Mencintainya adalah sebuah keputusan..
Sifat perhatian padaku menutupi pengalihannya...
Yang dia kira...dia yang paling disayang, menjadi prioritas utama, dan menjadi wanita paling beruntung didunia.
Ternyata semua hanya kebohongan. Bukan, bukan kebohongan tapi hanya sebuah tanggung jawab
.
.
.
Semua tak akan terjadi andai saja Arthur tetap pada pendiriannya, cukup hanya dengan satu wanita, istrinya.
langkah yang dia ambil membawanya dalam penyesalan seumur hidupnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lupy_Art, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
New York..
Setelah menutup telepon, Kendall duduk disamping Erland yang masih tertidur lemah. Ia membelai lembut rambut putranya, merasa kesepian namun bertekad kuat.
"Aku tahu kau ingin Daddymu disini, Sayang," bisik nya lembut. "Tapi kita harus kuat, hanya kita berdua."
Kendall tidak pernah berharap Arthur akan selalu ada untuk mereka. Dari awal, ia tahu hubungan mereka hanya sementara, dan Arthur bukanlah pria yang bisa sepenuhnya dimilikinya. Dia yang memutuskan pergi dari pria itu, tapi itu tidak berarti ia tidak merasa sakit melihat Erland tumbuh tanpa sosok ayah.
...
Dalam perjalanan pulang, Arthur terdiam, pikirannya terpecah antara dua dunia yang ia coba pertahankan. Di satu sisi, ada Livia dan bayi yang sedang dikandungannya. Disisi lain, ada Erland, darah dagingnya yang ia sembunyikan dari istrinya.
Livia akhirnya memecah keheningan. "Ar, apa ada sesuatu yang tidak kau ceritakan padaku?"
Arthur menoleh, menatap wajah istrinya yang terlihat lelah namun penuh keingintahuan. "Livia, aku hanya ingin fokus pada keluargaku sekarang. Tidak ada yang lebih penting dari kalian."
Arthur terdiam setelah ucapannya, menyadari kesalahan yang hampir dia buat. Dia cepat-cepat mengalihkan pandangannya dari Livia, menatap lurus kedepan dengan rahang yang mengeras.
"Itu... bukan sesuatu yang harus kamu khawatirkan sekarang," katanya akhirnya, suaranya terdengar datar.
Livia menatap Arthur dengan tajam, mencari kejujuran di wajah suaminya, tetapi dia hanya menemukan dinding yang tak bisa ditembus. "Kamu tahu aku tidak akan berhenti sampai aku tahu yang sebenarnya," ucapnya dingin.
Arthur akhirnya menghentikan mobil di pinggir jalan, menarik rem tangan dengan kasar. dia menoleh ke Livia, wajahnya serius. "Livia aku hanya ingin melindungimu. Ada hal-hal yang lebih baik kalau kamu tidak tahu."
"maksudmu aku tidak cukup kuat untuk tahu?" Livia menantang, suaranya mulai bergetar antara marah dan terluka. "Aku istrimu, Arthur. Aku punya hak untuk tahu apa yang terjadi, terutama kalau itu memengaruhi kita."
Arthur menggenggam setir erat, matanya penuh konflik. Dia tidak menjawab lagi omongan istrinya, dan memilih melanjutkan perjalanan pulang.
..
sesampainya divilla, Arthur langsung masuk kedalam rumah tanpa membukakan pintu untuk istrinya bahkan juga tidak menunggu istrinya turun dari mobil.
Kei yang melihat kejadian itu dengan sigap membukakan pintu mobil untuk Livia. "Terimakasih, Kei"
"Tentu.."
Livia masuk ke dalam rumah mencari keberadaan suaminya. saat tiba dikamar ia tak melihat sosok suaminya, namun suara gemericik air dari kamar mandi menyita perhatiannya. mungkin Arthur sedang didalam sana, pikirnya.
