada ditangan mereka, dan asap rokok tebal yang menyesakkan seluruh ruangan, Kak Ayu dan Vivi dipaksa untuk melayani nafsu bejat para berandalan itu.
Tubuh Kak Ayu dan Vivi terlihat penuh luka dan lebam bekas pukulan benda tumpul. Mereka terlihat sangat menikmati tubuh kedua gadis yang sudah terkulai tidak berdaya itu. Desahan suara berat sebab kenikmatan, saling bersahutan-sahutan keluar dari masing-masing mulut mereka. Seakan membuat telinga mereka tuli atas tangisan dan erangan yang dikeluarkan oleh dua korban tidak berdaya itu. Saat ini, tubuh Kak Ayu dan Vivi sudah sangat lemas dan pasrah dengan apa yang mereka alami saat ini.
Tubuhku seketika terdiam membeku melihat pemandangan yang mengerikan sekaligus menjijikan tersebut. Tubuhku seketika gemetar, jantungku berdegup kencang, dan hatiku hancur berkeping-keping melihatnya. Dua orang gadis tidak berdaya dipaksa melayani 7 orang pria secara bergiliran.
"Ahh enak banget bangke. Tubuh cewe perawan emang gaada obat,"
"Uhh tangan lembutnya bikin gue mau crot terus dimukanya,"
"Sekarang giliran gue yang masukkin. Kalian pake tangannya dulu njir,"
Percakapan yang menjijikan dan busuk saling keluar dari mulut mereka. Membuat telingaku menjadi merah padam, tanganku gemetar, otakku mendidih dipenuhi api amarah yang menimbulkan badai emosi yang perlahan mengalir keseluruh tubuhku dan siap untuk meledak sewaktu-waktu.
"Kenapa kamu lama sekali?" ucap Kak Ayu dengan tatapan putus asa terlihat jelas dikedua matanya.
"Eh kita kedatangan tamu. Oi mas! Mau ikut gabung gak? Temen lu ini servicenya enak banget. Gue aja sampe crot 3x" ledek salah seorang pemuda. Membuat otakku mendidih seketika.
"Emang bangsat kalian semua!" gertakku dengan menodongkan sabitku kearah mereka. Emosiku saat ini sudah tidak bisa terkontrol dan tanganku mengepal erat.
"Oh lu berani sama kita?" tantang salah seorang pemuda yang memicu reaksi dari pemuda yang lain.
Seketika mereka bertujuh menyudahi kegiatan bejat yang mereka lakukan dan berbalik kearahku dan siap untuk mengeroyokku. Mereka mulai mengambil beberapa botol miras dan benda apa saja untuk menghadapiku. Aku mencoba untuk berpikir tenang, tidak mungkin aku bisa menang sendirian menghadapi tujuh orang berandalan.