FOLLOW IG AUTHOR 👉@author Three ono
Yang gak kuat skip aja!! Bukan novel tentang poligami ya, tenang saja.
Pernikahan sejatinya terjadi antara dua insan yang saling mencinta. Lalu bagaimana jika pernikahan karena dijodohkan, apa mereka juga saling mencintai. Bertemu saja belum pernah apalagi saling mencintai.
Bagaimana nasib pernikahan karena sebuah perjodohan berakhir?
Mahira yang biasa disapa Rara, terpaksa menerima perjodohan yang direncanakan almarhum kakeknya bersama temannya semasa muda.
Menerima takdir yang sang pencipta berikan untuknya adalah pilihan yang ia ambil. Meski menikah dengan lelaki yang tidak ia kenal bahkan belum pernah bertemu sebelumnya.
Namun, Rara ikhlas dengan garis hidup yang sudah ditentukan untuknya. Berharap pernikahan itu membawanya dalam kebahagiaan tidak kalah seperti pernikahan yang didasari saling mencintai.
Bagaimana dengan Revano, apa dia juga menerima perjodohan itu dan menjadi suami yang baik untuk Rara atau justru sebaliknya.
Tidak sa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Three Ono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Terbayang Wajahnya
°°°
Rara memasak sambil menyunggingkan senyumnya, karena teringat dengan apa yang terjadi di tangga tadi.
Kak Revan ternyata tampan sekali kalau dilihat dari dekat.
Rara melamun dalam pikirannya, sampai tidak sadar jika masakannya hampir saja gosong.
"Non, Non Rara..." panggil bi Mur menyadarkan nonanya yang terus melamun dari tadi.
"Eh iya Bi." Rara tersentak dari lamunannya.
"Itu masakannya, Non." Bi Mur menunjuk wajan di depan Rara.
"Aa... astaghfirullah. Maaf Bi, aku hampir saja membuatnya gosong."
Rara buru-buru mematikan kompor dan membalikkan masakannya.
Bi Mur dan pelayan lain terkekeh melihat tingkah nonanya. Selain melamun wajah Rara juga berseri-seri, seperti orang yang sedang jatuh cinta.
"Biar bibi saja Non yang melanjutkan."
"Tidak Bi, biar aku saja. Tinggal sedikit lagi kan, tinggal tumis kangkung saja setelah ini."
"Kalau begitu bibi permisi mengerjakan yang lain, Non." Bi Mur pamit, begitu juga dengan pelayan yang lain.
"Iya Bi, silahkan."
Kini hanya tersisa Rara dan dua satu pelayan yang membantunya. Ia melihat jam dan ternyata waktu memasaknya kali ini lebih lama dari biasanya. Mungkin karena terlalu banyak melamun tadi, ia terus merutuki pikirannya yang terus terbayang-bayang wajah suaminya dari dekat.
Aku harus cepat, kakek dan kak Revan pasti sudah lapar.
,,,
Di balkon kamarnya, Revan juga terus memikirkan wajah Rara yang sangat unik dan menarik menurutnya. Wajahnya sangat lokal tapi tidak kalah dari wanita yang berwajah campuran.
"Bagaimana bisa matanya sangat indah, bulu matanya juga sangat lentik. Alis, hidung dan bibir semuanya sangat pas sesuai porsinya."
Hamparan perkebunan mini di belakang rumah yang sangat asri dan subur semakin menyejukkan hati Revan yang sedang terbayang-bayang wajah gadis yang telah menjadi istrinya selama seminggu ini.
Seminggu ini memang tidak ada perubahan yang berarti dalam hubungan mereka, tapi Revan mulai terbiasa dengan kehadiran Rara di sekitarnya. Dari bangun tidur Rara mengurus keperluan suaminya dengan baik. Hingga malam harinya Revan selalu menyempatkan waktunya untuk memandangi wajah istrinya yang tertidur pulas.
