Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meminta mu jadi Istriku
San menatap dalam-dalam ke mata Nanda, seolah mencari keberanian untuk mengutarakan isi hatinya yang selama ini ia pendam. Suasana senja di taman membuat segalanya terasa lebih tenang, namun dada San masih dipenuhi debar yang tak terbendung.
"Nanda," ucap San lembut, namun penuh kesungguhan. Tangannya menggenggam tangan Nanda dengan erat, memberikan rasa aman yang tak pernah pudar. "Aku tahu banyak hal yang terjadi di antara kita... dan aku juga tahu kamu masih berjuang melawan masa lalu."
Nanda terdiam, merasakan ketulusan di balik setiap kata yang diucapkan San. Hatinya bergejolak, teringat akan luka yang pernah ia alami, namun kehadiran San selalu mampu meredakan semua itu.
"Aku ingin melindungimu," lanjut San, suaranya sedikit bergetar. "Aku ingin kamu tahu bahwa kamu tidak perlu menghadapi semuanya sendirian lagi. Aku mencintaimu, lebih dari yang bisa aku ungkapkan. Dan... jika kamu mengizinkan, aku ingin menikahimu."
Mata Nanda membelalak sejenak, terkejut mendengar pengakuan itu. Ia tidak pernah menyangka San akan mengutarakan niat sebesar itu di tengah kekacauan hidupnya. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ditahan.
"San... aku..." Nanda mencoba berkata, tapi suara tersendat di tenggorokannya. Ada rasa takut, namun juga ada keinginan untuk percaya lagi pada cinta.
San mendekatkan dirinya, menghapus lembut air mata yang mengalir di pipi Nanda. "Aku tidak meminta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku serius. Aku ingin menjalani hidup ini bersamamu, bukan hanya untuk melindungimu, tapi juga untuk mencintaimu... selamanya."
Nanda menunduk, menggigit bibir untuk menahan tangisnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan seseorang mencintainya dengan begitu tulus, tanpa syarat dan tanpa paksaan. Hati yang dulu hancur perlahan menemukan tempat yang aman untuk berlabuh.
Nanda tertegun mendengar pernyataan San. Matanya mencari kepastian dalam tatapan San yang penuh ketulusan. Ia tahu San bukan orang yang suka berkata tanpa arti. Namun, rasa takut masih bergelut di dalam hatinya.
“San… kamu tahu aku belum sepenuhnya pulih dari masa lalu,” ucap Nanda pelan, suaranya sedikit bergetar.
San mengangguk lembut, masih menggenggam tangan Nanda seolah tak ingin melepaskannya. "Aku tahu. Aku tidak akan memaksamu untuk mencintaiku seperti yang aku rasakan padamu sekarang. Aku hanya ingin berada di sampingmu, menjagamu dari semua yang menyakitimu."
Nanda merasakan kehangatan dari kata-kata itu. Tak ada paksaan, tak ada tuntutan. Hanya ketulusan yang membuat pertahanannya runtuh sedikit demi sedikit.
“Tapi menikah… itu bukan hal kecil, San. Aku takut membuatmu menyesal…”
San tersenyum tipis, menangkup wajah Nanda dengan lembut. "Menyesal adalah ketika aku tidak melakukan apa-apa dan membiarkanmu terluka lagi. Aku ingin menjadi seseorang yang kamu percaya. Aku ingin menjadi rumah bagimu."
Air mata Nanda mulai mengalir. Selama ini ia berpikir tidak ada lagi tempat yang aman untuk hatinya. Namun, dalam pelukan San, ia merasakan sesuatu yang lama hilang—harapan.
“Berikan aku waktu…” bisiknya.
San mengangguk penuh pengertian. "Aku akan menunggu… selama apa pun itu, aku akan tetap di sini."
***
Dalam heningnya sepertiga malam, Nanda bersimpuh di atas sajadahnya. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan, mencurahkan segala gundah yang menggelayuti hatinya. Tangannya terangkat, memohon petunjuk kepada Tuhan.
“Ya Allah… jika dia memang yang terbaik untukku, untuk masa depanku, dekatkanlah kami dengan cara yang baik. Namun jika bukan, jauhkan kami sebelum rasa ini semakin dalam…”
Suara lirihnya memenuhi ruangan kecil itu, memecah sunyi malam yang syahdu. Bayangan masa lalu yang menyakitkan berkelebat di pikirannya. Rasa takut dan keraguan masih bersemayam dalam hatinya, namun ada juga kehangatan yang tak dapat ia abaikan setiap kali mengingat San.
