Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dinda Dan Tawa Yang Membingungkan
Hari itu, aku dan teman-teman IMM sedang sibuk mengadakan kegiatan pasar murah di halaman kampus. Acara ini digelar untuk membantu warga sekitar yang tengah kesulitan akibat melonjaknya harga kebutuhan pokok. Kami menjual berbagai bahan kebutuhan dengan harga jauh lebih murah dari pasaran. Tujuannya sederhana: meringankan beban mereka yang membutuhkan.
Aku dan Dinda kebagian tugas menjaga stan minyak goreng. Teman-teman yang lain juga sibuk di stan beras, bumbu dapur, gula, dan lain-lain. Sejak pagi, warga sudah memadati halaman kampus, berbondong-bondong untuk membeli kebutuhan pokok. Suasana menjadi sangat ramai hingga membuat kami kerepotan melayani pembeli.
Namun, ada sesuatu yang aneh dengan Dinda hari itu. Biasanya, dia sangat cekatan dan ceria, tapi kali ini dia terlihat sering tidak fokus. Beberapa kali dia salah menghitung uang atau memberikan barang kepada pembeli. Aku sempat memanggilnya pelan, “Din, kamu kenapa? Fokus, dong.”
Dia hanya tersenyum tipis tanpa menjawab. Hingga acara selesai, Dinda tetap tampak berbeda. Dia lebih sering diam dan melamun, jauh dari biasanya.
Setelah semua beres dan kami mulai berkemas, aku yang penasaran menghampirinya. Kami duduk di salah satu bangku kosong, menunggu teman-teman lainnya selesai membereskan sisa barang.
“Din, kamu kenapa, sih? Dari tadi nggak seperti biasanya,” tanyaku, mencoba membuka percakapan.
Dinda terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Mas, semalam Daniel datang ke rumahku.”
Aku sedikit terkejut mendengar nama Daniel disebut. Aku tahu bahwa Daniel, memang menyukai Dinda. Tapi aku tidak menyangka bahwa dia akan mengungkapkan perasaannya secepat ini.
“Terus? Dia bilang apa?” tanyaku penasaran.
“Dia bilang kalau dia suka sama aku,” jawab Dinda pelan, suaranya terdengar ragu.
Aku mengangguk, mencoba memahami situasinya. “Dan kamu? Kamu nggak suka dia?”
Dinda menggeleng pelan. “Aku kaget, Mas. Selama ini aku cuma anggap dia seperti kakak. Aku nggak pernah berpikir lebih dari itu.”
Aku mengangguk lagi, berusaha menunjukkan bahwa aku mengerti. Tapi sebelum aku sempat berkata apa-apa, Dinda melanjutkan dengan nada yang lebih pelan, hampir seperti berbisik, “Lagian, aku nggak bisa nerima dia, Mas. Aku udah mencintai seseorang.”
Perkataannya membuatku sedikit tertegun. “Oh... Jadi, ada orang lain yang kamu suka?”
Dinda mengangguk sambil tersenyum pahit. “Iya. Tapi dia nggak pernah sadar, Mas. Dia nggak tahu kalau aku mencintainya.”
Aku terdiam mendengar jawabannya. Ada rasa penasaran yang mengganjal, tapi aku memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Aku hanya tersenyum kecil dan berkata, “Ya sudah, Din. Kalau kamu yakin dengan perasaanmu, nggak apa-apa. Yang penting kamu tetap jujur sama diri sendiri.”
Dinda menatapku sejenak, lalu tersenyum tipis. Tapi senyumnya terasa aneh, seperti menyimpan sesuatu.
“Mas,” katanya, suaranya terdengar lebih serius.
“Iya, kenapa?” tanyaku sambil menatapnya.
“Menurut Mas, kenapa ada orang yang nggak sadar kalau dia disukai seseorang?” tanyanya tiba-tiba.
Aku mengernyit, bingung dengan arah pertanyaannya. “Maksudmu gimana? Ya mungkin dia nggak ngeh aja, nggak peka.”
Dinda mengangguk pelan, matanya menerawang. “Iya, sih. Tapi kadang orang itu terlalu sibuk ngelihat yang lain sampai nggak sadar kalau ada orang di dekatnya yang bener-bener peduli.”
Aku mencoba mencerna kata-katanya. “Mungkin dia nggak sengaja, Din. Kadang kita emang nggak sadar sama perasaan orang lain, apalagi kalau nggak pernah dikasih tahu.”
Dinda tersenyum kecil, tapi kali ini ada nada sindiran di baliknya. “Iya, mungkin dia terlalu sibuk deket sama primadona kampus, jadi nggak sempat lihat ke arah lain.”
Aku mengerutkan kening, tidak langsung menangkap maksudnya. “Primadona kampus? Siapa?” tanyaku polos.
Dinda menatapku sebentar, lalu menghela napas sambil tersenyum tipis. “Nggak, Mas. Nggak penting.”
Aku mengangguk, merasa percakapan itu aneh tapi memilih untuk tidak mendesaknya. Dalam hati aku bertanya-tanya, siapa yang sebenarnya Dinda maksud. Tapi seperti biasa, aku berpikir kalau itu bukan sesuatu yang perlu aku pikirkan lebih jauh.
