Di negeri magis Aelderia, Radena, seorang putri kerajaan yang berbakat sihir, merasa terbelenggu oleh takdirnya sebagai pewaris takhta. Hidupnya berubah ketika ia dihantui mimpi misterius tentang kehancuran dunia dan mendengar legenda tentang Astralis—sebuah senjata legendaris yang dipercaya mampu menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Dalam pelariannya mencari kebenaran, ia bertemu Frieden, seorang petualang misterius yang ternyata terikat dalam takdir yang sama.
Perjalanan mereka membawa keduanya melewati hutan gelap, kuil tersembunyi, hingga pertempuran melawan sekte sihir gelap yang mengincar Astralis demi kekuatan tak terbayangkan. Namun, untuk mendapatkan senjata itu, Radena harus menghadapi rahasia besar tentang asal-usul sihir dan pengorbanan yang melahirkan dunia mereka.
Ketika kegelapan semakin mendekat, Radena dan Frieden harus memutuskan: berjuang bersama atau terpecah oleh rahasia yang membebani jiwa mereka. Di antara pilihan dan takdir, apakah Radena siap memb
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dzira Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Perpecahan
Radena dan Frieden melanjutkan perjalanan mereka dengan membawa cincin yang kini berisi petunjuk baru. Jejak sihir yang terhubung dengan Astralis mengarah ke sebuah dataran beku di utara, tempat yang dikenal dengan nama Lembah Salju Abadi.
Namun, meskipun kemenangan mereka di puncak gunung memberi mereka kepercayaan diri, ketegangan mulai terasa di antara keduanya.
Di Perjalanan
Salju turun perlahan di sekitar mereka, dan angin dingin menusuk hingga ke tulang. Radena menarik jubahnya lebih erat, melirik Frieden yang tampak tenang meskipun udara dingin begitu kejam.
“Kau tahu,” kata Frieden akhirnya, memecah kesunyian. “Aku masih berpikir bahwa kita harus berhenti sejenak, mungkin mengumpulkan lebih banyak informasi sebelum melangkah lebih jauh.”
Radena menatapnya dengan tatapan tajam. “Berhenti? Kau bercanda, kan? Kita tidak punya waktu untuk itu. Sekte gelap bisa saja sudah di depan kita.”
Frieden menghela napas. “Aku mengerti urgensinya, tapi kita juga harus cerdas. Kalau kita terus maju tanpa rencana, kita akan membuat kesalahan.”
“Apa maksudmu aku tidak cerdas?” Radena membalas, suaranya mulai meninggi.
“Aku tidak bilang begitu,” kata Frieden dengan nada sabar. “Tapi kau terlalu tergesa-gesa. Kadang-kadang, kau bertindak tanpa memikirkan risiko.”
Radena berhenti melangkah, matanya menyala dengan emosi. “Dan kau? Kau hanya mengikuti arus, seolah-olah ini semua adalah permainan. Kalau kau takut, mungkin kau seharusnya tidak datang bersamaku.”
Frieden menatapnya dengan dingin. “Aku di sini bukan karena takut. Tapi kalau kau terus bersikap seperti ini, kita akan hancur sebelum mencapai tujuan kita.”
Kata-katanya menusuk Radena. Ia ingin membalas, tetapi ia tahu Frieden benar dalam beberapa hal. Namun, egonya menahan dirinya untuk mengakuinya.
“Aku tidak butuh ceramah darimu,” kata Radena akhirnya, lalu melanjutkan berjalan lebih cepat, meninggalkan Frieden di belakang.
Bahaya yang Mengintai
Radena berjalan sendirian, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata Frieden.
“Siapa dia berani bicara seperti itu padaku?” gumamnya pada dirinya sendiri. “Aku sudah melakukan ini semua untuk menemukan kebenaran.”
Tiba-tiba, salju di bawah kakinya runtuh. Sebelum ia sempat bereaksi, ia jatuh ke dalam jurang kecil, tubuhnya terhempas ke tanah yang keras.
