Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Alina Mu'tasimah•
Liam menghela napas berat, tangannya memijat pelipis.
"Bagus! kemarin kau membuat ulah merusak pasar sayuran dengan genk motor sialanmu itu, terus apalagi sekarang? kau senang sekali berusan dengan Polisi, Evan!"
"Bukan itu, Kak! Aku nggak sengaja nabrak nenek-nenek pas lagi naik sepeda. Dia jatuh dan tangannya retak!"
"Astaga..." Liam memejamkan mata, mencoba menahan rasa kesal.
"Aku serius, Kak! Aku cuma lagi gowes santai, tapi tiba-tiba nenek itu keluar dari gang. Aku nggak sempat ngerem. Orang-orang langsung bawa aku ke kantor polisi..." Evan semakin tak karuan menjelaskan.
"Nenek itu galak banget, Kak. Dia nyuruh polisi nahan aku, terus bilang kalau aku kriminal!" lanjutnya penuh kecemasan.
"Dan kau merasa kau bukan kriminal setelah merusak pasar sayuran kemarin?"
"Bukan begitu, Kak!" Liam berusaha menyangkal.
"Kak, Kalau Kakak tidak cepat datang, aku beneran bakal dipenjara. Mereka tadi bahkan tanya aku mau pesan makanan apa buat makan malam di sel!"
Liam mengusap wajahnya, kasar. Dia sudah bolak balik ke kantor polisi untuk memberi keterangan- keterangan lebih lanjut tentang kasusnya, sekarang adiknya malah ikut ikutan terkena skandal.
Ada saja kelakuan yang membuatnya berusan dengan polisi sejak bergabung dengan genk motor, dan lagi lagi Liam lah yang harus pasang badan untuk adiknya.
"Bocah sialan, kau selalu saja mengganggu kesenanganku! Memangnya Mamah, Papah kemana?"
"Gak tahu, mereka susah di hubungin. Kak Liam cepat kesini, Kak, aku sudah tidak betah lama lama di sini, please..." Evan meratap, suaranya mendadak melemah.
Liam mendesah berat. Adiknya sudah berusia 19 tahun tapi bibit-bibit kedewasaan belum tumbuh juga.
"Kau itu sudah berbulu masih saja merepotkan orang tua, tunggu disitu! jangan lakukan apapun!"
"I-Iya, Kak!"
Dengan kesal, Liam mengenakan pakaian kasual yang tetap terlihat rapi dan formal. Ia menatap dirinya di cermin sekilas, lalu berjalan keluar kamar. Namun, langkahnya terhenti ketika suara lembut Alina memanggilnya dari belakang.
"Liam..."
Liam menoleh, dan pandangannya langsung tertuju pada sosok istrinya. Alina berdiri anggun di depan pintu, mengenakan cadar merah muda yang kontras dengan kulit kuning langsatnya. Tangannya memegang tas kecil, tampak sederhana, namun keanggunannya begitu memikat.
Liam tertegun, matanya menelusuri sosok Alina dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kilasan tubuh polos Alina yang tadi ia lihat di layar monitor kembali memenuhi pikirannya, membuatnya menelan ludah.
"A-Alina?" suaranya sedikit bergetar dan gugup.
"Kau mau kemana?" tanya Alina lembut.
"Ke kantor polisi," jawab Liam singkat.
Alina mengerutkan kening.
"Untuk menjenguk tersangka?" Tersangka yang dimaksudnya adalah orang-orang yang pernah menjebak Liam dalam kasus manipulasi saham yang rumit, dan hingga kini kasusnya harus melalui langkah langkah akhir untuk menemukan tersangka utama.
Liam menggeleng.
"Bukan. Kali ini adikku sendiri yang jadi tersangka."
Alina terlihat terkejut.
"Kenapa?"
"Dia nabrak nenek-nenek dengan sepedanya. Ceritanya panjang. Kau mau ikut?"
Alina berpikir sejenak.
"Kebetulan, aku juga mau belanja bulanan."
