Pengembaraan seorang pendekar muda yang mencari para pembunuh kedua orang tuanya.Ia berkelana dari satu tempat ketempat lain.Dalam perjalanannya itu ia menemui berbagai masalah hingga membuat dirinya menjadi sasaran pembunuhan dari suatu perguruan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kelana syair( BE), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebesaran hati Antasensa
"Jangan kau pikir aku sudah kalah Brajadara, hari ini juga kau harus mati di ujung pedang ku. ! " teriak Antasensa dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya.
Antasensa langsung menyerang Brajadara dengan jurus pedang membelah samuderanya.
Angin berdesing kencang ketika Antasensa mengayunkan pedangnya, seolah menyatu dengan angin itu sendiri. Pedang warisan yang berkilauan di tangannya kini memancarkan cahaya merah, seiring dengan energi yang disalurkannya. "Rasakan ini, Brajadara! Jurus Pedang Membelah Samudera!"
Gerakannya lincah dan gesit, namun penuh dengan kekuatan yang dahsyat. Pedang itu menebas udara, menciptakan pusaran angin yang menarik debu dan kerikil di sekitarnya. Setiap tebasan diiringi dengan suara wuush! yang memekakkan telinga, bagaikan gelombang laut yang menghantam karang.
Brajadara, terkesiap melihat serangan dahsyat itu. Matanya membelalak, instingnya menjerit untuk menghindar. Ia melompat mundur, berusaha menjauh dari jangkauan serangan Antasensa.
Namun, jurus Pedang Membelah Samudera bukan jurus sembarangan. Serangannya mengikuti kemana pun Brajadara bergerak, bagaikan ombak yang terus mengejar. Tebasan demi tebasan mengarah padanya, semakin lama semakin cepat, semakin kuat.
"Jurus macam apa yang digunakan pemuda ini, " desis Brajadara sambil terus menghindar.
Sring! Sring! Sring!
Beberapa tebasan berhasil dihindari Brajadara, namun beberapa lainnya meninggalkan luka gores di tubuhnya. Darah segar mulai mengalir, membasahi pakaian dan kulitnya. Wajahnya meringis kesakitan, namun ia tidak menyerah.
"Kau... kau semakin kuat, bocah!" geram Brajadara, napasnya tersengal-sengal. Ia kembali mengangkat kerisnya, berusaha menangkis serangan Antasensa.
Trang!Trang!Trang!
Pertarungan kembali terjadi, kali ini lebih sengit dari sebelumnya. Suara dentingan logam beradu menggema di udara, bercampur dengan deru angin dari jurus Pedang Membelah Samudera. Antasensa terus mendesak, serangannya bertubi-tubi, tak memberi kesempatan Brajadara untuk bernapas.
Kekuatan Brajadara mulai terkuras. Luka-lukanya semakin banyak, darah terus mengalir. Napasnya semakin berat, tenaganya hampir habis. Ia mulai terdesak, kesulitan mengimbangi kecepatan dan kekuatan Antasensa.
"Tidak... tidak mungkin aku kalah..dari anak mudah seperti mu." gumam Brajadara, wajahnya pucat pasi.
Antasensa melihat celah. Ia melompat tinggi, pedangnya terangkat tinggi di atas kepalanya. Cahaya Merah berkumpul di ujung pedang, semakin terang dan menyilaukan.
"Ini... serangan terakhirku!" teriak Antasensa. "Rasakan... jurus pedang membelah samudera ku!
Dengan sekuat tenaga, Antasensa mengayunkan pedangnya ke bawah. Sebuah tebasan vertikal yang luar biasa kuat meluncur ke arah Brajadara. Energi berwarna merah itu melesat bagaikan naga yang mengamuk, siap menelan sang ketua perampok.
Brajadara dengan sisa-sisa tenaganya, berusaha menangkis serangan itu dengan kerisnya. Namun, kekuatan tebasan itu terlalu dahsyat.
Traang...!
Percikan api beterbangan ketika pedang Antasensa menghantam keris Brajadara. Suara ledakan kecil menggema, disusul dengan teriakan Brajadara yang melengking kesakitan. Keris itu tak mampu menahan kekuatan penuh dari tebasan pedang merah Antasensa.
Meskipun kerisnya tidak patah, tangan Brajadara yang memegangnya terasa terbakar dan mati rasa. Keris itu terlepas dari genggamannya, terpelanting beberapa meter jauhnya dan menancap di tanah. Tubuh Brajadara sendiri terpental ke belakang, menghantam tanah dengan keras dan berguling beberapa kali sebelum akhirnya berhenti.