Radena meringis kesakitan, berusaha bangkit, tetapi rasa dingin dan luka di kakinya membuatnya sulit bergerak. Ia melihat ke sekeliling, menyadari bahwa ia terperangkap di sebuah gua es kecil yang tampaknya terbentuk oleh longsoran salju.
“Bagus sekali,” gumamnya. “Ini yang kudapat karena keras kepala.”
Ia mencoba memanggil Frieden, tetapi hanya gema suaranya sendiri yang terdengar.
Ketika ia meraih tongkatnya untuk menyalakan cahaya, suara langkah kaki yang berat terdengar di belakangnya. Radena berbalik, jantungnya berdebar kencang.
Dari bayangan gua, muncul seekor makhluk besar berbulu putih dengan cakar tajam dan mata merah menyala. Itu adalah Frostbeast, predator yang terkenal memburu siapa saja yang tersesat di dataran beku ini.
Makhluk itu menggeram rendah, air liur menetes dari taringnya.
“Baiklah,” kata Radena sambil mengangkat tongkatnya. “Kalau ini ujian, aku siap.”
Pertempuran Melawan Waktu
Frostbeast melompat ke arahnya, tetapi Radena meluncurkan mantra pelindung. “Aegis Glacialis!”
Sebuah perisai es muncul di depannya, menahan cakar Frostbeast. Namun, kekuatan makhluk itu terlalu besar, membuat perisai itu retak dalam beberapa detik.
Radena melompat mundur, mencoba melantunkan mantra serangan. “Ignis Fulgur!”
Semburan api keluar dari tongkatnya, tetapi makhluk itu hanya mundur sedikit, kemudian menyerang lagi.
Radena menyadari bahwa ia tidak bisa mengalahkan makhluk ini sendirian. Setiap serangannya hanya memperlambat Frostbeast, sementara energinya semakin menipis.
“Aku harus keluar dari sini,” pikirnya.
Namun, sebelum ia bisa bergerak, Frostbeast melompat ke arahnya dengan kekuatan penuh.
Penyelamatan yang Tak Terduga
Tepat sebelum cakar Frostbeast mencapai Radena, sebuah suara keras menggema di gua.
“Ventus Tempesta!”
Angin kencang meluncur dari belakang Frostbeast, menghantam makhluk itu dengan kekuatan dahsyat. Radena melihat Frieden berdiri di pintu masuk gua, tongkat kecil di tangannya yang ternyata menyimpan sihir angin yang kuat.
Frostbeast berbalik, menggeram pada Frieden.
“Menjauh dari temanku,” kata Frieden dengan nada rendah, matanya penuh kemarahan.
Radena tersenyum kecil, meskipun tubuhnya masih gemetar. “Aku tidak tahu kau bisa menggunakan sihir.”
Frieden tidak menjawab, fokus pada makhluk itu. Dengan kombinasi serangan angin dari Frieden dan mantra api dari Radena, mereka akhirnya mengalahkan Frostbeast, membuatnya lari kembali ke dalam bayangan gua.
Rekonsiliasi
Setelah Frostbeast menghilang, Frieden membantu Radena berdiri.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya.
Radena mengangguk, meskipun ia masih merasa lemah. “Aku baik-baik saja. Terima kasih.”
Frieden tersenyum kecil. “Aku tidak akan membiarkanmu mati di sini. Kau terlalu penting.”
Radena merasa malu atas pertengkaran mereka sebelumnya. Ia menghela napas dalam, mencoba meredam egonya.
“Aku minta maaf,” katanya akhirnya. “Aku terlalu keras kepala. Kau benar, aku harus lebih berhati-hati.”
Frieden mengangguk, tetapi tidak berkata apa-apa.
Radena melanjutkan, “Tapi aku butuh kau untuk terus mengingatkanku. Kita hanya bisa melakukan ini bersama.”
Frieden akhirnya tersenyum lebar. “Nah, itu baru terdengar seperti putri yang bisa aku percayai.”
Keduanya tertawa kecil, dan untuk pertama kalinya dalam perjalanan mereka, Radena merasa benar-benar memiliki seseorang yang bisa ia andalkan.