Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 15
"Lho, ada apa ini?"
Raka terlihat bingung ketika tiba di ruang makan, kedua orang tua kami berkumpul di sini.
"Sini, Nak. Makan malam sama-sama, Shanum udah masak banyak dan enak," ajak Mamah mertua sambil tersenyum bahagia.
Tak kuhiraukan kedatangannya. Bahkan, ketika ia menatap aku memilih membuang muka dan melanjutkan makanku.
"Raka pasti udah makan, Mah. Dia sekarang nggak suka masakan rumahan." Kujawab dengan suara dingin tanpa menatap ke arahnya.
Hening. Beberapa detik tak ada suara hanya bunyi denting sendokku yang beradu dengan piring dan aku tetap tak acuh.
"Lho? Bener itu, Raka? Sekarang kamu lebih suka makan di luar dari pada di rumah?" Mamah mertua terdengar tak senang, suaranya melemah nyaris seperti bisikan.
Ini baru permulaan dari apa yang akan aku ungkapkan malam ini. Bersiaplah, Raka, untuk menerima semuanya.
"Ah? Eh ... nggak, kok, Mah. Kata siapa? Raka lebih suka masakan rumah, kok. Apalagi masakan Shanum, kebetulan Raka laper belum makan."
Terdengar gugup dan salah tingkah yang tertangkap telingaku. Tanpa tahu malu ia duduk di sampingku meski aku sama sekali tak mengindahkan kehadirannya. Namun, baiklah, aku akan bersikap sangat manis malam ini, anggap saja sebagai pengabdian terakhir sebelum kami berpisah.
Kuletakkan sendok di atas piring, menoleh dengan senyum termanis yang aku punya. Kuraih tangannya tanpa izin dan kukecup dengan takzim.
"Kamu pasti capek seharian ngurusin toko, mau mandi dulu atau langsung makan aja? Aku siapin air hangat buat kamu," tuturku dengan lemah lembut.
Sejenak, Raka tertegun dengan apa yang aku lakukan. Matanya mengerling menatap semua orang, sebelum akhirnya dia tersenyum mencoba membunyikan rasa bingung.
"Ah, eh ... makan aja dulu, Sha. Nanti mandinya abis makan, ya. Mumpung lagi rame," sahut Raka benar-benar terlihat gugup dan salah tingkah.
Bibirnya tersenyum canggung, bola matanya bergerak gelisah. Aku tahu, dia merasa tak nyaman dengan situasi yang ada.
"Ya udah, aku ambilin." Aku tahu semua yang ada adalah makanan kesukaan Raka, dia tidak akan dapat menolak meski aku yakin perutnya sudah terisi oleh makanan di luar.
"Masakan menantu Mamah emang enak, nggak salah Raka nikah sama kamu. Anak kamu emang jago masak, ya," puji Mamah mertua membuat perutku bergolak.
Bukannya senang dipuji seperti itu, aku justru muak mendengarnya. Berbeda dengan Mamah yang tersenyum bangga sambil mengiyakan pujian itu.
"Dari dulu, Shanum emang suka masak. Makannya dia buka bisnis kue buat nyalurin hobi masaknya," sahut Mamah tidak ada yang salah dari itu.
Aku memang hobi masak, dari sejak menginjak sekolah dasar aku sudah terjun ke dapur membantu Mamah. Bahkan, Kak Dzaky dulu sering melontarkan pujian yang sama membuatku selalu tersipu.
"Hebat memang menantu kita ini, Pah. Cantik, mandiri, pinter masak lagi. Udah, deh, nggak ada bandingannya sama perempuan lain. Shanum emang sempurna buat jadi istri. Iya, 'kan, Raka?"
Kalimat tersebut diucapkan Mamah mertua dengan penuh penekanan, mungkin untuk menyadarkan anaknya yang sudah terlampau jauh berkhianat di dalam pernikahan. Aku hanya tersenyum malas menanggapi, melanjutkan makan meski sudah tidak berselera lagi. Kulirik Raka yang sempat tersedak makannya sendiri.
"I-iya, Mah. Shanum emang sempurna, terlalu sempurna malah. Makanya Raka sayang banget sama dia," ucap suamiku yang sebentar lagi akan aku hempaskan.
Sayang katanya? Makan tuh kata sayang terakhir yang aku hidangkan bersama menu malam ini. Setelahnya, kalian semua akan tahu kebusukan dari anak yang kalian banggakan itu.