Debu tebal mengepul, menutupi pandangan. Antasensa berdiri tegak, napasnya memburu, pedangnya masih mengeluarkan asap tipis. Energi merah yang menyelimuti pedangnya perlahan memudar dan hilang.
Perlahan, debu mulai menipis. Sosok Brajadara terlihat terbaring tak berdaya di tanah. Tubuhnya penuh luka, pakaiannya banyak yang robek. Darah mengalir dari beberapa luka di tubuhnya, membasahi tanah di sekitarnya. Napasnya tersengal-sengal, dadanya naik turun dengan cepat dan tidak beraturan.
Antasensa mendekat dengan hati-hati, pedangnya masih teracung. Wajahnya tegang, ia masih belum yakin apakah Brajadara benar-benar sudah kalah. Ia berhenti tepat di hadapan tubuh yang terkapar itu.
Brajadara, dengan sisa-sisa kekuatannya, membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, namun ia masih bisa melihat sosok Antasensa yang berdiri menjulang di hadapannya. Bibirnya yang berlumuran darah menyunggingkan senyum tipis.
"Tidak ku.. sangka.. aku akan di kalahkan oleh bocah...sepertimu, "bisiknya dengan suara yang sangat lemah. "Kau... mengingatkanku... pada diriku... di masa muda..."
Kemudian, matanya terpejam. Dadanya berhenti bergerak. Suasana hening menyergap. Hanya suara angin yang berdesir pelan dan napas Antasensa yang mulai teratur kembali. Ketua perampok yang ditakuti itu, Brajadara, akhirnya menemui ajalnya di tangan Antasensa.
Antasensa berlutut di tanah, napasnya masih terengah-engah. Pedangnya yang semula bercahaya merah kini meredup, kembali ke warna aslinya. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan tubuhnya terasa lemas luar biasa. Pertarungan melawan Brajadara benar-benar menguras seluruh tenaganya, baik fisik maupun mental.
“Aku… menang…” bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Namun, kemenangan ini terasa hampa. Bayangan wajah ayah dan ibunya kembali terlintas di benaknya, memunculkan kembali rasa sakit dan amarah.
"Orang-orang Semeru..." gumamnya lagi, tangannya mengepal erat . Dendam di hatinya masih membara. Braja dan kelompoknya hanyalah satu bidak kecil dalam permainan yang lebih besar. Musuh yang sebenarnya masih bersembunyi, menunggu untuk diburu.
Di sisi lain, medan pertempuran yang tadinya riuh dengan suara pertempuran kini sunyi senyap. Baradenta, Suryadenta, Intan, dan Sugiwara berdiri di antara mayat-mayat anggota Kelompok Bayangan Kematian.
Baradenta, Suryadenta, Intan dan Sugiwara, saling pandang mengetahui Antasensa sudah berhasil menghabisi Brajadara.
"Apakah kalian rela jika Antasensa yang memenangkan sayembara ini, " tanya Sugiwara. Kepada Baradenta , Suryadenta dan intan.
Ketiga orang itu terdiam karena mereka juga ingin sekali membawa kepala Brajadara sebagai bukti memenangkan sayembara itu. Baradenta dan Suryadenta yang berasal dari perguruan Kemuning ingin sekali membuat senang gurunya, begitu pula dengan Intan dan Sugiwara yang berasal dari perguruan Pagar Ruyung.
Pertanyaan Sugiwara menggantung di udara, menciptakan ketegangan di antara keempat pendekar itu. Sinar matahari senja yang temaram menyinari wajah mereka, menampakkan reaksi yang berkecamuk dalam diri masing-masing. Mereka baru saja melalui pertarungan yang melelahkan, dan kini dihadapkan pada pilihan sulit.
Di sisi lain, ada ambisi dan kehormatan perguruan. Memenangkan sayembara dan membawa kepala Brajadara sebagai bukti akan membawa nama baik bagi perguruan masing-masing. Itu adalah kesempatan yang langka, dan godaannya sangat kuat.
Intan adalah yang pertama kali memecah keheningan.
Ia menghela napas panjang dan berkata, "Aku... aku tidak bisa. Antasensa yang mengalahkannya. Sudah sepantasnya dia yang mendapatkan penghargaannya." Ada sedikit nada berat dalam suaranya, menunjukkan bahwa ia juga menginginkan kemenangan itu, namun rasa keadilannya lebih besar.
