Demi menyelamatkan nama baik keluarganya, Audrey dipaksa menggantikan adik tirinya untuk menikahi Asher, seorang tuan muda yang dikenal cacat dan miskin. Audrey yang selama ini dianggap anak tiri yang tidak berharga, harus menanggung beban yang tak diinginkan siapa pun.
Namun, hidup Audrey berubah setelah memasuki dunia Asher. Di balik kekurangan fisiknya, Asher menyimpan rahasia besar yang bahkan keluarganya sendiri tak pernah tahu. Perlahan, Audrey mulai menyadari bahwa suaminya bukan pria biasa. Ada kekuatan, kekayaan, dan misteri yang tersembunyi di balik sosok pria yang diabaikan itu.
Ketika rahasia demi rahasia terungkap, Audrey mendapati dirinya terjebak di antara cinta, intrik, dan bahaya yang tak pernah ia bayangkan. Siapkah Audrey menghadapi kenyataan tentang Asher? Dan apakah takdir yang mempertemukan mereka adalah kutukan atau justru anugerah terbesar dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qaeiy Gemilang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya Mimpi
“Devan, apa yang terjadi padamu?” tanya Seorang pria paruh baya yang melihat kondisi Devan yang penuh dengan luka di wajahnya.
Devan dengan wajah acuh tak acuh mengabaikan pertanyaan pria tersebut. Dia masih sakit hati mengingat insiden di toko perhiasan tersebut. Pria paruh baya itu berdiri dan mencekal pergelangan tangan Devan.
“Devan, ayah berbicara padamu! Siapa yang berani membuat seorang pewaris Flavio babak belur seperti ini?” pria itu memekik.
Devan memutar tubuhnya dan menatap tajam ke dalam mata pria itu. “Ayah, apakah kamu mengenal pria yang bernama Asher Eadric?” tanya Devan.
Pria itu sejenak berpikir. Karena nama Eadric memang sering kali dia dengar namun tidak dengan Asher. “Apakah pria itu berasal dari group Eadric?”
“Ya... Sepertinya dia baru saja sembuh dari kecelakaan.”
“Apakah dia yang menyebabkanmu begini?”
“Seperti yang Ayah lihat. Maka dari itu, aku ingin Ayah memberikan pelajaran kepada pria cacat itu. Aku ingin pria cacat itu tahu diri, dia sudah melawan siapa!”
“Keturunan Eadric? Berani sekali mereka mencari perkara dengan Flavio.”
“Aku tidak ingin tahu. Segera hancurkan Eadric!” hardik Devan yang kemudian memutar tubuhnya berlalu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Asher memasuki ruang bawah tanah yang gelap dengan perasaan marah membara di dalam hatinya. Ia menghadapi dua orang pelaku penculikan istrinya yang terikat pada kursi kayu di tengah ruangan tersebut. Suara derap langkahnya mengisi ruangan menyebabkan atmosfer semakin mencekam.
"Bugh!"
Dengan tangan berlilit rantai, Asher menjatuhkan pukulan keras ke wajah salah satu pelaku, membuat darah segar memancar dari hidung pelaku tersebut.
"Aaakhh...!"
Pelaku itu berteriak kesakitan, tetapi Asher tidak peduli. Ia duduk dengan santai di hadapan pelaku yang lain sambil memperhatikan mereka dengan tatapan tajam.
"Katakan, motif apa yang membuat kalian berani berbuat nekat menculik istriku, huh?" tanya Asher dengan suara bergetar oleh amarah yang tak terbendung.
Pelaku yang masih sadar berusaha menjawab, "Kami... kami hanya menjalankan perintah. Kami dikirim oleh seseorang yang ingin melihatmu hancur.”
“Siapa orang itu? Katakan namanya!” Asher memegang leher pelaku dengan erat, membuat pria tersebut sulit bernapas.
Pelaku itu terbatuk-batuk sebelum akhirnya menjawab, “Namanya... Nyonya Marissa Berton,” ucapnya menahan sakit.
Asher melepaskan cengkeramannya. Dengan gerakan cepat, Asher mengeluarkan pisau yang tersembunyi di dalam jasnya. Ia mengancam pelaku yang terikat dengan mendekatkan pisau di dekat wajahnya.
“Katakan, apa tujuan Marissa? Jika kamu berbohong, aku tidak segan-segan mengupas habis kulitmu,” ancam Asher.
Pelaku itu ketakutan melihat pisau yang ada di depan matanya. Dengan suara yang lirih, ia menjawab, “Marissa... Ia ingin menghancurkan keluarga Eadric. Dia ingin membalas dendam atas kejadian tempo hari yang telah menjatuhkan harga dirinya di dalam kediaman Eadric dengan menjadikan wanita yang kami culik untuk membuatmu hancur,” ucap pelaku dengan suara bergetar penuh ketakutan.
Asher menegakkan seluruh tubuhnya saat mendengar ucapan pelaku itu. Amarah di dalam dirinya semakin memuncak. “Dia akan menyesal telah melibatkan istriku dalam dendamnya,” desis Asher dengan suara yang penuh kemarahan.
Tanpa berpikir dua kali, Asher menusukkan pisau ke perut pelaku yang terikat, membiarkan darah mengalir dan menghiasi lantai ruangan bawah tanah itu. Pelaku berteriak kesakitan, tetapi ucapan apapun tidak lagi berguna. Asher meninggalkan ruangan dengan hati yang dingin dan niat yang bulat untuk mencari tahu keberadaan Marissa Berton.