Nanda menarik napas dalam, menenangkan dadanya yang sesak oleh dilema. Ia tahu perasaan San tulus, namun apakah dirinya siap untuk membuka hati yang pernah hancur?
Setelah lama bermunajat, Nanda merasakan ketenangan yang tak ia temukan sebelumnya. Seolah-olah ada bisikan lembut yang memeluk hatinya, meyakinkannya bahwa hidup ini adalah tentang keberanian untuk mencoba lagi, meski ada risiko terluka.
Dengan keyakinan baru, ia menghapus air matanya. Apa pun keputusan yang akan ia ambil, ia ingin melakukannya dengan hati yang lapang dan penuh keikhlasan. Malam itu, ia menyerahkan segala yang ada di hatinya kepada Tuhan, memohon petunjuk terbaik untuk langkah selanjutnya.
San mulai merasakan ada yang aneh dengan gerak-gerik Dimas akhir-akhir ini. Sejak perceraian antara Dimas dan Nanda resmi diputuskan, Dimas tampak sering muncul di sekitar Nanda, seolah-olah ingin memperbaiki hubungan yang sudah retak.
Awalnya, San berpikir Dimas hanya ingin menebus kesalahan masa lalu. Namun, intensitas pertemuan mereka semakin sering. Dimas datang ke kafe tempat Nanda bekerja, bahkan sesekali muncul di tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi. San tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang terus menghantui pikirannya.
“Kamu yakin dia hanya ingin berteman?” tanya San suatu malam, memecah keheningan saat mereka duduk bersama di beranda rumah Nanda.
Nanda menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Dia bilang ingin meminta maaf dan menebus masa lalu, tapi... aku juga merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan.”
Mata San menatap jauh, mencoba mencari jawaban di balik semua kejanggalan itu. “Aku akan cari tahu apa yang dia rencanakan. Aku tidak ingin kamu terluka lagi.”
Perasaan protektif San semakin kuat. Dia sadar bahwa Dimas adalah pria yang cerdas dan manipulatif. Jika benar ada sesuatu yang disembunyikan, San tidak akan tinggal diam. Bagaimanapun juga, dia akan melindungi Nanda, meski harus menghadapi masa lalu yang terus membayangi hidup mereka.
San berbicara dengan nada serius melalui telepon genggamnya. "Intinya, laporkan saja pergerakan Dimas Larung," tegasnya sambil berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.
Di ujung telepon, seseorang mengiyakan dengan suara tenang namun penuh kesungguhan. San tahu bahwa memantau Dimas adalah langkah yang harus diambil sebelum semuanya terlambat. Dia tidak ingin Nanda kembali terjerat dalam permainan kotor yang bisa menghancurkan hidupnya lagi.
Setelah menutup telepon, San menghela napas panjang. Dia memandang keluar jendela, menatap langit malam yang gelap seolah mencari jawaban. Di dalam hatinya, ada ketakutan yang terus menghantui takut kehilangan Nanda yang kini menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Sementara itu, Dimas duduk di dalam mobil mewahnya dengan senyum licik. Dia memandang sebuah foto lama dirinya dan Nanda yang masih tersimpan di dompetnya. "Kamu akan kembali padaku, Nanda... dengan caraku," bisiknya penuh keyakinan.
Dimas menyadari bahwa satu-satunya cara efektif untuk mendekati Nanda adalah melalui ibunya, Ibu Saraswati. Ia tahu betul kelemahan wanita paruh baya itu: ketamakan akan status dan kemewahan.
Suatu sore, Dimas sengaja mengatur pertemuan di sebuah restoran mewah. Ibu Saraswati, yang selalu terpesona oleh kemewahan, tidak bisa menolak undangan tersebut. Dengan anggun, Dimas menyambutnya dengan senyum ramah dan memberikan buket bunga mahal sebagai tanda hormat.
“Saya ingin memperbaiki semuanya, Bu,” ujar Dimas dengan nada tulus yang penuh kepura-puraan. “Saya tahu saya telah mengecewakan Nanda, tapi saya sungguh mencintainya. Izinkan saya memperjuangkannya.”
Ibu Saraswati, yang masih terpesona oleh status sosial Dimas, mulai mempertimbangkan kata-katanya. Dalam pikirannya, San hanyalah pria biasa tanpa harta berlimpah seperti Dimas.
“Kamu tahu bagaimana meluluhkan hati saya,” jawabnya sambil tersenyum kecil. “Asal kamu serius dan tidak menyakitinya lagi, mungkin... saya bisa membantumu.”
Dimas menyembunyikan senyum licik di balik wajah penuh penyesalan yang dibuat-buat. Dia tahu, langkah pertama untuk mendapatkan kembali Nanda telah dimulai.