Celia Carlisha Rory, seorang model sukses yang lelah dengan gemerlap dunia mode, memutuskan untuk mencari ketenangan di Bali. Di sana, ia bertemu dengan Adhitama Elvan Syahreza, seorang DJ dengan sikap dingin dan misterius yang baru saja pindah ke Bali. Pertemuan mereka di bandara menjadi awal dari serangkaian kebetulan yang terus mempertemukan mereka.
Celia yang ceria dan penuh rasa ingin tahu, berusaha mendekati Elvan yang cenderung pendiam dan tertutup. Di sisi lain, Elvan, yang tampaknya tidak terpengaruh oleh pesona Celia, justru merasa tertarik pada kesederhanaan dan kehangatan gadis itu.
Dengan latar keindahan alam Bali, cerita ini menggambarkan perjalanan dua hati yang berbeda menemukan titik temu di tengah ketenangan pulau dewata. Di balik perbedaan mereka, tumbuh benih-benih perasaan yang perlahan mengubah hidup keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yanahn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tembok Yang Runtuh
Setelah keluar dari ruangan ayahnya, Caleb memijat pelipisnya, merasa frustrasi. Ia ingin melindungi Celia, tetapi melawan ayahnya adalah hal yang mustahil. Caleb mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Celia, namun panggilannya diabaikan. Akhirnya, Caleb memutuskan untuk pergi ke Bali dan meminta asistennya mengurus penerbangannya.
Sementara itu, di Bali, di vila tempat Celia tinggal, Celia menatap ponselnya setelah sengaja mengabaikan panggilan dari Caleb.
Elvan memperhatikan Celia dari sofa, lalu berdiri dan berjalan menghampirinya. “Kenapa nggak angkat teleponnya? Memangnya siapa yang menelepon?” tanyanya lembut.
Celia menoleh dan meletakkan ponselnya di atas meja. “Caleb. Aku nggak tahu mau ngomong apa,” jawabnya dengan suara lemah.
Elvan mengusap punggung Celia. “Kalau Caleb menghubungimu, pasti ada sesuatu yang penting. Apa kamu yakin nggak mau bicara dengannya?”
Celia terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Mungkin nanti. Sekarang aku belum siap.”
Elvan mengangguk mengerti, lalu meraih kedua tangan Celia dan menggenggamnya erat. “Ya sudah, sekarang kita lupakan sejenak masalah ini.”
Celia mengangguk dan menyandarkan kepalanya di dada Elvan.
Di dalam pesawat menuju Bali, Caleb duduk diam di kursinya. Matanya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam ponselnya dengan erat. Pikiran tentang tindakan ayahnya terus membuatnya gelisah.
“Asisten saya sudah mengatur transportasi di Bali, Tuan. Anda ingin langsung menuju vila Nona Celia, atau ada tujuan lain terlebih dahulu?” tanya asistennya yang duduk di sebelahnya.
“Langsung ke vila,” jawab Caleb singkat dengan suara tegas. Ia tahu, begitu tiba, ia harus segera bertemu Celia dan memastikan adiknya terlindungi.
Di vila, suasana kembali tenang, hanya deburan ombak yang terdengar sayup-sayup. Celia duduk di teras sendirian, menikmati angin malam yang sejuk. Lily sudah pergi ke rumah Nenek Kinan, sementara Elvan masih di ruang tengah, berbicara dengan seseorang melalui telepon.
Celia memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, ketenangan itu pecah saat ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia membuka matanya dan melihat sosok tinggi berdiri di hadapannya.
“Caleb?” Celia menatapnya kaget. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Caleb menatap Celia dengan wajah serius, matanya menyiratkan kelelahan dan kekhawatiran. “Kita perlu bicara, Celia. Ini soal Daddy,” ujarnya tanpa basa-basi.
Celia mengerutkan kening, mencoba mencerna ucapan Caleb. “Daddy? Apa maksudmu?”
Caleb duduk di samping Celia, menatapnya dengan intens. “Tentang rumor antara kamu dan Lucas. Daddy ternyata ada di balik semua itu. Dia yang menyebarkannya lewat koneksi medianya di sini,” ungkap Caleb.
Celia membeku sejenak. Wajahnya menunjukkan keterkejutan dan kemarahan yang bercampur aduk. “Apa?! Kenapa Daddy melakukan ini? Apa dia benar-benar ingin menghancurkan hidupku?”
Caleb menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. “Kamu tahu kan alasannya?”
Celia mengangguk sambil mengepalkan tangan, dadanya terasa sesak. “Ini bukan cuma tentang aku dan Elvan. Daddy sudah menyeret Lucas ke dalam masalah ini! Apa dia nggak peduli betapa rusaknya reputasi kita sekarang?”
“Celia,” Caleb menundukkan kepala, suaranya melembut. “Aku tidak akan membiarkan Daddy terus melakukan ini. Aku akan melawannya.”
Celia menatap wajah Caleb lekat-lekat, perasaannya campur aduk antara terharu dan merasa bersalah. Terharu karena Caleb akhirnya ada di pihaknya, dan merasa bersalah karena sempat menuduh Caleb terlibat dalam rumor tersebut. “Melawan Daddy? Tapi itu tidak mudah. Daddy punya kekuasaan, koneksi, dan dia selalu mendapatkan apa yang dia mau.”
Caleb menarik napas dalam-dalam. “Aku tahu, Celia. Tapi kali ini aku nggak akan diam saja. Daddy sudah keterlaluan, dan aku nggak bisa membiarkan dia terus-menerus mempermainkan hidupmu.”
Celia menundukkan wajahnya. Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi ia mencoba menahan air mata yang sejak tadi ingin tumpah. “Kalau kamu melawan Daddy, kamu sadar kan apa risikonya? Daddy mungkin nggak akan menganggapmu sebagai bagian dari keluarga lagi.”
Caleb mendekati Celia, menatapnya dengan lembut. “Aku tahu risikonya. Tapi kamu adalah adikku. Apapun yang terjadi, aku nggak akan membiarkan Daddy menghancurkanmu. Sekalipun aku harus kehilangan posisi di keluarga.”
Mendengar itu, Celia tak lagi mampu menahan emosinya. Air matanya mulai jatuh, isaknya pelan, sepadan dengan rasa sakit yang selama ini ia pendam. Ia memalingkan wajah, berusaha menutupi tangisannya, tetapi Caleb dengan lembut memegang bahunya.
“Celia…” suara Caleb melembut, penuh empati.
Seolah tembok besar di antara mereka selama ini runtuh, Celia berbalik dan memeluk Caleb erat. Ia menangis tersedu-sedu di dada kakaknya, mencurahkan semua rasa sakit, marah, dan kecewanya.
“Terima kasih, Caleb…” bisiknya di sela tangis. “Aku lelah terus-terusan harus menghadapi semuanya sendiri.”
Caleb memeluk Celia lebih erat, mengusap punggungnya untuk menenangkan. “Aku minta maaf, Celia… Aku minta maaf karena selama ini aku terlalu pengecut untuk melawan Daddy.”
Celia semakin terisak. Ia belum pernah mendengar ucapan seperti ini Dari Caleb. Hubungan mereka selama ini dingin, hampir seperti orang asing. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar memiliki seorang kakak.