Livia memilih keluar karna ia ingin makan buah apel, sesampainya dibawah Kei datang menghampiri. "kau membutuhkan sesuatu?" tanyanya
"Aku ingin makan buah apel" ucap Livia
dengan sigap Kei langsung mengambil buah itu dan memotongnya untuk Livia. saat sedang mengunyah buah itu Livia melihat Arthur menuruni tangga, lantas Livia menghampiri suaminya.
"Ar..." Arthur menghentikan langkahnya, dan hanya menoleh sekilas pada istrinya.
"Kamu mau kemana?" tanya Livia melihat penampilan Arthur sudah rapi menggunakan jas.
"Kantor" jawabnya dingin
Livia sedikit merasakan sakit diulu hatinya mendengar nada bicara Arthur seperti itu
"Baiklah, hati-hati dijalan" setelah Livia mengatakan itu.. Arthur melewatinya begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun
Mata Livia berkaca-kaca setelah melihat punggung suaminya hilang dibalik pintu. kemudian Livia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, ingin melanjutkan makan apel nya tapi moodnya sudah hilang.
ia memilih naik saja kekamarnya.. saat melewati ruang kerja Arthur, pikiran tentang mencari petunjuk rahasia yang selama ini Arthur tidak ingin ceritakan padanya kembali lagi.
mumpung Arthur sudah pergi ke kantor, ini adalah kesempatan yang bagus untuk melakukan pencariannya.
setelah masuk, ia langsung membongkar laci meja itu.. padahal kemarin ia tidak menemukan apapun kecuali laporan-laporan itu, tapi Livia sangat yakin pasti ada sesuatu disana maka ia tidak menyerah.m ia harus mengecek sekali lagi.
saat memindahkan proposal dilaci paling bawah sesuatu terjatuh dari dalamnya.
Livia mengambil sebuah amplop yang baru dia lihat, kemarin ia belum sempat mencari laci bagian yang bawah. Ternyata firasatnya benar, pasti ada sesuatu yang bisa memberi petunjuk.
Livia duduk disofa ruang kerja itu. Memandang amplop putih yang baru saja ia temukan, perasaannya kuat sekali terhadap kertas putih yang sudah berada digenggamannya. Amplop itu tidak memiliki nama penerima, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa amplop itu penting.
Tangannya gemetar saat membuka perlahan, tetapi sebelum dia sempat melihat apapun, langkah kaki terdengar mendekat.
"Livia," Suara Arthur terdengar rendah tapi tegas dari pintu. Dia berdiri disana, tatapannya tertuju pada amplop di tangan istrinya. sebenarnya Arthur ketinggalan berkas penting yang harus dibawa sehingga dia harus balik lagi ke villa.
Livia mendongak, matanya bertemu dengan tatapan Arthur. "Ini apa, Arthur?" tanya nya, suaranya gemetar, antara marah dan bingung.
Arthur melangkah mendekat, mencoba tetap tenang meski dadanya terasa sesak. "Berikan padaku," katanya singkat, mengulurkan tangannya.
Livia berdiri mundur sedikit, Menahan amplop itu didadanya. "Tidak. Aku sudah cukup dengan semua rahasiamu. Aku ingin tahu apa ini, Arthur!"
Arthur berhenti, matanya tajam tapi suaranya lembut. "Itu tidak penting, Livia. Aku mohon, berikan padaku. Sekarang."
"Kalau tidak penting, kenapa kamu terlihat begitu tegang?" Livia membalas dengan nada menantang. "Apa ini soal telepon tadi? Atau ada sesuatu yang lebih buruk yang kamu sembunyikan dariku?"
Arthur mendesah berat, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku hanya tidak ingin kamu khawatir. Itu urusanku, bukan urusanmu."
Livia menatapnya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Arthur, Aku istrimu. Kalau ini menyangkutmu, maka ini menyangkutku juga. Kenapa kamu terus mendorongku menjauh?"
keheningan menyelimuti ruangan. Arthur tahu dia tidak bisa terus menghindar, tetapi dia juga tidak siap untuk menyatakan yang sebenarnya. Dalam hatinya, dia berharap Livia tidak membuka isi amplop itu.
