SUN MATEK AJIKU SI JARAN GOYANG, TAK GOYANG ING TENGAH LATAR. UPET-UPETKU LAWE BENANG, PET SABETAKE GUNUNG GUGUR, PET SABETAKE LEMAH BANGKA, PET SABETAKE OMBAK GEDE SIREP, PET SABETAKE ATINE SI Wati BIN Sarno.... terdengar suara mantra dengan sangat sayup didalam sebuah rumah gubuk dikeheningan sebuah malam.
Adjie, seorang pemuda berusia 37 tahun yang terus melajang karena tidak menemukan satu wanita pun yang mau ia ajak menikah karena kemiskinannya merasa paling sial hidup di muka bumi.
Bahkan kerap kali ia mendapat bullyan dari teman sebaya bahkan para paruh baya karena ke jombloannya.
Dibalik itu semua, dalam diam ia menyimpan dendam pada setiap orang yang sudah merendahkannya dan akan membalaskannya pada suatu saat nanti.
Hingga suatu saat nasibnya berubah karena bertemu dengan seseorang yang memurunkan ajian Jaran Goyang dan membuat wanita mana saja yang ia kehendaki bertekuk lutut dan mengejarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah Adjie yang berpetualang dengan banyak wanita...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga belas
Plak...
Sebuah tamparan mendarat dipipi Cintya. Tarno sudah tidak dapat lagi mengontrol emosinya dan puterinya telah mencoreng nama baiknya malam ini, dan ia akan dipermalukan dimasyarakat nantinya.
"Sini, Kamu!" pria paruh baya itu menarik paksa puterinya untuk menjauhi Adjie yang terlihat senyum penuh kemenangan. "Dan Kau, Adjie. Apa salah saya padamu hingga kau membuat hal memalukan seperti ini!" Tarno berusaha untuk tegar, meskipun hatinya sangat hancur.
"Apa salahku? Puterimu sendiiri yang datang padaku dan menyerahkan dirinya. Sebagai lelaki normal, mana mungkin aku membiarkan hidangan yang tersaji nikmat terbiar begitu saja!" jawab Adjie tanpa merasa bersalah. Bahkan tidak ada penyesalan disana.
Orang-orang tercengang mendengar jawaban pria itu. Selama ini Adjie terkenal dengan pria miskin yang kerap kali dikucilkan bahkan , bahkan tak ada satupun wanita yang tertarik padanya, dan malam ini perbuatan Cintya telah mematahkan semuanya.
Wanita muda itu meraung dengan gerakan pemberontakan. Sedangkan Rama hanya menatap dengantubuh membeku, seolah wajahnya telah dilempar kotoran oleh Adjie.
"Bawa Cintya kedalam kamar, kunci dan jangan beri keluar!" titah seorang pria paruh baya yang ada didalam kerumunan.
Tarno yang sudah hilang kesabaran, memberikan tinjunya sekali lagi diwajah Adjie dan orang-orang mencegahnya, lalu membawa masuk Cintya kedalam kamar secara paksa meskipun sang pengantin meronta-ronta ingin melepaskan diri.
"Lepaskan, lepaskan aku, aku ingin bersama kang Adjie." Cintya menggedor pintu kamar dan terus berteriak memanggil nama Adjie.
Malam yang seharusnya syahdu dengan berbulan madu, kini harus diwarnai dengan prahara yang memalukan.
Adjie diseret keluar rumah, lalu diberi bogeman mentah diwajahnya oleh salah satu keluarga yang merasa geram.
Setelah merasa puas memberikan penganiayaan terhadap pria yang sudah dianggap merusak tatanan norma agama, maka Adjie dibiarkan pulang sendiri berjalan kaki sejauh satu kilometer.
Cintya masih terdengar berteriak dan terus memanggil nama Adjie, hingga suara tangisannya melemah karena lelah.
"Rama, sebaiknya kamu jangan emosional dulu. Saya melihat ada yang tidak wajar pada Cintya," pria paruh baya dengan kopiah berwarna merah dari bahan beludru itu tampak bersikap menerawang.
"Apa maksudnya?" tanya Tarno dengan tak sabar.
"Sepertinya Cintya terpengaruh oleh ajian pengasih" pria tampak begitu serius dengan ucapannya.
"Hah! Masa iya Adjie punya ajian seperti itu, kalau iya mana mungkin ia terus jomblo sampai bangkotan begitu!" Sofyan menyela. Ia tidak meyakini dengan ucapan pria tersebut, sebab selama ini ia berteman dengan Adjie dan tidak ada yang aneh dengan pemuda itu.
"Sudahlah! Jangan mengkambing hitamkan Adjie, tapi memang benar Cintya yang murahan dan menyerahkan dirinya sendiri pada pria itu!" salah satu warga tampak jengah, lalu terjadi keributan yang saling tuding dan dengan tafsiran mereka masing-masing.
Sementara itu, Rama yang sudah terlanjur kecewa, berjalan keluar rumah dan meninggalkan kamar pengantin yang seharusnya menjadi saksi janji suci mereka.