Liam mengangguk, menawarkan senyum tipis.
"Kalau begitu, kita pergi bersama. Mari."
Alina mengangguk pelan, lalu mengikuti Liam menuruni tangga dengan langkah anggun. Liam berusaha mengalihkan pikirannya dari kenangan di layar monitor tadi, namun pesona Alina yang berjalan di sampingnya hanya membuat usahanya semakin sulit.
...🦋🦋🦋...
Liam tiba di kantor polisi dengan langkah panjang dan penuh wibawa, membuat beberapa orang menoleh. Di sampingnya, Alina berjalan anggun, wajahnya tertutup cadar merah muda, tetapi sorot matanya tajam, menandakan ia juga tidak senang dengan situasi ini.
Di sudut ruangan, Evan duduk dengan rambut acak-acakan dan wajah penuh penyesalan. Saat melihat kakaknya muncul, ia langsung berdiri, wajahnya cerah seketika.
"Kak Liam! Kak Alina! Akhirnya kalian datang juga! Aku pikir aku bakal jadi narapidana sebelum umur 20." serunya.
Liam mengabaikan sapaan itu dan melipat tangan di depan dada, menatap Evan dengan tajam.
"Kau selalu tahu cara membuatku malu. Kalau kau terus bikin ulah seperti ini, jangan salahkan aku kalau kau benar-benar jadi penghuni tetap di sel polisi."
Evan memasang wajah memelas.
"Kak, aku nggak salah! Neneknya yang tiba-tiba muncul dari gang, dan aku nggak sempat ngerem! Sepedaku juga rusak!”
Alina menghela napas, lalu menatap Liam.
"Liam, beri dia kesempatan menjelaskan."
"Dia tidak perlu kesempatan," balas Liam dingin.
"Aku sudah tahu polanya. Dia bikin masalah, merengek minta tolong, dan aku harus mengeluarkan uang."
Evan menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi terkejut.
"Kak, aku ini korban keadaan! Itu semua salah bengkel. Mereka bilang remnya sudah diperbaiki, tapi ternyata nggak!”
Sebelum Liam bisa menjawab, seorang nenek-nenek berhijab berusia 70-an muncul dengan salah tangannya di perban, diikuti beberapa polisi. Dengan tongkat di tangan kananya, nenek itu langsung menunjuk Evan.
"Itu dia! Anak muda kurang ajar itu menabrak saya seperti kereta api!"
Evan mundur ke belakang Alina, mencoba bersembunyi.
"Kak, tolong! Neneknya galak banget!"
"Kau sudah besar tapi malah berlindung di belakangku? Tidak malu?" kata Alina dengan nada sedikit bercanda.
"Daripada kena tongkat nenek itu? Malu urusan nanti, Kak Alina!"
Liam mengangkat tangannya untuk menenangkan suasana.
"Bu, kami sangat menyesal atas kejadian ini. Adik saya memang kadang tidak menggunakan otaknya, tetapi dia tidak berniat melukai Anda."
Nenek itu menggerutu.
"Tidak berniat, katamu? Setelah menabrak saya, dia malah teriak ‘Tolong! Remnya blong!’ seolah-olah saya yang salah!"
Evan seketika memucat.
"Itu refleks, Nek! Saya panik!"
Liam menatap Evan tajam, nyaris tidak percaya.
"Kau teriak ‘rem blong’? Apa kau pikir kau sedang syuting acara lawak?"
Polisi di samping nenek itu tertawa kecil sebelum buru-buru mengendalikan dirinya.
"Pak Liam, masalah ini sebenarnya sederhana. Kalau Anda bersedia menanggung biaya pengobatan, masalah ini bisa selesai secara kekeluargaan."
Liam mengangguk dengan tenang.
"Baik, saya akan menanggung semuanya. Nenek, apakah ada permintaan lain?"
Nenek itu mengarahkan tatapannya ke Evan.
"Satu saja, pastikan adikmu itu belajar sopan santun. Dan jangan pernah biarkan dia naik sepeda lagi!"
