Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Mas Tara
"Kenapa? Kenapa anda peduli sama saya?" Karin terpaku, tak mengerti kenapa laki-laki di hadapannya berkata dan bersikap seperti itu pada dirinya.
"Ah, bukan begitu maksud saya. Saya enggak mau kita berdua sakit dan kena flu. Kamu lihat kan baju saya juga sudah basah kuyup sekarang?" Laki-laki itu segera mengoreksi ucapannya, dan wajahnya tampak memerah.
Mata Karin tertuju ke arah laki-laki itu. Jas mewah yang dikenakannya basah kuyup, seperti hatinya yang terendam duka. Menyadari hal itu Karina pun mengangguk lemah, dan menurut masuk ke mobil, dan duduk di tempat yang dia duduki sebelumnya.
"Ini punya kamu kan? Tadi saya lihat itu tergeletak disana. Makanya saya susul kamu ke kafe barusan," kata laki-laki itu sambil menyodorkan ponsel milik Karin.
Karin terhenyak, dia baru menyadari bahwa ponselnya tertinggal. "Ah, iya ini ponsel saya, terima kasih ya Pak."
"Iya sama-sama ... panggil saja saya Tara, atau Mas Tara. Kayaknya umur saya tidak beda jauh dari kamu," jawab laki-laki bernama Tara tersebut.
Karin mengangguk, dan mengamati wajah Tara melalui spion. Wajah Tara memang terlalu muda untuk dipanggil bapak oleh Karin. Dan dia juga terlalu tampan untuk menjadi supir online. Potongan rambutnya yang mirip oppa Korea membuatnya tampak lebih mirip seperti seorang aktor.
"Oh iya Mas, bisa turunkan saya didepan situ saja. Takutnya ada orderan dari pelanggan lain yang masuk," ucap Karin.
"Tenang saja aplikasinya sedang error. Jadi takan ada orderan yang masuk," jawab Tara dengan senyum tipis yang menghiasi bibirnya.
"Baiklah kalau begitu anggap saya menyewa offline saja. Tolong antar ke alamat rumah saya ya Mas." Karina berharap bisa segera pulang, dan menenangkan dirinya.
"Baik Karin," jawab Tara.
Seketika Karin terkesiap mendengar Tara memanggil namanya.
"Bagaimana dia bisa tahu namaku?" batin Karin.
"Ah, dia pasti tahu namaku karena Mas Cakra sempat meneriakkan namaku," batin Karin sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
Karin kembali menatap wajah Tara dari balik spion, dan tak sengaja mata keduanya bertemu, dan Tara tersenyum lagi. Senyum yang sedikit bisa menenangkan hati Karin.
Kedua mata itu terus saling berpandangan melalui kaca, hingga Karin ingat kalau dirinya belum mengucapkan terima kasih, karena Tara sudah repot-repot mau menyelamatkannya dari tamparan Cakra.
"Oh iya Mas, terima kasih ya sudah menolong saya tadi ketika di cafe. Kalau Mas enggak ada mungkin saya sudah kena tampar laki-laki itu."
Tara mengangguk. "Iya sama-sama Karin ... saya hanya enggak suka melihat seorang perempuan dikasari oleh laki-laki."
"Sekarang kamu sudah--," ucapannya terhenti karena dering ponsel yang berbunyi.
Dia menepikan mobilnya lalu meminta izin mengangkat telepon.
"Halo, kenapa?" tanyanya pada seseorang di balik telepon.
Karin tak bisa mendengar percakapan orang di balik telepon, tapi dia bisa melihat raut wajah Tara berubah drastis.
"Iya sebentar lagi aku nyampe kok disitu," jawabnya.
Tara menutup teleponnya, lalu menoleh ke arah Karin. "Sepertinya saya enggak bisa nganterin kamu sampai rumah deh, Rin."
"Oh yaudah enggak apa-apa saya turun disini saja," sahut Karin.
Karin merogoh uang di dompetnya, lalu mengulurkan ke arah Tara. "Ini buat ongkosnya Mas."
Tara menolak halus. "Kamu enggak usah bayar Karin."
