Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33 : Video mesum
Perlu waktu lebih dari satu jam untuk Saka bisa menceritakan semuanya pada Ara. Masa kecilnya, ayahnya, ibunya, Risty, dan semua sumber dari rasa takut dan traumanya selama ini.
Membuka dan merunutkan kejadian demi kejadian yang membangkitkan rasa sedih, amarah, dan kecewa selalu tidak mudah untuk Saka. Tapi dengan genggaman Ara, Saka merasa mendapat kekuatan lebih.
"Kenapa jadi aku terus yang cerita? Giliran kamu, Ra."
Ara tersenyum melihat wajah Saka yang menyimpan beban berat selama ini. Wajah yang selalu meminta pertolongan tapi tidak tahu ke mana dan kepada siapa.
"Mau dengar ceritaku?"
Saka mengangguk.
"Sini." Ara mengubah posisi kakinya menjadi selonjoran. "Baringkan kepalamu di sini."
Saka manut saja dengan permintaan Ara. Kini kepalanya berada di atas paha Ara. Saka bisa memandang langit-langit yang tinggi dan sesekali memandang wajah Ara yang tersenyum.
"Ara kecil selalu riang gembira dan tak pernah bisa diam. Mama selalu memberi rok dan pita tapi Ara kecil tidak mau memakainya. Dia lebih memilih celana dengan banyak kantong dan kaos lengan panjang. Kenapa banyak kantongnya? Agar Ara kecil bisa memungut batu bagus atau menyimpan buah kersen."
Saka tertawa kecil. Pikirannya yang tadinya tegang, perlahan mengendur seiring dengan cerita Ara. Tubuhnya terasa lebih rileks.
"Ara kecil suka sekali menggambar. Di kertas, di daun, di baju, di tembok. Mama pasti marah kalau tembok rumah dipenuhi coretan, jadi Papa membelikan kanvas, kuas, dan cat. Itu hadiah yang luar biasa. Dan kamu tahu apa yang digambar Ara pertama kali?"
"Kucing."
"Yap. Keluarga kucing lebih tepatnya. Empat kucing. Dan Ara harus menambahkan satu kucing kecil lagi ketika Alan lahir."
Kali ini Ara dan Saka sama-sama tertawa.
"Ara kecil tumbuh menjadi Ara remaja kemudian Ara dewasa. Banyak hal menyenangkan di luar sana selain kuas dan cat. Tentu saja seiring dengan berjalannya waktu, ada banyak hal tidak menyenangkan juga. Ara sempat kebingungan, tapi dia merasakan Tuhan dalam hatinya. Dia hadir dalam cahaya hati. Sama seperti yang dirasakan Ara, Dia juga hadir dalam cahaya di sini..."
Ara meletakkan telapak tangannya di atas dada Saka.
"Kita sama-sama pernah terluka. Dan sekarang kita sama-sama menguatkan. Ara ingin mengajak Saka berjalan di padang rumput yang luas...banyak bunga warna-warni...sungai kecil mengalir...langit biru, awan putih, kicau burung bernyanyi. Ini rumah kita..."
Ara menghentikan ceritanya, dia melihat Saka yang sudah tertidur dengan tenang. Irama nafasnya teratur dan wajahnya seperti bayi. Tidak ada kerutan lagi di antara kedua alisnya. Ara bernafas lega. Untuk sementara dia sudah bisa merengkuh hati Saka. Hatinya sudah terkoneksi dengan benar.
Ini juga menjadi sesi refleksi bagi Ara. Ara yang dulu tidak bisa memaafkan diri sendiri, kini lebih bisa legowo dan ikhlas atas apa yang telah terjadi.
Untuk melangkah bersama menuju cahaya, koneksi hati seperti ini sangat penting untuk mereka berdua. Ara mengelus rambut Saka, tidak hanya hati, dia sudah berani menyentuh raganya juga sekarang.
...* * * * *...
Risty mematahkan sumpitnya ketika mengetahui koneksinya dengan Saka sempat terputus beberapa malam ini. Dia tidak bisa masuk ke dalam kamar emas itu lagi. Kamar itu telah berubah menjadi jelaga dan abu.
"Aku masih punya rantai untuk mengikatmu, Saka."
Risty membaca sebuah berita yang telah dia cetak dalam beberapa lembar kertas.
Perdagangan perempuan dan pelecehan seksual berkedok pernikahan. Saksi diancam teror pembunuhan. Apakah kita semua hanya tinggal diam?
Risty melihat lembar berita berikutnya.
HB kepergok sedang berada di klub malam bersama wanita penghibur. Apakah dia masih bisa melenggang di atas kursi mewah?
Risty tertawa sinis. Dia ingat bagaimana dia pertama kali bertemu dan berpisah dengan Saka. Kenapa setiap orang memandang rendah dirinya yang bekerja di klub malam sebagai aib?
