Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wajah yang Terbakar
Ruby duduk di tepi tempat tidur, jemarinya menggenggam erat ujung gaunnya. Kepalanya penuh dengan kekhawatiran yang berputar-putar tanpa henti.
Ketika Dominic memberitahunya bahwa kedua orang tuanya telah diselamatkan, dia merasa lega untuk sesaat. Namun, begitu mendengar bahwa mereka kini berada di rumah sakit dalam kondisi belum sadar, rasa lega itu berubah menjadi kegelisahan yang mencekam.
"Aku tidak bisa berada di mansion saja. Aku ingin ke rumah sakit," gumam Ruby.
Ruby lalu berjalan keluar dari kamarnya. Dia mendekati salah satu pelayan.
"Panggil sopir," ujarnya kepada pelayan itu. Suaranya tegas, meskipun ada gemetar samar.
"Nyonya. Ruby, malam sudah larut. Bukankah lebih baik Anda beristirahat dahulu?" tanya pelayan itu dengan hati-hati.
Ruby menatapnya dengan mata yang penuh tekad. "Aku tidak peduli. Aku harus melihat mereka sekarang."
Pelayan itu mengangguk, tidak berani membantah, lalu segera memanggil sopir.
Setelah mobil siap, Ruby segera masuk ke dalam mobil. Beberapa bodyguard mengawal dari belakang.
Mobil hitam yang membawa Ruby melaju di jalanan malam yang sunyi. Ruby duduk di kursi belakang, menggenggam tasnya erat-erat.
Setiap detik terasa seperti selamanya, sementara pikirannya terus membayangkan keadaan orang tuanya. Bagaimana mereka disiksa? Apakah mereka menderita? Dan bagaimana jika mereka tidak pernah bangun lagi?
Ruby menghela nafasnya. "Semoga mereka baik-baik saja."
**
Ketika mobil berhenti di depan rumah sakit, Ruby segera turun tanpa menunggu sopir membukakan pintu. Langkahnya cepat, hampir tergesa-gesa, menuju pintu masuk.
"Nyonya, hati-hati!" teriak sopir itu. Namun, Ruby yang sudah jauh, tidak mendengarnya lagi.
Ruby segera menelpon Dominic dan menanyakan di mana keberadaannya. Tentu Dominic langsung marah karena Ruby datang ke rumah sakit larut malam seperti itu.
"Jangan berdebat sekarang, Dom. Aku hanya ingin melihat kedua orang tuaku!"
"Kau bisa menunggu sampai besok pagi, Ruby!" Suara Dominic masih terdengar jengkel.
"Tapi aku sudah tiba di rumah sakit yang kau katakan. Sekarang aku berada di koridor," ucap Ruby penuh penekanan.
"Tetap di tempatmu berdiri, aku akan ke sana!" balas Dominic.
Ruby hanya mengiyakan. Setelah sambungan telepon terputus, dia segera menyimpan ponsel ke dalam tas dan menunggu Dominic tiba di sana.
**
Di dalam ruangan perawatan intensif, Ruby berdiri mematung di pintu, menatap kedua orang tuanya yang terbaring lemah di atas ranjang. Tubuh mereka penuh dengan luka lebam, dan wajah mereka pucat seperti tidak ada darah yang mengalir. Ada alat bantu pernapasan yang terpasang di wajah ayahnya, sementara ibunya dikelilingi oleh berbagai peralatan medis.
Ruby merasa kakinya lemas, tetapi dia memaksa dirinya melangkah masuk. Dengan hati-hati, dia mendekati ranjang ibunya, duduk di kursi kecil di sampingnya.
"Ibu..." bisiknya, air mata mulai mengalir di pipinya. Jemarinya menyentuh tangan ibunya yang dingin. "Aku di sini sekarang. Aku minta maaf... Aku tidak bisa menyelamatkan kalian lebih cepat. Aku bahkan berpikir kalian meninggalkan aku."
Dia beralih ke ayahnya yang terbaring di sisi lain ruangan. Melihat kondisi pria yang selalu ia anggap sebagai pelindung itu begitu rapuh, membuat hatinya terasa hancur.