Sugiwara mengangguk pelan. "Aku setuju dengan Intan. Kita tidak bisa merampas kemenangan Antasensa. Itu tidak benar." Meskipun pendiam, Sugiwara memiliki prinsip yang kuat. Ia tidak akan mengkhianati kepercayaannya, bahkan demi nama baik perguruannya, walaupun pada awal tadi sempat berfikir untuk merebut kemenangan dari Antasensa.
Kini semua mata tertuju pada Baradenta dan Suryadenta. Sebagai anggota perguruan Kemuning , keputusan Baradenta akan sangat menentukan. Ia tampak menimbang-nimbang, dahinya berkerut dalam.
Suryadenta, di sampingnya, menunggu dengan sabar, siap mengikuti keputusan kakak seperguruannya.
Setelah beberapa saat yang terasa lama, Baradenta akhirnya angkat bicara. "Kalian benar," katanya, suaranya terdengar mantap.Walaupun terdengar terpaksa,"Kemenangan ini milik Antasensa. Kita tidak boleh merebutnya." Ia menatap Suryadenta, mencari persetujuan.
Suryadenta awalnya tampak ragu. Ia pasti juga merasakan keinginan untuk membawa nama baik bagi Kemuning. Namun, ia menghormati Baradenta dan tahu bahwa kakak seperguruannya itu selalu bijaksana. Akhirnya, ia mengangguk. "Aku setuju, Kakang. Kita akan mendukung Antasensa."
Baradenta mengangguk puas. "Baguslah. Kita akan sampaikan ini pada Antasensa." Ia kemudian berbalik, menghadap ke arah Antasensa yang masih berlutut lemah di tanah, tak menyadari dilema yang baru saja mereka alami.
Keputusan ini mungkin akan mengecewakan guru mereka di perguruan Kemuning dan Pagar Ruyung. Namun, mereka yakin bahwa mereka telah melakukan hal yang benar. Mereka telah memilih untuk menjunjung tinggi keadilan dan persahabatan di atas ambisi pribadi masing-masing.
"Antasensa," panggil Baradenta, suaranya terdengar ramah. "Kami sudah memutuskan. Kaulah yang berhak memenangkan sayembara ini. Kau yang mengalahkan Brajadara, dan kau yang berhak mendapatkan penghargaannya."
Antasensa, yang masih terbenam dalam pikirannya, terkejut mendengar kata-kata Baradenta. Ia mendongak, menatap keempat orang di hadapannya sedikit lama.
"Aku rasa kita semua menang,jika kalian tidak turun tangan menghadapi kelompok bayangan kematian, aku rasa belum tentu menang menghadapi Brajadara, " setelah berkata seperti itu Antasensa perlahan berdiri.
Perkataan Antasensa itu sungguh di luar dugaan , mereka tidak percaya kalau Antasensa akan berbagi kemenangan dengan mereka.
Kata-kata Antasensa bagaikan air sejuk di tengah padang pasir bagi Baradenta, Suryadenta, Intan, dan Sugiwara. Mereka tertegun, terharu oleh kebesaran hati anak muda itu. Mereka baru saja berdebat tentang siapa yang berhak atas kemenangan, dan kini Antasensa menawarkan untuk berbagi.
"Tapi Antasensa," Baradenta yang pertama kali mengemukakan suaranya. "Kaulah yang mengalahkan Brajadara. Kaulah yang berhak atas kemenangan ini."
Antasensa menggeleng pelan. "Tidak, Baradenta. Ini kemenangan kita semua. Jika kalian tidak menahan Kelompok Bayangan kematian, aku pasti sudah kewalahan. Aku tidak mungkin bisa fokus menghadapi Brajadara sendirian,lagi pula aku tidak mengejar hadiah apa pun dari Kerajaan Paku Putih" Ia menatap mereka satu per satu. "Kalian semua berjuang bersamaku. Kita semua terluka. Kita semua berkorban. Jadi, sudah sepantasnya kita berbagi kemenangan ini."
Keheningan kembali menyergap, tapi kali ini keheningan yang dipenuhi dengan rasa haru dan kekaguman. Ada rasa penyesalan di hati mereka karena tadi sempat berfikir untuk merebut kemenangan dari Antasensa.
Intan menyeka air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Sugiwara menunduk, merasa tersentuh oleh kemurahan hati Antasensa. Suryadenta menepuk pundak Antasensa dengan bangga, sementara Baradenta tersenyum lebar, merasa sangat beruntung bisa mengenal orang sebaik Antasensa.
"Kau benar-benar orang yang luar biasa, Antasensa," kata Baradenta, suaranya bergetar karena terbawa lonjakan emosi perasaan. "