Audrey hanya membolak-balikan tubuhnya dengan gelisah. Beberapa kali dia mencoba menyalakan televisi namun dirinya tidak menikmati setiap acara yang ia lihat dari rasa bosannya.
“Huh, Asher kemana? Katanya dia pergi hanya sebentar.” Gerutu Audrey. “Haah...” Wanita itu membuang nafas. Dia kemudian meletakkan lengannya di dahi. “Kenapa akhir-akhir ini aku merasa sangat kesepian, ya, jika tidak ada Asher?” pikir Audrey.
“Haaa...!” Tiba-tiba Audrey menjerit, dia menutup wajahnya ketika ia teringat kembali bagaimana dia meraba dada Asher. “Apa yang telah aku lakukan? Aku tidak seharusnya melakukan itu. Apa Nathan marah karena aku meraba dadanya? Aduh, jika iya, apakah dia akan menjadi pria yang dingin lagi?” Audrey merasa menyesal karena sudah bersikap lancang ketika Asher menggendongnya.
Lelah menunggu kedatangan Asher dan juga penat memikirkan bagaimana sikap Asher, akhirnya, Audrey pun tertidur.
Tiba-tiba, Audrey meresahkan sebuah sentuhan lembut di pipinya. Audrey pun membuka mata.
“Asher, akhirnya kamu kembali,” ucap Audrey dengan suara serak karena terlalu banyak memikirkan hal-hal negatif.
Asher menatap dengan pandangan teduh ke arah Audrey tanpa melepaskan usapan di pipi wanita di hadapannya.
“Maaf telah membuatmu khawatir, Sayang. Aku akan selalu kembali padamu,” kata Asher, lalu mengecup dahi Audrey.
Audrey merasa jika malam ini, Asher sungguh berbeda. Pria itu benar-benar terlihat begitu perhatian tidak seperti Asher yang dia lihat setiap harinya.
“Aku ingin tidur denganmu, Audrey,” ucap Asher.
“A... Iya,” jawab Audrey dengan kikuk dan malu-malu.
Asher pun berbaring di samping Audrey. Audrey yang kikuk, menggeser tubuhnya.
“Kenapa menjauh? Kemarilah, aku ingin memeluk tubuhmu. Dan ingin menyesap bau aroma tubuhmu, Audrey,” ucap Asher lembut.
“Tapi-“ Suara Audrey terhenti saat Asher menarik pinggangnya untuk lebih dekat dan menyatu dengan tubuhnya.
“Begini aku lebih nyaman,” ucap Asher saat dirinya memeluk tubuh Audrey dengan erat.
Lirikan mata Audrey tertuju ke dada Asher yang sedikit terbuka, dia tidak tahan jika tidak menyentuh dada itu. Dengan pelan, Audrey meletakkan tangannya di dada pria yang kini memeluknya.
“Rasanya keras, kokoh.... Dan memiliki gelombang yang sempurna.” Audrey meraba-raba permukaan dada dan perut itu tanpa rasa malu.
Sesekali, Audrey menatap wajah Asher. “ Asher tidak marah? Kenapa dia malah menikmatinya? Apakah Asher kini sudah mau membuka hatinya dan menerimaku sebagai istrinya?” pikir Audrey.
Asher menarik tubuh Audrey, lalu meraih dagu wanita itu. Kini dua netra pun berkontak-beradu dan saling menatap dalam dengan penuh cinta. Pelan-pelan, bibir Asher menyentuh bibir Audrey.
“Astaga! Ternyata aku hanya mimpi?” teriak Audrey ketika tiba-tiba terbangun dari tidurnya.
Audrey memegangi dadanya yang berdebar kencang dan merasa bingung dengan perasaan yang ada dalam mimpi tersebut.
“Kenapa aku bermimpi seperti itu? Apakah ini pertanda sesuatu?” gumam Audrey sambil mencoba menenangkan dirinya sendiri. Namun, dalam hati kecilnya, Audrey merasa ada perubahan dalam hubungannya dengan Asher setelah kejadian beberapa hari ini.
Saat Audrey hendak bangun, dia melihat Asher sedang tertidur di atas sofa. “Dia pulang?” gumam Audrey.
Dengan hati-hati, Audrey turun dari tempat tidur pasien sambil membawa selimut melangkah ke arah sofa dan menutupi tubuh Asher yang terbaring di sana. Audrey duduk di sampingnya dan menatap wajahnya dengan lembut.
“Asher, terima kasih sudah menemaniku. Maaf jika kedatanganmu tidak ku sambut. Kamu pasti sangat lelah, ya?” Audrey bergumam sambil memandangi pahatan karya Tuhan di hadapannya ketika dia berjongkok.
“Ternyata dia memang tampan,” bisik Audrey pelan. “Dan aku mungkin mulai merasakan perasaan yang lebih dari sekedar rasa sayang padanya.” Tutur Audrey dalam hati.
“Apakah kamu sudah puas mengagumi wajahku?”
Audrey tersentak hingga duduk tersungkur di atas lantai saat mendengar suara Asher.
Salam kenal
Jangan lupa mampir ya 💜