Dia menolak uang dari Karin, dan malah mengulurkan sebuah paperbag ke arah Karin. "Di depan sana ada pom bensin, sebaiknya kamu ganti baju dulu biar tidak terkena flu."
"Ini buat saya? Ini kelihatannya mahal loh Mas?" tanya Karin, saat melihat sebuah kemeja dan rok cantik dalam paperbag pemberian Tara.
"Enggak apa-apa, mungkin itu baju memang rejekinya kamu," jawab Tara.
Karin tak mengerti dengan ucapan Tara, tapi dia merasa terharu dengan apa yang dilakukan Tara kepadanya.
"Terima kasih, kalau ketemu lagi saya akan membalas semua kebaikanmu Mas," kata Karin.
Tara mengangguk, lalu Karin pun turun dari mobil hitam itu. Sesuai sarannya Tara, dia pergi ke toilet pom bensin terdekat, lalu mengganti baju disana. Karin semakin terkejut saat melihat label yang terdapat di baju pemberian Tara.
"Ya ampun seumur-umur baru sekarang aku bisa beli baju bermerk asli, biasanya aku cuma bisa beli baju biasa via online."
Karin berdiri di depan cermin toilet pom bensin, mengamati dirinya yang kini mengenakan kemeja cantik berwarna biru muda, dan rok pendek hitam.
"Wah, bajunya pas banget dipake buat kerja nih." Karin kembali tersenyum.
"Ngomong-ngomong dia beli setelan ini buat siapa ya? Kok malah sukarela gitu dikasih ke aku?" Karin merasa heran dan penasaran.
Tak ingin berpikir rumit, Karin pun menggeleng pelan, mencoba menepis rasa penasaran di kepalanya. "Ah, sudahlah seperti Mas Tara bilang mungkin ini memang sudah rejekiku. Lebih baik sekarang aku pesan taksi online yang lain."
Karin membuka ponselnya, lalu seketika jantungnya berdebar kencang. Layar ponselnya menampilkan notifikasi panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak dia kenal. "Ini siapa yang nelpon ya? Ada apa ya?"
Matanya tertuju pada pesan yang tertera di layar. Seketika tubuhnya menegang membaca pesan tersebut. "Ya ampun jadi ternyata Mas Tara bukan supir online yang aku pesan. Pantas aku kok ngerasa heran dengan penampilannya dari tadi."
Karin menghela napas, rasa malu dan bingung bercampur aduk. "Tapi kenapa dia enggak bilang apa-apa dari tadi? Malah manut-manut aja pas aku minta antar."
Karin memukul kepalanya berulang kali, dan dia merasa sangat bodoh. "Ya ampun kok bisa salah sangka gini sih? Semoga aku enggak ketemu dia lagi."
Karin terus bergumam berharap tak akan bertemu dengan Tara lagi. Rasa malu begitu menyergap perasaannya. Dia sudah salah menyangka Tara sebagai supir taksi online. Namun, di balik rasa malu itu, terbersit sedikit rasa lega. Pertemuan singkat dengan Tara, walau diwarnai kesalahpahaman, mengurangi sedikit beban kesedihan yang Karin rasakan.
..................
Keesokan harinya, mentari pagi menyapa kediaman Karin dengan hangat. Ibu sudah tampak sibuk di dapur untuk menghidangkan sarapan.
"Rin, gimana pertemuan kamu sama tim WO? Lancar kan? Sudah bayar semua biaya dan uang muka rumah kan?" tanya Bu Puspa saat melihat Karin masuk ke dapur.
Karin menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. Dia belum siap memberitahu kenyataannya, dan terpaksa dia memilih berbohong.
"Iya sudah Bu ... semua lancar kok," jawab Karin berusaha agar suaranya terdengar tenang.
Widuri, adik Karin yang sedang duduk di meja makan, mengangkat wajahnya. "Baguslah kalau Mbak Karin sudah menikah, aku jadi bisa langsung menjalankan pernikahanku dengan Mas Bagas."
