"Dewa Penghancur"
Kisah ini bermula dari seorang pemuda bernama Zhi Hao, yang sepanjang hidupnya selalu menjadi korban penghinaan dan pelecehan. Hidup di pinggiran masyarakat, Zhi Hao dianggap rendah—baik oleh keluarganya sendiri, lingkungan, maupun rekan-rekan sejawat. Setiap harinya, ia menanggung perlakuan kasar dan direndahkan hingga tubuh dan jiwanya lelah. Semua impian dan harga dirinya hancur, meninggalkan kehampaan mendalam.
Namun, dalam keputusasaan itu, lahir tekad baru. Bukan lagi untuk bertahan atau mencari penerimaan, melainkan untuk membalas dendam dan menghancurkan siapa saja yang pernah merendahkannya. Zhi Hao bertekad meninggalkan semua ketidakberdayaannya dan bersumpah: ia tak akan lagi menjadi orang terhina. Dalam pencarian kekuatan ini, ia menemukan cara untuk mengubah dirinya—tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam jiwa dan sikap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jajajuba, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Sebuah Kalung & Harimau Api
Zhi Sao menggeleng pelan. "Bukan begitu, Nak. Hanya saja, kamu tidak akan berkembang jika hanya berada di Kota kecil ini. Aku ingin kamu pergi ke sekte untuk berlatih."
Zhi Hao terdiam. Sekte... Kata itu selalu diiringi aura mistis dan misterius. Ia pernah mendengar cerita-cerita tentang sekte-sekte yang memiliki kekuatan luar biasa, tempat para pejuang muda mengasah kemampuan mereka hingga mencapai puncak kesempurnaan. Namun, ia juga tahu bahwa dunia sekte penuh dengan bahaya dan intrik.
"Sekte? Aku akan memikirkannya, Ayah!" jawab Zhi Hao, suaranya terdengar ragu.
Zhi Sao mengangguk, matanya berbinar. "Kau sudah tahu sebenarnya bahwa aku bukanlah Ayah Kandungmu. Tapi kamu tetaplah Putraku. Lupakan perselisihan kita di masa lalu."
Zhi Hao tertegun. Ia memang tahu bahwa Zhi Sao bukanlah ayah kandungnya.
"Aku tidak pernah menganggap adanya perselisihan, Ayah. Aku tahu bahwa Ayah selalu melindungiku dalam diam, walau terlihat cuek di permukaan," kata Zhi Hao, suaranya penuh ketulusan.
Zhi Sao tersenyum tipis. "Benda ini adalah peninggalan ibumu. Aku mengembalikan padamu." Ia mengeluarkan sebuah kalung dari balik jubahnya. Kalung itu terbuat dari batu giok hijau tua, berukir dengan simbol naga yang tampak hidup.
Zhi Hao terkesima. Ia merasakan aura kuat terpancar dari kalung itu, seperti aliran energi yang mengalir melalui tubuhnya. "Ini..."
*
Langit mulai memerah saat senja merayap di kaki pegunungan yang sunyi. Kereta kuda berhias lambang keluarga Rong berderit pelan di jalan berbatu, melaju dengan ritme tenang. Di dalamnya, seorang gadis cantik dengan rambut hitam panjang dan mata tajam seperti obsidian duduk sambil membaca gulungan kitab kuno. Dia adalah Rong An, Nona muda Klan Rong yang terkenal di wilayah itu.
Di depan, Elder Hang, pria tua berjubah abu-abu dengan pedang di pinggang, mengawasi sekeliling dengan tatapan penuh kewaspadaan. Empat penjaga lainnya, masing-masing di Ranah Bumi bintang Dua, mengapit kereta dengan senjata siap di tangan.
Tiba-tiba, suara raungan menggema dari kejauhan, memecah keheningan.
Rong An mengangkat pandangannya dari gulungan. "Tetua, apakah kau mendengar suara itu?"
Elder Hang melirik ke arah hutan lebat di depan mereka. Matanya menyipit, dan wajahnya menegang. "Bukan hanya mendengar, Nona. Mereka sudah ada di depan kita. Jaraknya tidak lebih dari seratus meter."
Dari balik pepohonan, tiga sosok besar muncul. Tubuh mereka yang kekar diliputi bulu merah menyala seperti api, dengan mata keemasan bersinar tajam. Harimau Api.
Para penjaga langsung bersiaga. "Tetua! Mereka menuju ke arah kita!"
Elder Hang mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti. "Bersiaplah! Lindungi Nona Rong dengan nyawa kalian!"
Kereta berhenti mendadak. Salah satu penjaga memasang panah berujung perak, sementara yang lain membentuk formasi defensif di depan kereta. Rong An menyibak tirai dan melihat ke luar.
"Tetua Hang, jika aku tetap di dalam, kita akan lebih mudah diserang. Aku harus keluar untuk memahami situasinya."
Elder Hang menggeleng tegas. "Nona, keselamatan Anda adalah prioritas utama. Biarkan kami yang menghadapinya."