Evan mendesis pelan.
"Apa nenek pikir aku naik sepeda tiap hari?"
Liam menoyor kepala Evan, pelan.
"Diam! sebelum nenek ini berubah pikiran dan benar-benar menjebloskanmu ke penjara."
Alina tekekeh di balik cadarnya, dan ketika suasana kembali tenang, dan Nenek itu di rangkul polisi wanita untuk keluar, tiba tiba langkah wanita tua bertubuh gempal itu terhenti tatkala suara lembut wanita muda memanggilnya.
"Ummi Saudah..." ucapnya, membuat Liam dan Evan membulatkan mata menatap tak percaya pada Alina.
Nenek bernama Saudah pun menoleh bingung, matanya menyipit berusaha mengenali wanita bercadar itu dari suaranya.
Alina kemudian mendekat, matanya membentuk bulan sabit menandakan senyum di balik cadarnya.
"Siapa kau?" tanyanya, tatapan matanya penuh selidik.
"Aku Alina Mu'tasimah... Gadis kecil yang pernah Anda ajari hijaiyah, sekarang sudah dewasa, apa Anda ingat aku?" Alina mengenggam jemari Wanita tua itu dengan mata yang berkaca kaca.
Ingatannya terlintas jelas bagaimana wanita itu dulunya sangat berharga, saat pertama kali matanya bertemu Nenek saudah tadi, rasanya Alina ingin langsung memeluknya, tapi melihat kondisi di awal, Alina menahan diri hingga suasana kembali tenang.
Nenek Saudah tertegun. Ia memandang wanita bercadar di hadapannya dengan kerutan di dahi. Jemarinya refleks menyentuh pipi yang di balut cadar, mencoba menggali ingatan yang samar-samar muncul di benaknya.
"Mu'tasimah?" gumamnya,
Alina tersenyum di balik cadarnya, dan tanpa ragu, ia menggenggam tangan nenek itu. Matanya mulai berkaca-kaca, menahan air mata yang hampir tumpah.
"Ya, Ummi Saudah… Itu aku. Gadis kecil yang dulu sering mengganggu waktu istirahat Anda. Gadis kecil yang selalu tertidur di pangkuan Anda setelah belajar Al-Quran…"
Wajah nenek Saudah perlahan berubah, dari kebingungan menjadi haru. Seketika, ingatan tentang seorang anak kecil dengan mata bulat yang selalu meminta diajari doa-doa dan surat pendek kembali membanjiri pikirannya.
"Muta'simah... Mu'tasimah Anakku..." Suara nenek Saudah bergetar, matanya berlinang haru lalu, ia mengangkat kedua tangan, mengundang Alina ke dalam pelukannya.
Alina mendekat, memeluk tubuh renta itu dengan lembut. Bahunya bergetar saat air mata yang tertahan akhirnya mengalir deras.
"Aku merindukanmu, Ummi…" ucap Alina dengan suara tersendat, membuat Liam dan Evan hanya bisa saling pandang.
...🦋🦋🦋...
ud la ngalh salh satu ungkapin prasaan. tpi jangn alina y, liam az yg ungkapi lbih dulu dn bobok ny jang pisah kamar. eh, tpi jangn dulu nti khilaf. blum nikh ulang soal ny😅.
ayo hukumn ap dri liam. kn jdi mikir yg gk2😂. ap gk sebaik ny pernikhn mreka ni diperjels y. krna dri awal banyk x perjnjian2 dibuat liam.
sbelum ny liam mmbuat kontrk utk prnikhan mreka. dn skarang liam sprtiny ingin mlanjut kn prnikah sesungguhny. klw bgitu liam dn alina hrus ijab kabul ulang. krna disaat liam mmbuat perjanjian2 itu, ud trmsuk talak. nmany talak mudhaf. talk yg ud ditentukn.
ayo alina, bukn kh itu yg kau harapkn. saling mmbuka hati.
sehat2 jga buat author ny. biar bsa doble up😁✌️
Ku tunggu buktinya Liam.