"Iya kalau kamu mau nikah sekarang-sekarang juga enggak apa-apa kok," ucap Karin berusaha untuk bersikap biasa.
"Serius nih Mbak?" tanya Widuri dengan mata berbinar.
"Iya Mbak serius, takutnya kalau nunggu Mbak kelamaan," jawab Karin mencari alasan. "Pernikahan Mbak masih beberapa bulan lagi."
"Boleh ya Bu aku nikah duluan? Lagian aku sama Mas Bagas cuma mau nikah sederhana. Kita mau buka usaha dan nyicil rumah Bu," ujar Widuri penuh semangat.
"Enggak boleh, pamali. Kamu enggak boleh melangkahi Mbak-mu Wi," jawab Ibu Puspa tegas sambil menggeleng. "Sabarlah cuma menunggu berapa bulan kok."
"Lah Mbak Karin juga enggak keberatan kok aku nikah duluan," ujar Widuri pelan mencoba membujuk Ibu Puspa.
Ibu Puspa mengangkat sendok panci di tangannya, membuat Widuri terdiam. Karin jadi merasa bersalah kepada keduanya. Dia tak tahu bagaimana reaksi keduanya jika tahu pernikahannya telah batal, dan bagaimana jika keduanya juga tahu kenyataan bahwa Cakra sudah mengkhianatinya.
Ibu Puspa menatap Karin yang sedari tadi berdiri di dekat meja makan. "Kamu kenapa melamun begitu Rin? Apa kamu lagi ada masalah?"
Karin menggeleng lalu segera duduk di kursi. "Enggak ada apa-apa kok Bu. Semua baik-baik aja."
"Syukurlah kalau semua baik. Nanti siang kamu antar Ibu belanja ya. Ada pesanan katering buat besok sore," ujar Ibu Puspa sambil menghidangkan makanan di meja.
"Baik Bu," jawab Karin.
Sesuai permintaan Ibu Puspa saat sarapan, Karin pun pergi menemani sang ibu berbelanja ke pasar tradisional yang tak jauh dari rumah. Namun, sebelum ke pasar, tiba-tiba Ibu Puspa mengajak Karin singgah ke sebuah butik. Karin melihat banyak gaun pengantin modern terpajang di sana. Melihat gaun-gaun cantik itu membuat mata Karin berkaca-kaca, dan hatinya kembali merasa sedih.
"Kita mau apa kesini Bu?" tanya Karin mulai merasa tak enak hati.
"Baju pengantin disini bagus Rin. Kamu pasti cocok pakai yang model seperti itu pas resepsi nanti," jawab Ibu Puspa dengan mata yang berbinar penuh harap.
"Ah, itu ...." Karin terdiam, menelan ludah. Rasa bersalah dan takut bercampur aduk di dadanya. Diantak ingin melihat gaun-gaun pengantin itu. Dia tak ingin membayangkan hari bahagia yang tak akan pernah terwujud.
"Ayo kita masuk!" ajak Ibu Puspa menarik tangan Karin dengan penuh semangat.
"Enggak usah Bu, soal gaun pengantin sudah diurus tim WO kok Bu," jawab Karin berusaha menghindar.
"Oh begitu ya?" Ibu Puspa terlihat sedikit kecewa.
"Iya, lebih baik kita sekarang segera pergi belanja Bu. Takut bahan makanannya keburu habis," kata Karin mencari alasan.
Karin mencoba mengalihkan perhatian ibunya. Dia menggandeng tangan ibunya, lalu mengajaknya beranjak dari depan toko tersebut, tapi tiba-tiba langkah sang ibu terhenti.
"Rin yang didalam itu bukannya Cakra ya?" tanya Ibu Puspa, matanya tertuju ke arah butik.
"Mas Cakra?" Dada Karin bergetar mendengar nama itu disebut.
"Iya itu Cakra dan Ibunya Rin. Mereka juga sepertinya lagi memilih baju pengantin. Kita samperin mereka ya," ujar Ibu Puspa bersemangat sambil berjalan ke arah pintu butik.
"Enggak! Ibu enggak boleh ketemu mereka!" batin Karin sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.