Permainan anak kecil yang berujung menjadi malapetaka bagi semua murid kelas 12 Ips 4 SMA Negeri Bhina Bhakti.
Seiring laporan dari beberapa orang tua murid mengenai anaknya yang sudah berhari-hari tidak pulang ke rumah. Polisi dan tim forensik langsung bergegas untuk mencari tahu, tidak ada jejak sama sekali mengenai menghilangnya para murid kelas 12 yang berjumlah 32 siswa itu.
Hingga dua minggu setelah laporan menghilangnya mereka tersebar, tim investigasi mendapat clue mengenai menghilangnya para siswa itu.
"Sstt... jangan katakan tidak jika kamu ingin hidup, dan ikuti saja perintah Simon."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cakefavo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Manusia Itu Adalah Monster Yang Paling Mengerikan
Hari ke 30 bekerja sebagai guru
"Pak Riki, seharusnya anda tidak menuntut mereka, mereka masih anak kecil, mereka masih perlu di bimbing. Jangan mempeributkannya, ya? saya sudah banyak pekerjaan dan anda jangan membebani saya dengan hal yang lain, wajar saja mereka seperti itu karena masih masa-masanya. Dengan pertemuan orang tua saja bukankah cukup? mereka bisa menghapus postingan itu, ayo anak-anak hapus postingannya agar semuanya selesai."
Mason dan juga San tersenyum licik, San kemudian mengeluarkan ponselnya dan segera menghapus postingan negatif yang membawa nama Riki itu, setelah selesai menghapusnya, dia menunjukannya tepat di depan wajah Riki, lalu setelah itu dia beranjak pergi meninggalkan ruangan kepala sekolah.
"Anda tidak perlu memasukannya ke dalam hati, mereka memang seperti itu. Lagipula sangat sepadan dengan gaji yang anda terima, bukan?"
Diam-diam Riki mengangguk pelan, tangannya terkepal erat saat dia mencoba untuk menahan emosinya sendiri.
Suara kapur yang saling beradu di papan tulis dapat terdengar di setiap sudut ruangan kelas yang terlihat sepi, semua murid tidak terlalu memperhatikan pelajaran dan memilih untuk tidur di kelas. Riki berbalik saat merasakan sebuah gulungan kertas terlempar ke arahnya dan mengenai punggungnya, dia melihat satu per satu siswa yang sedang tertidur, ada beberapa siswa yang memperhatikannya dengan serius dan ada juga yang sengaja mempermainkannya.
"Sorry pak, saya mau lempar ke Alifa." seru Hannah lalu tertawa pelan, yang lainnya ikut tertawa bersamanya.
Riki terdiam, pandangannya beralih kepada Michael, Denzzel, Kanin, Chaiden dan juga Vino yang sedang memperhatikan pelajarannya. Dia pun membungkuk untuk mengambil gulungan kertas yang di lemparkan oleh Hannah tadi lalu membukanya, helaan nafas keluar dari bibirnya saat melihat gambaran dirinya yang dibuat 'gendut' dan menyeramkan seperti monster, Riki pun merobek kertas tersebut dan kemudian membuangnya ke tong sampah.
"Tolong hargai saya di kelas ini," katanya.
San tertawa pelan, dia menepuk pelan pundak Rean yang duduk di sampingnya. "Saya menghargai kelas bapak, hanya saja lucu sekali melihat gambar yang di buat oleh Eric itu," ucapnya.
"Guys-"
"Napa sih lu? lagian seru juga." San memotong ucapan Axel, dia masih tertawa, Rean dan para antek-anteknya ikut tertawa, terutama Eric dan Joshua.
Chaiden memutar matanya dan tetap fokus kepada papan tulis yang ada di depannya, dia menyalin setiap kata yang ada di depan papan tulis itu ke bukunya sendiri. Sedangkan, Denzzel hanya menggeleng sambil mendengarkan setiap candaan San dan teman-temannya yang menurutnya sudah kelewat batas itu.
Bryan, kakak laki-laki dari Riki. Usianya hanya berjarak 5 tahun dengannya, perlahan dia membuka pintu ruangan rahasia sang adik lalu memasukinya, dengan setelan jas serba hitam dan tongkat yang selalu dia bawa kemana-mana, dia memperhatikan seluruh ruangan itu, beberapa peralatan yang terlihat asing terpajang di lemari kayu bewarna putih, Bryan kemudian mengitari lemari itu. Langkahnya terhenti saat dia melihat sebuah kertas dengan tulisan tangan sang adik, karena penasaran dia pun akhirnya membacanya.