"Mereka akan pulih," suara berat Dominic terdengar dari pintu, membuat Ruby menoleh.
Pria itu berdiri di sana, wajahnya dingin seperti biasa, tetapi ada kehangatan samar di matanya. Dominic melangkah masuk, mendekati Ruby dengan langkah tenang.
"Dokter mengatakan mereka hanya butuh waktu. Luka fisik mereka tidak terlalu parah, tapi trauma psikologisnya mungkin akan bertahan lebih lama," kata Dominic, suaranya pelan tetapi tegas.
Ruby menggelengkan kepala, air matanya masih mengalir. "Mereka tidak pantas mengalami ini. Semua ini karena aku. Kalau aku bekerja sama dengan Paul, mereka mungkin tidak akan terluka seperti ini."
Dominic berlutut di hadapan Ruby, tangannya meraih jemari istrinya yang dingin. "Jangan salahkan dirimu. Orang-orang seperti Paul akan terus menyakiti siapa pun, tidak peduli apa yang kau lakukan. Ini bukan salahmu. Dan apa kau tega meracuni suamimu sendiri?"
Ruby menggeleng. "Aku juga tidak mau meracunimu. Tapi tetap saja semua ini salahku."
"Semua ini bukan salahmu," ucap Dominic lirih.
Ruby menatap Dominic, matanya dipenuhi rasa bersalah yang mendalam. "Kau bilang itu bukan salahku, tapi tetap saja... Aku tidak bisa menghentikan rasa ini."
Dominic tidak menjawab. Dia hanya menggenggam tangan Ruby lebih erat, memberikan kehangatan yang tidak ia tunjukkan dengan kata-kata.
Waktu berlalu dalam keheningan. Ruby tidak mau meninggalkan ruangan itu meskipun Dominic memintanya untuk beristirahat. Dia tetap duduk di samping tempat tidur ibunya, memegangi tangan wanita itu dengan penuh harapan.
Saat matahari akan terbit, Dominic berdiri di dekat jendela, memandang lampu kota yang masih menyala, berkelap-kelip di kejauhan. Di pikirannya, dia tahu ini belum berakhir.
Meskipun Paul sudah tidak ada, keluarga Larsen masih menyisakan ancaman. Dominic harus memastikan tidak ada satu pun bahaya yang mendekati Ruby atau keluarganya lagi.
Dominic berbalik dan menatap Ruby. "Ruby," katanya, memecah keheningan.
Ruby menoleh, wajahnya lelah tetapi tetap bersinar dengan kekuatan tekadnya.
"Aku berjanji, ini tidak akan terjadi lagi. Aku akan memastikan semua orang yang berani menyentuhmu atau keluargamu akan membayar mahal."
Ruby mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya, dia tahu tidak ada janji yang bisa menjamin keamanan sepenuhnya. Namun, satu hal yang ia yakini adalah bahwa Dominic, dengan segala cara dinginnya, akan melakukan segalanya untuk melindungi mereka.
Dominic mendekat dan memeluk Ruby dari belakang. "Kau tidak mual pagi ini?"
"Tidak, aku juga baru menyadarinya," jawab Ruby, disertai kekehan kecil.
Dominic mengusap perut Ruby. "Dia tahu kau sedang sedih, jadi belum ingin mual."
"Memangnya bisa begitu?" tanya Ruby penasaran.
Dominic tersenyum lebar. "Mungkin bisa."
Keduanya lalu tertawa bersama, saling bercanda di ruangan yang hening itu.
**
Sementara itu di rumah sakit lain..
"Aku tidak mau seperti ini! Wajahku, kenapa wajahku bisa terbakar!?" Wanita itu histeris saat menatap cermin kecil yang diberikan padanya.
"Kita bisa melakukan operasi pada wajahmu," kata salah satu dokter di sana.
"Lakukan apapun untukku, aku tidak mau wajahku begini! Aku ingin kembali cantik seperti dulu!!"
Dokter itu mengangguk. "Tenang saja, kau tidak akan selamanya seperti ini."
...****************...
baru kali ni aku julid di lapak Cici /Grin//Grin/ maafkan aku yaa author kesayangan 😘