Tidur Revan pun lebih nyenyak dari biasanya, kehadiran Rara disampingnya saat tertidur membuatnya nyaman.
"Heh..." Revan mengangkat sudut bibirnya.
Tok, tok, tok
Rara yang sudah selesai memasak segera memanggil suaminya untuk turun.
"Kak, makanannya sudah siap."
Rara masuk kedalam kamar tapi tidak melihat suaminya disana.
"Dimana kak Revan?" gumamnya.
Rara berjalan kearah kamar mandi, mungkin suaminya berada disana.
"Tidak ada suara." Rara membuka pintu kamar mandi dan ternyata kosong, suaminya tidak ada disana.
Kemudian Rara pikir mungkin suaminya itu berada di balkon, ia pun berjalan kesana.
Bersamaan dengan Revan yang mendengar suara istrinya lalu ia berjalan masuk kedalam kamar.
Tanpa sengaja keduanya berpapasan tepat di pintu menuju balkon.
Mata mereka kembali beradu pandang dengan jarak yang cukup dekat. Seperti tadi debaran aneh mencuat di hati mereka.
"Emm... kak makanannya sudah siap," ujar Rara.
Revan hanya mengangguk sedang matanya tak lepas dari wajah Rara yang merona.
"Kalau begitu aku mau memanggil kakek dulu." Kabur seperti tadi.
Wajahnya yang malu-malu membuatnya semakin manis.
Revan senyum-senyum sendiri dengan pikirannya.
,,,
Di meja makan Rara hampir selalu menunduk, ia masih sangat canggung karena kejadian tadi. Apalagi Revan selalu menatapnya dari tadi, apa dia tidak tau jika istrinya sudah sangat malu saat ini.
"Eheemmm..." Kakek berdehem.
"Van..." panggilnya kemudian pada sang cucu.
"Iya Kek," jawab Revan.
"Bagaimana skripsi mu?"
"Lancar Kek, tinggal sedikit lagi selesai." Revan masih tetap menatap istrinya, padahal kakek sedang mengajaknya berbicara.
"Van..." panggil kakek lagi.
"Iya kek."
Kakek menghela nafasnya, melihat sepasang suami istri yang dalam kecanggungan seperti itu membuatnya gemas.
"Kakek sedang bicara, kenapa kau melihat kearah lain."
Uhhukk...
Revan hampir tersedak karena sindiran yang kakek lontarkan, sedangkan kakek tertawa puas melihat nya.
"Makanya, kalau di ajak berbicara itu lihat orang yang sedang ngomong bukannya liatin istrimu terus. Kau bisa melihatnya sampai puas nanti malam."
"Kakek!" Revan tidak mengerti dengan kakeknya, dia mempermalukan cucunya sendiri di depan istrinya.
"Sudah, sudah ayo makan lagi. Kamu itu jangan terus ngeliatin Rara, lihatlah dia jadi tidak nyaman memakan makanannya."
Kakek masih belum puas membuat cucunya malu rupanya.
Sementara Rara jadi salah tingkah, benar kata kakek sejak tadi dia hanya mengacak-acak makanannya saja, tidak satupun suapan masuk kedalam mulutnya.
Pak tua yang sejak tadi berdiri dibelakang kakek pun ikut tersenyum melihat kakek dan cucunya yang saling sindir.
Sepanjang sore Rara menemani kakek mengurus kebun lalu malam harinya mengobrol bersama di ruang keluarga, sedangkan Revan sibuk dengan skripsinya yang harus segera selesai sebelum sidang seminggu lagi.
"Apa kau senang nak di kampus mu sekarang?" tanya kakek.
"Iya kek, aku juga bertemu dengan teman baru hari ini, dia baik dan menyenangkan." Menurutnya Lia sangat apa adanya sejak pertama mereka bertemu.
"Benarkah, kakek senang mendengarnya. Tetapi sayang sekali Revan sebentar lagi selesai kuliahnya dan tidak ada yang menjagamu nanti."
