Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 33
Freya berdiri di antara kerumunan tamu, tubuhnya gemetar, jantungnya berdetak begitu keras seolah-olah hendak meledak. Di depannya, ia menyaksikan pemandangan yang menghancurkan hatinya. Tama, pria yang selama ini mengisi pikirannya, berdiri di depan altar. Mengenakan jas hitam yang rapi, wajahnya terlihat tegang namun bahagia. Tama sedang menikah, tapi bukan dengan Freya.
Pandangan Freya kabur oleh air mata yang ia tahan sejak awal acara. Dari sudut pandangnya yang terhalang oleh jarak, ia tidak bisa melihat siapa wanita yang berdiri di samping Tama, wanita yang kini menjadi pengantin. Namun, hal itu tidak mengurangi rasa sakit yang mendalam di hatinya. Semuanya terasa begitu nyata dan menyakitkan.
Pikirannya kacau, pertanyaan-pertanyaan memenuhi benaknya. Mengapa ini terjadi? Mengapa Tama tidak pernah memberi tanda? Mengapa bukan dia yang berdiri di sana?
Kakinya goyah, hampir tidak kuat menopang tubuhnya yang terasa semakin lemah. Nafasnya mulai tersengal, dadanya terasa sesak. Dunia di sekelilingnya mulai berputar, membuatnya merasa seperti hendak pingsan. Pada saat yang sama, Leyla, sahabatnya, datang tepat waktu. Dengan cepat, Leyla memegang bahu Freya, menyadari bahwa Freya hampir jatuh.
"Freya! Freya, kamu baik-baik saja?" suara Leyla terdengar panik namun lembut, memegang erat Freya yang sudah hampir tidak bisa berdiri.
Freya hanya bisa menggeleng pelan, air matanya mulai mengalir tanpa bisa ditahan lagi. "Aku ... aku tidak sanggup, Leyla. Ini terlalu sakit," isaknya. Tubuhnya gemetar di pelukan Leyla.
Tanpa banyak berkata-kata, Leyla dengan sigap membawa Freya keluar dari gedung pernikahan, menuju mobil yang diparkir tidak jauh. Sesampainya di dalam mobil, Freya langsung meledak dalam tangis. Ia menangis tersedu-sedu di pelukan Leyla, semua rasa sakit yang dipendamnya tumpah begitu saja.
"Kenapa ini semua harus terjadi, Leyla?" tanya Freya di sela-sela tangisnya, suaranya terdengar hancur. "Kenapa harus dia? Kenapa bukan aku yang ada di sampingnya?"
Leyla hanya bisa mengelus punggung Freya dengan lembut, berusaha memberikan kenyamanan di tengah keterpurukan sahabatnya. "Aku tidak tahu, Freya ... aku benar-benar tidak tahu," jawabnya pelan, suaranya turut bergetar. "Tapi kamu kuat. Kamu bisa melalui ini."
Freya menggeleng di pelukan Leyla, tubuhnya terasa lemas dan kosong. "Aku tidak tahu bagaimana caranya, Ley. Aku sudah memberikan segalanya ... dan sekarang dia menikahi orang lain."
Leyla tidak tahu harus berkata apa lagi. Semua kata-kata penghiburan terasa tidak cukup untuk mengatasi luka sebesar ini. Dia hanya bisa memeluk Freya lebih erat, membiarkan sahabatnya menangis sepuasnya, berharap waktu bisa menjadi penyembuh yang perlahan mengurangi rasa sakit di hati Freya.
Di dalam mobil itu, Freya hanya bisa memikirkan satu hal, semua impian, harapan, dan cinta yang ia miliki untuk Tama, hancur berantakan di hadapannya. Dan kini, ia hanya tersisa dengan luka dan pertanyaan tanpa jawaban.
***
Hari pernikahan seharusnya menjadi momen paling bahagia dalam hidup Tama, namun ia merasa seolah terperangkap dalam kabut tebal yang menghalangi semua perasaan. Di hadapan altar, di tengah kerumunan tamu yang bersuka cita, dia tidak merasakan kebahagiaan yang seharusnya mengisi hatinya. Sebaliknya, hatinya terasa hampa, seolah semua emosi telah mati rasa.
Tama memandang wanita di sampingnya, wanita cantik yang kini resmi menjadi istrinya. Di dalam benaknya, berputar berbagai pikiran tentang cinta dan harapan yang seharusnya mengalir di hari istimewa ini, tetapi semua itu sirna. Dia hanya bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya dan suara-suara riang yang bergaung, tanpa merasakan arti di balik semua itu.
Ketika upacara selesai, Rini, ibunya, menghampiri Tama dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Tama merasa hangat dalam pelukan ibunya, namun itu pun tidak bisa mengusir rasa hampa yang mengisi hatinya. Rini, dengan insting seorang ibu, seakan mengetahui apa yang dipikirkan oleh putranya.
"Tama," ucap Rini lembut, melepaskan pelukannya dan menatap mata Tama dalam-dalam. "Kau harus tahu, pernikahan bukan hanya tentang kebahagiaan. Ini adalah tentang saling menjaga, saling menghargai, dan saling mendukung satu sama lain."