Namun, Rong An turun dari kereta, mengabaikan peringatan itu. Matanya memancarkan ketenangan sekaligus ketegasan. "Jika aku tidak melihat apa yang menyerang kita, aku tak bisa mengambil keputusan yang tepat. Lagipula, aku tidak selemah yang kalian kira."
Elder Hang tertegun sejenak, lalu mengangguk dengan enggan. "Baiklah, tapi tetaplah di dekatku. Jangan bertindak ceroboh."
Harimau Api menggeram, api menyembur dari moncong mereka, membakar tanah di depan.
Salah satu penjaga berteriak, "Mereka akan menyerang!"
"Formasi Batu Karang!" perintah Elder Hang. Para penjaga segera berbaris membentuk perisai manusia, memfokuskan energi untuk menahan gelombang serangan pertama.
Rong An mengangkat tangannya. Sebuah medali berukir rune kuno melayang di atas telapak tangannya. Cahaya biru memancar dari benda itu, membentuk lingkaran pelindung di sekitar mereka.
"Saya akan menahan api mereka," katanya tegas. "Kalian fokus menyerang titik lemahnya—di bawah perut mereka."
Elder Hang dan penjaga lainnya terkejut sejenak. "Baik, Nona!"
Salah satu Harimau Api melompat ke arah mereka, cakarnya menyala. Rong An dengan cepat mengaktifkan rune-nya, menciptakan penghalang energi yang memantulkan serangan itu, membuat harimau itu terhuyung mundur.
"Serang sekarang!" teriak Rong An.
Salah satu penjaga meluncurkan panah perak yang tepat mengenai perut harimau tersebut. Raungan keras memenuhi udara saat binatang itu roboh, tetapi dua lainnya semakin marah, api di tubuh mereka semakin berkobar.
Elder Hang menyerbu maju, mengayunkan pedangnya yang berlapis energi. "Jangan biarkan mereka mendekat lagi!"
Rong An tetap fokus mengendalikan rune-nya, menjaga perisai tetap aktif.
Swoosh!
Pedang Elder Hang berkilauan saat mengayun ke depan, energi kuat yang disalurkannya memancar seperti kilat, menciptakan gelombang cahaya yang memotong udara dengan kecepatan buas.
Beng!
Serangan itu menghantam salah satu Harimau Api, membuatnya terhuyung mundur sejenak.
Namun, binatang buas itu tak menyerah. Dengan auman menggelegar, bola api raksasa mulai terbentuk di mulutnya, menyala terang seperti matahari kecil.
Swoosh!
Dalam sekejap, bola itu ditembakkan dengan kecepatan luar biasa, melesat ke arah kelompok mereka bagaikan proyektil yang dilontarkan dari ketapel besar.
Sementara itu, salah satu Harimau Api lainnya mengambil kesempatan. Tubuhnya yang kekar meliuk lincah, memanfaatkan bebatuan di sekitarnya untuk memantul. Dengan cakar yang menyala, ia melompat tinggi, menerkam ke arah kelompok dengan kekuatan destruktif.
Dua serangan datang dari arah berbeda—bola api dari depan, dan cakaran maut dari kanan.
Elder Hang segera menyadari bahwa ia tak dapat menahan keduanya. "Aku akan mengurus bola api ini! Kalian urus sisi kanan!" teriaknya, berusaha memotong bola api dengan gelombang energinya.
Empat pengawal Ranah Bumi bintang dua langsung bergerak. Dua di antaranya maju ke depan, menghadang cakar Harimau Api yang meluncur dari sisi kanan. Salah satu dari mereka menggunakan perisai energi untuk menahan cakaran, sementara yang lain melancarkan tebasan horizontal, memaksa binatang itu untuk mundur.
Dua pengawal lainnya bergerak cepat, mengapit dari dua sisi. Mereka fokus menyerang titik lemah Harimau Api—perutnya. Dengan gerakan terlatih, salah satu dari mereka meluncurkan tombaknya tepat ke bawah perut, sementara pengawal lainnya menggunakan bilah pendek berenergi untuk menebas sisi tubuh binatang itu.
Raungan kesakitan terdengar saat darah berwarna oranye—campuran energi api—muncrat dari luka mereka. Namun, meskipun terluka, Harimau Api tetap menunjukkan ketahanan luar biasa. Mereka semakin mengamuk, membuat api di tubuh mereka berkobar lebih dahsyat.
Elder Hang, meski berhasil memotong bola api menjadi serpihan, mulai merasakan tekanan. "Kalian harus menyelesaikannya secepat mungkin! Mereka terlalu kuat jika dibiarkan berkumpul!" teriaknya sambil mempersiapkan serangan berikutnya.
Saat Elder Hang berteriak memberi perintah, ia sempat melirik ke sisi kanan untuk memastikan pengawal lainnya dapat mengatasi serangan. Namun, dalam sekejap, auman liar terdengar di belakangnya. Harimau Api yang ia hadapi sudah melompat mendekat, cakar menyala siap menghantam dengan kekuatan mematikan.