Manusia adalah monster yang menakutkan, mereka selalu menganggap ku remeh, mereka melecehkan ku secara verbal. Saat aku ingin keadilan, mereka dengan mudahnya menyuap, tentu saja aku akan kalah dari mereka. Tetapi itu tidak membuatku menyerah, aku telah menciptakan teknologi perekam mimpi. Jika aku tidak bisa membalas mereka di kehidupan nyata, aku ingin menggunakan alat-alat itu untuk menjadikan sarana balas dendamku, teknologi ini aku menggunakannya menggunakan antarmuka canggih yang terhubung langsung dengan otak manusia. Dengan sensor elektroensefalografi atau EEG yang akan aku pakaikan di kepala manusia, perangkat ini mampu membaca dan memetakan aktivitas otak selama fase tidur REM (Rapid Eye Movement) dimana sebagian mimpi terjadi. Sinyal otak yang terbaca kemudian di terjemahkan oleh algoritma kecerdasan buatan yang canggih, menciptakan representasi visual dari apa yang ada dalam pikiran manusia yang akan aku jadikan uji coba selama mereka tertidur, teknologi ini menggunakan kombinasi visualisasi 3D dan elemen AI untuk menghasilkan rekaman visual yang mendekati pengalaman sebenarnya dari mimpi itu, jadi walaupun mereka tertidur, semua penderitaan mereka akan terasa sangat nyata.
Bryan terdiam, melepaskan kacamata tebalnya lalu menghela nafas, dia harus mewujudkan keinginan adiknya itu, apapun yang akan terjadi di masa depan, mereka harus membayar nyawa dengan nyawa, maka dari itu dia pun akhirnya belajar dengan giat mengenai teknologi yang di buat sendiri oleh Riki, adiknya.
Satu bulan kemudian, Michael mendapat kabar dari teman-teman sekelasnya jika mereka akan menginap di Vila milik Yaksa, karena Denzzel terus memaksanya untuk ikut, mau tidak mau dia pun ikut.
Saat dia sampai di depan Vila, suasananya terlihat nyaman dengan pepohonan hijau yang terbentang, tidak jauh dari Vila terdapat danau yang lumayan cukup luas, di samping danau itu terdapat pohon beringin yang besar. Saat mereka sedang berkumpul di depan Vila sambil mengelilingi api unggun, Jejen, Samuel dan juga Nizan datang dan ikut berkumpul dengan yang lainnya.
"Wow, lu bawa apa itu?" tanya Wendy sambil mendekati Samuel yang sedang membawa kardus besar di kedua tangannya.
"Gue liat ini di depan pintu Vila, kayaknya dari nyokapnya si Yaksa, nih cobain dah, pasti nyokapnya beliin atau bikinin biskuit ini secara khusus buat kita."
Livy dan Natasha segera mengambil biskuit itu, mereka saling memperebutkannya karena takut jika tidak akan kebagian, Denzzel tersenyum kepada Michael dan kembali duduk di sampingnya sambil memberikannya satu biskuit.
Yaksa yang menerima biskuit dari Haikal mengerutkan keningnya, yang dia tahu jika ibunya sedang berada di luar negeri, tetapi mengapa dia mengirimkan biskuit ini? padahal dia pun tidak memberitahukan mengenai teman-teman sekelasnya yang akan menginap di Vila, tetapi beberapa detik kemudian dia segera menyingkirkan pertanyaan itu dan langsung memakan biskuitnya.
"Enak anjir," kata Joshua.
"Nyokap lu ternyata bisa buat biskuit seenak ini, Sa?" tanya Eric tetapi di abaikan olehnya.
"Kenapa gak lu jual aja si, gue pasti sering beli biskuit nyokap lu." kata Alin sambil terus memakan biskuitnya.
"Gue juga," imbuh Naira.
Mereka pun kembali berbincang-bincang santai, membahas persoalan kehidupan sekolah mereka dan ujian yang akan mereka hadapi bulan depan.
Tetapi, tiba-tiba saja kepala mereka terasa berat, satu per satu mereka tertidur dan jatuh ke tanah. Ya... obat itu bekerja dengan sangat cepat, Bryan dan beberapa anak buahnya keluar dari persembunyiannya dan segera mendekati anak-anak yang sedang tertidur itu, lalu Bryan pun segera memberi isyarat kepada anak buahnya untuk membawa mereka ke mobil yang sudah dia siapkan.
Bryan tersenyum, berjalan pelan sambil memperhatikan anak-anak yang sudah berbaring di ranjang dengan peralatan yang di buat oleh adiknya yang di pasang di kepala mereka masing-masing, selama beberapa minggu belakang ini, dia berhasil meretas ponsel salah satu dari mereka, yang tidak lain adalah ponsel milik Reygan.
"Selamat untuk merasakan penderitaan yang di alami oleh adikku juga, kalian akan merasakan rasa sakit itu, sama seperti yang di rasakan oleh adikku."