Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 20 ( Hangat nya Meja Makan )
Sasa yang baru sampai di dapur mendengar langkah cepat Clara dan Andin menyusul dari belakang. Mereka berdua membawa senyum cerah yang sedikit menggoda, seperti sudah menyiapkan sesuatu untuk digoda lagi.
“Jadi gimana tuh tadi di ruang tengah? Nyaman banget, ya? Sampai nggak sadar kita datang,” Clara memulai, menyenggol Sasa dengan sikutnya.
Sasa mendesah, mencoba menyembunyikan rasa malunya. “Udah, deh, kalian jangan mulai. Mending bantuin aku cari sesuatu buat dimakan.”
Andin terkekeh sambil mengikat rambutnya jadi cepol santai. “Nggak bisa, nih. Sebelum bantu, kita mau bersih-bersih dulu. Tadi di jalan udah kayak sauna, nggak tahan rasanya.”
Clara langsung mengangguk setuju. “Iya, Sasa. Ika bersih-bersih dulu, ya? Habis itu baru kita bantu. Janji!” katanya sambil bergegas kembali ke ruang tengah untuk mengambil barang-barangnya.
Sasa hanya menggeleng pelan. “Ya udah, sana bersih-bersih dulu. Tapi cepat, jangan kelamaan!”
Andin tertawa sambil merapikan bajunya. “Santai, kok. Nanti aku yang bantu potong-potong bahan, tenang aja.”
Clara yang sudah kembali dengan tasnya melambai ke arah Sasa sebelum pergi ke kamar mandi. “Jangan curi start masak, loh! Tunggu kami!” serunya, membuat Sasa tersenyum tipis.
“Denger tuh, tunggu mereka,” suara Algar tiba-tiba terdengar dari pintu dapur. Ia bersandar di kusen pintu dengan cangkir kopinya yang sudah hampir kosong. Tatapannya santai, tapi senyumnya masih lekat, seperti menikmati suasana yang semakin ramai.
“Kenapa, al? Mau bantu juga?” tantang Sasa dengan nada main-main.
Algar mengangkat bahu, melangkah masuk ke dapur. “Kalau aku bantu, takutnya masakan kita jadi bencana.”
Sasa mendengus. “Ya udah, duduk aja sana. Jangan ganggu.”
Sementara Clara dan Andin sibuk membersihkan diri, Sasa mulai mengumpulkan bahan makanan yang ada di dapur. Algar tetap di sana, meski tidak berbuat banyak, hanya berdiri sambil mengamati Sasa bekerja.
“Serius, gue beneran nggak bisa masak,” kata Algar, memecah keheningan kecil di antara mereka. “Tapi kalau bantu cicip, itu gue ahlinya.”
Sasa meliriknya dengan alis terangkat. “Iya, ya? Ahli cicip atau ahli minta tambah?”
Mereka berdua tertawa pelan, suasana kembali terasa hangat meski dengan riuhnya teman-teman di ruang tengah. Sasa merasa tak sabar untuk melihat apa yang akan terjadi saat Clara dan Andin kembali, tapi ia juga tak bisa mengabaikan bahwa keberadaan Algar bahkan tanpa melakukan apa-apa membuatnya merasa lebih ringan.
“Kita liat aja nanti. Kalau masakan lo enak, gue nggak janji cuma cicip,” tambah Algar, menyelesaikan kopinya sebelum beranjak ke ruang tengah, meninggalkan Sasa yang hanya menghela napas dan tersenyum kecil.
Setelah hampir satu jam berperang di dapur, Meja makan itu kini penuh dengan hidangan sederhana namun menggoda. Nasi putih hangat, ayam goreng bumbu kecokelatan, sayur bening, serta sepiring besar sambal dan lalapan segar tertata rapi. Aroma yang mengepul dari makanan itu memenuhi ruangan, membuat perut siapa pun yang ada di sana bergejolak. Sasa, Clara, dan Andin berdiri di sisi meja, memperhatikan hasil kerja mereka dengan puas.
“Wah, gila sih, ini aromanya,” Aldrin menjadi yang pertama mendekat, mengendus-endus sambil menggosok perutnya. “Tinggal bau aja udah bikin kenyang, gimana makannya?”
Radit, yang datang menyusul, langsung menarik kursi. “Ayo duduk, duduk! Udah lapar banget gue!” serunya.
Algar, yang sebelumnya santai di sofa, ikut bergabung. “Jangan-jangan ini masakan rahasia keluarga, ya?” candanya sambil menarik kursi di sebelah Sasa.
Andin tertawa kecil. “Nggak ada rahasia apa-apa. Ini cuma hasil kerja tim, ya kan, Sa?” katanya sambil melirik Sasa.
Sasa hanya tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Iya, bener. Tapi kalau nggak enak, kalian jangan protes, ya.”
“Udah keburu lapar, mana ada waktu buat protes,” sahut Awan sambil menjatuhkan diri di kursi. “Yang penting, makan!”
Dalam sekejap, semua kursi di meja makan terisi. Piring-piring mulai diisi dengan nasi dan lauk, sendok serta garpu bersahutan mengisi keheningan awal. Hanya suara makanan yang berpindah ke piring dan beberapa gumaman puas yang terdengar.
“Eh, sambalnya enak banget, siapa yang bikin?” tanya Radit , memecah suasana. Ia mengangkat jempol ke arah Sasa, yang hanya mengangkat bahu santai.
“Itu Sasa. Dia ahli sambal,” jawab Andin dengan senyuman menggoda.
Radit menoleh, matanya menyipit penuh arti. “Oh, pantesan Algar makan sambalnya banyak banget. Lagi cari perhatian, ya, al?”
Sontak semua mata tertuju ke Algar, yang sedang asyik mengunyah. Ia mendongak, terbatuk kecil karena pertanyaan itu. “Eh, nggak kok. Sambalnya enak aja,” jawabnya dengan nada biasa, tapi pipinya terlihat sedikit memerah.
Sasa pura-pura tidak mendengar dan malah sibuk menyendok sayur ke piringnya. Namun, ia tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya.
“Gue bilang juga apa, drama lagi,” gumam Aldrin sambil terkekeh, membuat semua orang tertawa kecil.
Obrolan ringan terus berlanjut di meja makan. Dari komentar soal rasa ayam goreng yang pas di lidah hingga rencana mereka setelah makan malam ini. Gelak tawa sesekali memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.
“Serius deh, masakan kayak gini tuh bikin liburan makin sempurna,” kata Awan, menepuk perutnya yang sudah hampir penuh. “Kayaknya gue nggak bakal lupa momen ini.”
“Gue juga,” tambah Clara, sambil tersenyum ke arah Sasa dan Andin. “apalagi saat kita masak.”
Sasa mengangguk kecil, merasa puas dengan hasil kerjanya. Di tengah kehangatan itu, ia menyadari betapa indahnya berbagi momen sederhana seperti ini—bersama teman-teman yang, meski penuh godaan dan canda, selalu berhasil membuatnya merasa tidak sendirian.