Revan dan Rara yang terpaut usia hampir 5 tahun membuat mereka juga tidak sama-sama dalam menyelesaikan studinya. Rara baru saja masuk kuliah sedangkan Revan sebentar lagi lulus dan mulai bekerja.
"Tidak apa-apa kek, kak Revan kan harus segera membantu kakek. Agar kakek bisa beristirahat di rumah, tidak memikirkan pekerjaan lagi," ujar Rara yang tidak ingin membuat kakek khawatir.
"Iya kau benar nak, kakek sudah lelah dengan urusan pekerjaan. Sudah saatnya kakek menikmati hari tua di rumah bersama cucu dan cicit nanti."
Rara berusaha tersenyum mendengarnya, tidak tau kapan Allah akan memberikan kepercayaan itu kepadanya sedangkan hubungan mereka saja masih dalam tahap pengenalan.
"Kakek harap, kau melahirkan banyak cicit untuk kakek agar kakek tidak kesepian nanti."
Revan yang tidak sengaja mendengar obrolan kakek tentang cicit pun menjadi merasa bersalah, karena mungkin harapan kakeknya itu tidak bisa ia wujudkan dalam waktu dekat.
Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi esok hari, mungkin saat ini jarak antara Revan dan Rara masih cukup jauh tapi jika Allah sudah berkehendak maka tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
Revan tidak jadi bergabung dengan mereka dan kembali ke ruangan yang ia jadikan ruang belajar.
"Oh iya, bagaimana kabar umi dan Abi kamu nak?" kakek Tio kembali bertanya.
"Baik kek, Alhamdulillah umi dan Abi sehat. Mereka juga sering menanyakan kakek."
Syukurlah Kakek tidak lagi membahas cicit. Rara sedikit bernafas lega.
"Benarkah, kapan-kapan kamu harus mengajak mereka kesini nak."
"Iya Kek, Rara akan mencoba membujuk mereka, tapi biasanya mereka susah sekali jika di ajak pergi menginap. Katanya kepikiran ayamnya lah, kambingnya, ladangnya dan banyak lagi kek." Tawa Rara pecah saat mengingat masa-masa bersama orangtua dan kakak perempuannya.
Dulu Rara dan Luna ingin sekali pergi berlibur bersama umi dan Abi nya, tapi mereka selalu banyak alasan saat diajak berlibur jauh dan harus menginap. Pada akhirnya mereka hanya bisa bepergian ketempat yang dekat dengan rumah mereka.
"Orang tua memang seperti itu nak, banyak yang dipikirkan. Bagi orang tua apalagi seperti kakek, rumah adalah tempat berlibur yang paling menyenangkan. Bisa berkumpul bersama keluarga berbagi susah dan senang juga sudah cukup. Waktu yang paling berharga adalah berkumpul dengan keluarga, orang tua dan anak-anaknya."
"Apalagi umi dan Abi kamu mempunyai dua anak perempuan semua yang jika sudah dewasa mereka akan pergi mengikuti suaminya, pasti bagi mereka menghabiskan waktu bersama di rumah sudah cukup. Dimana nanti saat anak-anak perempuan tidak lagi dirumah orang tuanya mereka mempunyai banyak kenangan didalamnya."
Perkataan kakek membuat Rara merindukan orangtuanya. Anak perempuan memang selalu dilema disaat ia sudah menikah, suami dan orang tua adalah pilihan yang sangat berat.
Akan tetapi, lagi-lagi orang tua pasti mengalah demi putrinya, tanggung jawab anak perempuan bukan lagi pada ayahnya saat ada laki-laki mengucapkan ijab qobul. Wanita yang sudah bersuami tentulah harus berbakti pada suaminya.
to be continue...
°°°
Salam goyang jempol guys.
Like, komen, favorit, vote, dan bintang lima yaa jangan lupa.
Ikutin terus ya ceritanya sampai selesai.
Yuk komen apa aja boleh biar author nya semangat.
Sehat selalu pembacaku tersayang.