Acara makan malam yang memuakkan, seharusnya terasa hangat. Mungkin bagi mereka begitu, tapi tidak bagiku. Rasanya aku ingin semua ini segera berakhir dan mengungkapkan semuanya.
"Eh, nggak usah, Nak. Biar Mamah aja, ya." Mamah mertua sigap mencegahku ketika hendak mengumpulkan piring-piring kotor dan mencucinya.
Dibantu Mamah yang juga bangkit dari duduk, dan memintaku melayani Raka terlebih dahulu. Aku menurut, menyiapkan air hangat untuk mandi sang suami tercinta.
"Kenapa kamu lihatin aku kayak gitu, Ka?" tanyaku heran ketika Raka tak berkedip menatapku.
Ia mendekat dengan hanya mengenakan balutan handuk saja. Bersiap untuk mandi, membersihkan diri dari bekas sentuhan perempuan gila itu. Raka menyentuh bahuku, jijik rasanya dan enggan, tapi aku biarkan hanya untuk malam ini saja.
"Kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanyanya ambigu.
Aku mengangkat alis mendengar pertanyaan itu. Lalu, menggelengkan kepala menjawabnya.
"Aku nggak apa-apa, kok. Emangnya kenapa?" Kubuat suaraku selembut mungkin agar Raka tidak curiga sama sekali. Aku juga tersenyum manis dan menyentuh kedua lengannya.
"Maafin aku buat tadi siang, ya. Aku udah keterlaluan sama kamu. Kamu mau maafin aku, 'kan?" ucapnya kemudian.
Aku tertegun beberapa saat, sudah berapa kali aku mendengar kata maaf darinya untuk kesalahan yang sama. Aku muak, benar-benar muak.
"Iya, nggak apa-apa. Sana mandi, nanti keburu dingin. Nggak baik mandi air dingin malam-malam begini," ucapku sengaja mengusir karena enggan berlama-lama dengannya.
Raka tersenyum aneh, ia mendekatkan wajah padaku berbisik di telinga.
"Aku kangen, Sha. Aku mau, ya, malam ini. Kamu nggak boleh nolak."
Cih! Menjijikkan. Darahku berdesir secara tiba-tiba, bukannya tergugah aku justru takut setelah mendengar kata-kata ajakan itu. Ia mengecup pipi tanpa izinku, tersenyum mesum sebelum pergi masuk ke kamar mandi.
Menangnya siapa yang mau melayaninya? Malam ini aku akan ikut pulang bersama kedua orang tuaku dengan atau tanpa izinnya. Kusiapkan piyama Raka di atas ranjang agar ia tak perlu membuka lemari dan mengetahui jika benda itu sudah tak terisi oleh pakaianku.
Diam-diam aku menyeret koper dari pintu belakang dan meletakkannya di belakang mobil Papah. Untuk memudahkanku nantinya setelah semua berakhir malam ini. Aku tidak berniat tinggal di rumah ini, rumah yang selama beberapa bulan membuatku merasa nyaman dan hangat. Setidaknya sebelum perselingkuhan Raka aku ketahui.
Obrolan para orang tua di ruang tamu terdengar samar di telinga. Yang mereka bahas selalu seputar anak yang ada di dalam perutku. Sama-sama cucu pertama dan sangat mereka inginkan. Sayang, ayahnya seperti tak menginginkan. Tak pernah bertanya tentang keberadaannya.
"Asik banget ngobrolnya, ngomongin apa?" Kujatuhkan bobot tubuh di samping Papah. Aku akan menangis di dalam pelukannya ketika tak sanggup lagi menahan.
"Biasa, Sha. Soal persiapan menyambut cucu pertama. Nggak sabar banget rasanya, tapi masih lama," ucap Mamah antuasias, tapi kemudian lesu.
"Bentar lagi, kok, Mah. Tiga bulan lagi, lho. Shanum juga belum nyiapin apa-apa ini buat nyambut dia nanti," ucapku sambil mengusap perut yang semakin membesar seiring waktu berjalan.
Nggak apa-apa, Nak. Mamah janji kamu nggak akan kekurangan kasih sayang meski kita nggak sama papah kamu lagi. Ada Kakek sama Nenek yang akan ikut menjaga kamu.
Pedih rasanya, disaat semua pasangan menantikan si buah hati dengan perasaan yang bahagia, tapi aku harus mengambil keputusan berpisah.