Saka dalam keadaan kacau setelah melihat ayahnya berada di dalam klub malam bersama beberapa wanita. Salah satunya dibawa ayahnya keluar. Mereka masuk ke dalam mobil dan pergi entah ke mana.
Saka tidak mengerti kenapa kesetiaan ibunya bisa dinodai oleh tempat seperti ini. Saka duduk di bar dengan tatapan kosong. Risty menawarinya minum tapi dengan cepat ditolak oleh Saka.
Saka pergi dengan hati yang terluka. Tapi besoknya dia kembali lagi ke bar dan bertemu lagi dengan Risty. Kali ini Saka mau minum dan memberi uang lebih untuk Risty.
Risty masih ingat betul kata-kata Saka malam itu. "Keluarlah dari sini, carilah tempat yang lebih baik. Hidupmu berharga."
Risty tertawa jengah. Demi kata-kata itu dia benar-benar pergi dari tempat itu. Tapi beberapa tahun kemudian siapa sangka Risty malah kembali ke tempat itu dan bertemu Prada. Laki-laki yang sebentar lagi menjadi mantan suaminya.
Saka melihat mereka berdua sedang saling peluk dan bercumbu di dalam bar, tepat ketika bunyi microphone berdenging.
Risty yang tadinya hanya melampiaskan kekecewaannya pada Saka, hatinya berdesir ngilu juga ketika Saka memutuskan hubungan dengannya. Risty tahu Saka sakit hati dan kecewa. Untuk pertama kalinya Saka berteriak di depan wajahnya. Teriakan kekecewaan dan kekalutan karena perasaan terkhianati.
Risty menutup semua lembar berita itu sambil menyudahi makan malamnya.
...* * * * *...
Saka kembali ke rumah pertamanya dan bertemu Risty di sana. Mereka duduk saling berhadapan di ruang tamu. Tidak seperti biasanya, hari ini Risty memakai make up bold.
"Aku cantik hari ini? Aku sengaja berdandan begini biar kamu inget masa-masa pertama kali kita kasmaran."
Saka tidak menjawab.
Risty mengambil ponselnya dan bercermin dengan kamera depan.
"Apa aku cantik?"
"Cantik." jawab Saka jengah.
Risty tertawa sinis. Dia meletakkan ponsel di atas meja kemudian mendekati Saka, duduk di sebelahnya sambil merangkul lengannya.
"Aku kangen sama kamu, Ka."
Risty menyandarkan kepalanya di pundak Saka. Saka menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dia terus memikirkan Ara ketika dalam posisi begini. Ara mengingatkannya tentang benteng pertahanan.
Risty mulai menyentuh pipi Saka tapi Saka menghindar. Dia berdiri menjauhi Risty dan naik ke lantai dua.
"Apapun yang kamu lakukan, tidak bisa memutar waktu, Ris. Lebih baik kamu kembali ke kenyataan."
Risty mengepalkan tangannya sambil bergumam. Seketika kepala Saka seperti bergoyang, badannya limbung. Risty merengkuh lengan Saka dan membimbingnya naik ke atas.
Risty membaringkan Saka di tempat tidur sambil masih berbisik di telinganya. Seperti ritual sebelumnya, Risty menutup mata Saka sampai benar-benar terpejam.
Risty tertawa lirih.
"Aku tahu aku tidak akan pernah menjadi Ara di dalam hatimu. Tapi kamu tetap milikku, Saka. Kita pernah sama-sama saling mencintai...kenapa kita berpisah..."
Risty terisak di samping Saka. Dia memeluk kepala Saka dan mencium pipinya. Obsesi semakin menguasai dirinya. Risty naik ke atas badan Saka dengan kedua lutut di samping pinggang Saka. Risty berusaha melepaskan kancing kemeja Saka. Satu demi satu.
Tapi sesuatu terjadi. Dada Risty seolah panas terbakar api. Dia terbatuk berkali-kali. Matanya membeliak seolah panas itu memenuhi seluruh tubuhnya.
Mata Saka perlahan terbuka. Dia bangun dan menyingkirkan badan Risty menjauh dari dirinya.
Saka turun dari tempat tidur dan mengancingkan kembali kemejanya sambil menatap Risty dengan dingin.
"Aku bukan bonekamu lagi, Risty. Berhentilah."
Risty merasakan sakit kepala yang menusuk.
"Kamu akan tersiksa terus menerus jika kamu tidak berhenti."
"Tidak! Aku masih mengikatmu, Saka! Kamu nggak mungkin bisa lepas dariku!"
"Berkali-kali kamu ikat aku, berkali-kali pula aku akan putuskan itu."