“Ya udah, Din. Kalau butuh cerita lagi, bilang aja, ya. Aku siap dengerin,” kataku sambil menepuk bahunya pelan.
Dinda hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Tapi entah kenapa, senyumnya kali ini terasa lebih sendu dari biasanya
Aku baru keluar dari kamar mandi kampus setelah mencuci muka. Ketika berjalan di lorong, aku melihat sosok Daniel duduk termenung di bangku dekat kamar mandi. Wajahnya tampak suram, jauh dari kesan ceria yang biasanya dia tunjukkan.
Aku tidak bisa menahan diri untuk meledeknya. “Wah, sekarang tugas ketua IMM jagain WC, ya?” tanyaku sambil menyeringai.
Dia melirik ke arahku sekilas, kemudian kembali memandang ke depan tanpa ekspresi. “Eh, elu, Lan,” gumamnya dengan nada datar.
Aku mendekat dan duduk di sampingnya. “Galau ya? Jangan-jangan ini gara-gara Dinda,” kataku, mencoba memancing.
Daniel akhirnya menoleh, wajahnya masih murung. “Dinda pasti udah cerita, ya?” tanyanya tanpa emosi.
Aku mengangguk pelan, merasa tidak perlu menyembunyikan apa-apa. “Ya, dia cerita kalau kamu datang ke rumahnya semalam. Tapi dia nggak bilang detail. Cuma bilang kalau dia nggak bisa nerima kamu.”
Daniel tersenyum pahit, lalu tertawa kecil, meski tidak terdengar tulus. “Ya, udah kuduga. Dari awal juga udah tahu jawabannya bakal kayak gitu.”
Aku mencoba menggali lebih jauh. “Terus, dia bilang dia suka sama orang lain. Menurut kamu, siapa orang itu?” tanyaku penasaran.
Daniel melirikku sekilas, lalu menggeleng pelan. “Udah, Lan, nggak usah ngeledek.”
“Serius, gue nggak ngeledek. Gue beneran penasaran. Siapa, sih, yang bisa bikin Dinda jatuh cinta sampai segitunya?” tanyaku lagi, kali ini dengan nada lebih serius.
Daniel menatapku lama, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. Tapi akhirnya, dia menghela napas panjang dan bangkit berdiri. Sebelum pergi, dia menatapku sekali lagi.
“Gue juga heran, Lan,” katanya pelan. “Kenapa Dinda bisa suka sama orang yang begonya kelewatan.”
Aku terdiam, mencoba mencerna ucapannya. “Maksud lo apa?” tanyaku, tapi Daniel hanya melambaikan tangan dan berjalan pergi meninggalkanku dengan kebingungan yang makin bertumpuk.
Aku duduk di sana, memikirkan kata-katanya. Siapa yang dia maksud dengan "orang yang begonya kelewatan"? Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang aku lewatkan, tapi aku tidak tahu apa itu.
Tak lama setelah Daniel pergi, Dinda datang menghampiriku dengan langkah cepat. Wajahnya sedikit kesal, seperti ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
“Mas, jadi ngerjain tugas bareng nggak, sih?” tanyanya sambil melipat tangan di depan dada.
“Jadi, lah,” jawabku santai. “Tadi aku cuma ngobrol sebentar sama Daniel.”
Mendengar nama Daniel disebut, ekspresi Dinda berubah penasaran. “Ngobrolin apa emangnya?” tanyanya, mendekat sedikit.
Aku mengangkat bahu, masih memikirkan kata-kata Daniel tadi. “Nggak jelas juga. Tapi dia sempat bilang kalau orang yang kamu suka itu begonya kelewatan. Itu maksudnya apa, Din? Kamu lagi suka sama siapa sih?” tanyaku polos, berharap mendapat jawaban.
Reaksi Dinda di luar dugaan. Bukannya menjawab, dia malah tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema di lorong, membuat beberapa mahasiswa yang lewat melirik ke arah kami. Aku hanya menatapnya bingung, tidak mengerti apa yang lucu dari pertanyaanku.
“Mas, mas,” katanya sambil mencoba menahan tawa. “Emang bener sih yang dikatakan Daniel. Udah lah, lupain aja.”
“Lupain gimana? Aku kan cuma penasaran,” kataku, semakin bingung dengan reaksinya.
Namun, Dinda tidak menjelaskan apa pun. Dia hanya terus tertawa kecil sepanjang jalan menuju ruang kelas tempat kami akan mengerjakan tugas.
Aku berjalan di sampingnya, masih mencoba mencerna semuanya. Tawa Dinda terdengar ringan, tapi ada sesuatu di baliknya yang tidak bisa kumengerti. Semakin aku mencoba memahami, semakin aku merasa ada teka-teki yang belum terjawab.
“Din, serius, ini kenapa sih?” tanyaku lagi, tapi dia hanya menggeleng sambil tersenyum.
“Nggak ada apa-apa, Mas. Udah, fokus aja ngerjain tugas,” katanya dengan nada riang.
Aku mengangguk pelan, meski tetap tidak puas. Dalam hati, aku berjanji akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dinda yang seperti ini membuatku penasaran setengah mati.