Tama mengangguk, tetapi tidak bisa membalas. Dalam pikirannya, ia merasa seolah berbohong pada dirinya sendiri dan pada istrinya. Rini melanjutkan, "Perasaanmu mungkin tidak seperti yang kau harapkan, tapi ingatlah, hidup ini tidak selalu tentang kita sendiri. Istrimu, dia membutuhkanmu. Jaga perasaannya, hargai setiap momen bersamanya, meskipun saat ini perasaanmu tidak seperti itu."
"Ibu ...," Tama berkata pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Aku ingin berusaha, tetapi ... aku merasa kosong."
Rini mengelus lembut pipi Tama, menatapnya dengan penuh kasih. "Jangan terburu-buru, sayang. Semua perasaan itu mungkin akan datang seiring waktu. Yang penting adalah bagaimana kau memperlakukan dia. Cintai dia dengan cara yang tulus. Meskipun saat ini kau tidak merasa apa-apa, berikan dirimu kesempatan untuk merasakannya."
Mendengar kata-kata ibunya, Tama merasakan sedikit harapan di dalam hatinya. Mungkin dia bisa berusaha untuk membuka dirinya. Mungkin, perasaan itu akan datang seiring berjalannya waktu. Dia tahu, ia harus berjuang, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk istrinya.
Setelah pernikahan, saat para tamu merayakan di luar, Tama menatap istrinya yang tengah tersenyum bahagia, dan untuk pertama kalinya, dia berusaha membayangkan masa depan bersama wanita yang kini menjadi pendamping hidupnya. Meskipun hatinya masih terasa hampa, Tama berjanji kepada dirinya sendiri untuk memberikan yang terbaik dan menjaga perasaan istrinya, berharap suatu saat nanti, dia bisa merasakan cinta yang seutuhnya.
Malam itu, Freya duduk di tepi tempat tidurnya, dikelilingi oleh gelap yang seolah mencerminkan kekosongan hatinya. Setelah melihat Tama, perasaannya kembali bergejolak. Setiap kenangan bersamanya, tawa, tangisan, dan mimpi-mimpi yang pernah mereka ukir, kembali menghantui pikirannya. Dia merasa seolah terjebak dalam lingkaran yang tak berujung, dan kali ini, Freya tahu dia harus mengambil langkah untuk mengakhiri rasa sakit itu.
Dia menggenggam ponselnya yang terletak di sampingnya, jari-jarinya ragu-ragu menekan layar. Freya teringat saat-saat di mana mereka menghabiskan waktu bersama, momen-momen yang tampaknya indah namun kini terasa menyakitkan. Mengingat Tama hanya membuat hatinya semakin perih. Freya memutuskan bahwa sudah saatnya untuk bergerak maju.
Dia mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikiran yang kacau. “Aku harus melepaskan,” bisiknya pada dirinya sendiri. Freya kemudian membuka galeri foto di ponselnya dan mulai menghapus setiap foto dan pesan yang mengingatkannya pada Tama. Setiap kali jari-jarinya menekan tombol hapus, seolah sebuah beban besar ikut terangkat dari hatinya. Meskipun setiap penghapusan itu menyakitkan, dia tahu itu adalah langkah yang harus diambil.
Setelah selesai, Freya menutup ponselnya dan mengalihkan pandangannya ke cermin di kamarnya. Dia melihat bayangannya yang lelah dan penuh kesedihan. Dalam hati, dia berjanji untuk tidak lagi membiarkan cinta yang hilang merusak kebahagiaannya. “Aku berhak bahagia,” katanya dengan tegas pada diri sendiri.
Namun, kerinduan itu tetap ada, seperti bayangan yang sulit dihapus. Freya merindukan kehadiran Tama, tawanya, bahkan sifatnya yang kadang menyebalkan. Dia ingat semua kata-kata manis yang pernah diucapkan Tama dan bagaimana ia selalu merasa istimewa saat bersamanya. Tetapi malam ini, dia ingin lebih dari sekadar mengingat; dia ingin melupakan.
Freya bangkit dari tempat tidur, melangkah menuju jendela, dan melihat keluar ke malam yang kelam. Bintang-bintang berkelip di langit, seolah menemaninya dalam kesendirian. Dia berharap bintang-bintang itu bisa mengambil rasa sakit dan kerinduan yang ada di hatinya, menggantinya dengan harapan baru.
Dia menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Mulai sekarang, aku akan fokus pada diriku sendiri. Aku akan menemukan kebahagiaan di tempat lain.” Dengan tekad baru, Freya berjanji untuk tidak lagi membiarkan masa lalu menghantuinya. Malam itu, dia memutuskan untuk melanjutkan hidup, meskipun tahu bahwa melepaskan Tama bukanlah hal yang mudah.
Namun, Freya bertekad. Dia akan belajar mencintai diri sendiri terlebih dahulu sebelum mencintai orang lain. Dan malam ini, dia berjanji untuk memulai perjalanan baru dalam hidupnya, menjauh dari bayang-bayang cinta yang menyakitkan dan menuju cahaya harapan yang menanti di depan.