Risty merangsek mendekati Saka dan ingin memeluknya. Saka menjauh hingga Risty jatuh terduduk.
"Apa kurangnya aku sampai kamu nggak mau balik lagi sama aku?!"
"Tidak ada. Kamu ya kamu. Kita hanya tidak perlu bertemu lagi. Pergilah, Ris. Rumah ini sudah dijual. Tidak akan ada lagi kenangan-kenangan di antara kita. Akan aku hapus satu persatu semua tentang kita. Episode kita sudah selesai. Mulailah film barumu, terserah kamu mau berperan sebagai apa. Aku juga punya kehidupanku sendiri."
Mata Risty menyala penuh dendam. Dia bangun dari duduknya sambil tertawa sinis. "Ara..."
Sebelum kalimat Risty berlanjut, Saka dengan cepat mendekat ke wajah Risty sambil menatap tajam matanya.
"Aku bisa saja menangkap lehermu dan membunuhmu sekarang juga, tapi tidak kulakukan karena aku masih manusia, bukan iblis tanpa belas kasihan. Kalau sekali lagi aku dengar kamu sebut nama Ara, aku mungkin bisa lepas kendali."
Bibir Risty gemetar melihat mata Saka yang seolah ingin membelahnya jadi dua. Risty tidak pernah melihat Saka semarah ini selain kejadian ayahnya di bar.
"Kamu tidak takut apa yang selama ini Ara bangun akan hancur di depan matamu?"
"Ara tidak selemah itu. Aku tidak main-main, Risty. Pergilah sebelum rasa manusiawiku lenyap untuk mengasihanimu."
Mata Risty telah basah oleh air mata. Dia menatap Saka tanpa berkedip lalu pergi dari hadapan Saka. Saka mengatur nafasnya yang memburu. Emosinya meninggi mengalahkan rasa takutnya akan terjadi sesuatu pada Ara.
Saka menekan dadanya yang sakit. Dia duduk di samping tempat tidur sambil berdoa. Cahaya selalu ada di sini. Dia teringat kata-kata Ara.
Sejenak kemudian Devin masuk ke kamarnya sambil mengacungkan jempol.
"Kamu berhasil?" tanya Saka.
Devin mengangguk puas. Saka menatap kamera di langit-langit kamarnya.
"Kak? Kamu kok ngos-ngosan gitu? Kalian belum sempat begituan kan..."
Saka melempar bantal ke arah Devin. Seperti biasa, Devin dengan mudah menangkapnya. Saka membaringkan badannya ke kasur.
"Kamu kalau mau punya pacar, satu aja, Vin. Nggak usah ganti-ganti. Jangan sampai putus juga. Punya mantan itu bikin capek!"
...* * * * *...
Ara berkali-kali menutup matanya dengan jari-jari renggang ketika melihat video rekaman yang berhasil Devin ambil dari ponsel Risty.
Devin tersenyum geli. Sedangkan Saka malu setengah mati. Dia juga menutup matanya sambil pura-pura memijiti keningnya.
Devin memutar video kedua, video rekaman dari kamera rumah Saka. Kali ini Ara tidak tahan lagi.
"APA-APAAN LAMPIR SATU ITU?! Bisa-bisanya nggak tahu malu gerayangi badan orang. Badan calon suamiku lagi! Dulu aku jagain dia biar nggak dijelalatin mata pria mesum, eh dianya sendiri mesum tingkat cacing tanah! Ya memang sih badan dia semok depan belakang, tapi kan bukan berarti..."
Ara berhenti ngomel lalu menatap Saka dengan aura menusuk. Saka yang ditatap begitu jadi salah tingkah.
"Ap...apa?"
"Kamu tergoda, Mas? Enak ya dipeluk-peluk, dicium-cium cewek seksi?"
"Aku nggak..."
"Cieee...cemburuuu..." Devin menengahi mereka berdua yang hampir tersulut api. "Dahlah. Itu cuma pengalihan biar aku bisa punya waktu untuk nyadap ponselnya. Dan video mereka di atas kasur itu sebagai bukti kalau yang menggoda duluan itu Risty. Kalau sampai ada tuduhan pelecehan terhadap perempuan, itu bisa terbantahkan. Paham, ya? Aman, ya?"
Ara mengangguk-angguk cepat sambil menggaruk rambutnya sendiri. Ara menghela nafas panjang. Pikirannya sempat kalut dan emosinya tersulut karena dia tahu bagaimana dia dan Risty dulu berteman. "Sorry, aku..."
Saka dengan cepat membungkam mulut calon istrinya itu dengan ciuman di pipi. "Aku nggak sabar buat nikah sama kamu."
Saka ngeloyor pergi ke dapur untuk ngambil air putih dingin. Mata Ara melotot dan mulutnya tentu saja melongo tumpah-tumpah ilernya.