Livia terdiam, rasa sakit itu membuatnya sulit bernapas. Dia menatap Arthur seolah melihat orang asing. Perlahan, dia meletakkan amplop itu dimeja dan berjalan pergi meninggalkannya.
Arthur memandang punggung Livia yang menjauh, lalu kembali menatap amplop yang kini berada di meja, memejamkan mata, rahangnya mengeras. Dia tahu kata-katanya barusan seperti racun, tapi dia juga merasa semakin terpojok dengan kebohongannya, seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Setelah Livia meninggalkan ruangan, Arthur berdiri mematung. Dia meraih amplop hasil tes DNA itu, tapi pikirannya mulai mengarah ke kejadian di rumah sakit beberapa jam lalu. kata-kata dokter terngiang di kepalanya :
'Saat ini, tekanan darah Nyonya Livia sedikit meningkat, jadi saya sarankan untuk lebih banyak istirahat. Hindari stres, dan pastikan pola makan terjaga. Dan, Tuan Arthur mendampingi istri selama masa-masa ini sangat penting.'
Arthur menghela nafas berat. Wajah dinginnya kini tergantikan dengan sorot mata yang penuh penyesalan. Ia tahu, tadi ia telah melampaui batas.
kini Arthur memutuskan untuk meminta maaf pada istrinya.
...
Arthur menuju kamar tidur mereka, berharap Livia ada disana. Ia membuka pintu perlahan dan menemukan Livia duduk di tepi tempat tidur, memeluk bantal dengan wajah tertunduk. Bahunya sedikit bergetar, menandakan ia masih menangis dalam diam.
Arthur mendekat dengan hati-hati, tapi langkahnya terasa berat. Ketika ia duduk di tempat tidur, Livia tidak bergerak, seolah kehadirannya tidak lagi berarti.
dengan suara penuh penyesalan Arthur berkata, "Sayang... Aku... Aku ingin minta maaf."
Livia tidak menjawab. Ia hanya menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha terlihat tegar meskipun hatinya masih terasa sakit.
"Aku tahu aku salah. Kata-kataku tadi... aku nggak seharusnya berkata seperti itu."
Livia akhirnya menoleh, menatap Arthur dengan mata yang memerah. "Kalau kamu tahu itu salah, kenapa kamu tetap melakukannya, Arthur? Kenapa kamu selalu membuatku merasa seperti orang luar dalam hidupmu?"
Arthur tertunduk. Ia ingin mengatakan kebenaran, tapi ada ketakutan yang menahannya. "Aku cuma ingin melindungimu... Aku nggak mau kamu terluka karena semua hal yang ada dihidupku." bisik Arthur
Livia memandang Arthur tajam. "Kamu pikir Aku nggak terluka sekarang? Kalau kamu benar-benar ingin melindungiku, mulailah dengan tidak menyakiti ku seperti ini."
Arthur terdiam. Kata-kata Livia bagaikan tamparan keras baginya. Perlahan, ia meraih tangan Livia, tapi wanita itu sedikit menghindar.
"Aku akan berusaha berubah, Livia. Aku janji. Aku nggak mau kehilangan kamu... atau anak kita."
Livia menatapnya lama, mencoba mencari kejujuran di balik janji itu. Tapi luka dihatinya terlalu dalam untuk sembuh begitu saja.
"Kita lihat saja, Arthur." ucap dingin Livia
Arthur tidak menyalahkan reaksi Livia. Ia hanya mengangguk kecil, menyadari bahwa butuh waktu untuk mendapatkan kembali kepercayaannya.
.
.
.
.
.
...----------------...
.
.
.
hai.... siapa yang nunggu chapter ini?
semoga suka ya sama alurnya...
agak ribet.. tapi aku suka.
jangan lupa dukung karya ini dengan tinggalkan jejak komentar,like, subs, beri vote dan gift 🥰🥰🥰
sampai jumpa dichapter berikutnya