Ia mengendarai motornya dengan perasaan yang cukup kalut. Ia membenci Cintya, tetapi jujur hatinya masih sayang.
Namun harga dirinya serasa direndahkan, karena wanita yang dicintainya sudah ternoda.
Rama memilih kembali ke rumah orangtuanya dan ia disambut dengan rasa bingung oleh keluarganya yang melihatnya pulang larut malam.
"Lho, kamu kenapa, Rama? Bukannya kamu harusnya bulan madu?" cecar sang ibunda yang terlihat gusar dengan sikap diam Rama dan masuk nyelonong ke kekamarnya dengan suara pintu yang dibanting dengan keras.
Adjie sudah tiba dirumahnya dengan nafas tersengal dan ia masuk kerimah disambut dengan perasaan khawatir oleh Wati.
Mereka telah menikah sore tadi secara sah dikantor urusan agama.
Meskipun tanpa dihadiri sanak keluarga, tapi bagi Wati hidup berdua dengan Adjie sangatlah membahagiakan. Ia tak ingin lepas dari pria itu, meskipun menyaksikan sendiri bagaimana ia dikhianati didepan matanya, namun untuk marah ia tak sanggup, hatinya seolah terkunci hanya untuk pria tersebut.
"Bagaimana, Kang? Kenapa wajah kamu memar begini?" tanyanya dengan penuh rasa khawatir. Wanita itu bergegas mengambil air hangat ditermos dan membersihkan luka tersebut dengan penuh cinta.
Adjie hanya menjawab dengan senyum tipis, akan tetapi ia merasa sudah sangat puas karena dapat membalaskan dendamnya.
"Tidak apa-apa, Dik. Kamu tidak perlu khawatir," Adjie meyakinkan istri yang baru dinikahinya.
Wati bergelayut manja pada prianya, dan ia sungguh sangat begitu bahagia.
******
Pagi menjelang. Sarni membuka pintu kamar puterinya. Bagaimanapun naluri keibuannya begitu kuat dan tak ingin terjadi sesuatu yang menakutkan.
Saat pintu terbuka. Tampak Cintya dengan wajah pucat sedang menangis sesenggukkan diatas lantai dengan mengatupkan wajahnya diatas kedua lututnya.
"Cintya, makan dulu ya, Nak. Nanti kamu sakit." wanita itu meletakkan sebuah nampan berisi bubur ayam dengan segelas teh panas.
"Cintya gak mau sarapan, Cintya cuma mau bang Adjie," rengeknya dengan tersedu dan pundaknya terguncang menahan sesak didadanya.
Matanya membengkak karena semalaman menangis dan ia tak berselera untuk makan.
Sarni merasakan kekhawatiran yang begitu mendalam dengan kondisi puternya. "Sayang. Jangan buat ibu cemas, makanlah sedikit saja," bujuknya dengan sangat lembut. Ia mengusap ujung kepala puterinya.
Sesaat ia dikejutkan oleh suhu tubuh anak perempuannya yang terasa sangat panas. "Ya Allah, Cintya, kamu panas sekali," pekiknya dengan keras dan suara didengar oleh Tarno yang saat ini masih merasa kesal.
Tarno berlari menghampiri ke kamar untuk melihat apa yang terjadi. "Ada apa, Bu?" tanya dengan nada meninggi.
"Cintya Pak. Cintya demam tinggi," sahut Sarni dengan nada khawatir
Tarno memandang dengan berkacak pinggang. "Biarkan saja, jika perlu sekalian saja mati! Untuk apa memelihara anak yang gak tau diri dan membuat malu saja!"
Sarni yang mendengar jawaban suaminya menjadi tersulut emosi. "Urusan itu jangan dibahas dulu, selamatkan dulu Cintya karena bagaimanapun ia tetaplah puteri kita!" Sarni memanggil saudara yang masih menginap dirumah mereka dan meminta menghubungi petugas kesehatan yang ada didesa ini.
Semarah-marahnya seorang ibu pada anaknya ia tetaplah wanita yang memiliki naluri paling lembut dimuka bumi, maka itu Allah menitipkan rahim pada seorang wanita, sebagai salah satu bukti asmaul husna yang memiliki artian sayang.
"Urus saja sendiri, aku tak perduli!" Tarno masih bersikeras dengan pendiriannya. Ia sudah sangat malu untuk keluar rumah karena peristiwa semalam yang sudah mempermalukan dirinya dan juga keluarga.
Sedangkan Rama hingga saat ini tak juga kunjung kembali, dan ini semakin membuatnya semakin malu dan harga dirinya tercabik.
Tak berselang lama, tiba-tiba Cintya mengalami kejang karena suhu tubuhnya yang terus meningkat dan ia terus saja menyebut nama Adjie dan rasa kerinduan dihatinya membuat ia tidak menyadari dengan apa yang sedang dialaminya.
pindah judul nya dg bab cerita yg nanggung dan gantung