Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hate Side Story 007
...***...
"K-Kaal," Melody menggenggam tangan Kaal.
"Itu bukan cara kau melakukannya."
Kaal tidak mendengarkan. Ia masih berusaha untuk membalut luka di tubuh Melody meski tangannya gemetar.
Kaal terus memikirkan cara bagaimana perban ini bisa menempel sempurna di luka gadis itu.
Dengan frustasi ia menggunting perban yang ia genggam, menggulungnya menjadi persegi tetapi tetap berujung berantakan hingga ia menggeram, dan cairan povidone-iodine yang ia oleskan tadi mulai mengering, dan karpet di bawahnya basah karena sisa hujan di pakaiannya, dan Melody masih mengeluarkan protes mengenai metodenya menangani luka, dan itu membuatnya semakin frustasi, dan sial, kenapa ia belum bisa menghentikan tangisnya sedari tadi?
"Kaal—"
"Diam sebentar, Melody. hanya sebentar." Kaal menyeka tangisnya menggunakan lengan.
Pandangan Kaal berubah kabur karena air mata, membuat ia merutuk kasar karena hal itu mempersulit pekerjaannya.
Mereka berdua berakhir di ruang tidur Kaal. Dengan Melody yang duduk di atas ranjang Kaal, serta Kaal yang berlutut di depan gadis itu dalam keadaan sama-sama basah. Namun tidak ada satupun dari mereka yang berniat untuk mengganti pakaian.
Melody tidak mengatakan sepatah katapun setelah kalimat tadi. Tetapi Kaal bisa merasakan mata gadis itu mengikuti setiap gerakannya, setiap tarikan nafas, serta sengguk yang tidak sengaja lolos dari bibirnya.
"Kau ingin tahu jawabannya?" Cetus Melody tiba-tiba.
Meskipun itu seperti sebuah pertanyaan ambigu, Kaal tahu persoalan apa yang sedang ingin dia bicarakan.
"Ya." Kaal menjawab lemah.
Jemari Melody menelusup perlahan ke sela jarinya, sebelum gadis itu menggenggamnya lembut.
"Karena aku menyukaimu." Ucapan Melody terdengar sureal di telinga Kaal.
Kata tanya 'kenapa' berenang lebih banyak dalam benaknya, bersamaan dengan 'bagaimana bisa', 'sejak kapan?', namun ia kembali menelannya.
Kaal menjatuhkan apa saja yang ada di tangannya. Ia menyandarkan kening ke paha Melody kemudian memeluk kaki gadis itu erat.
"Aku sangat menyukaimu Kaal" Ulang Melody, seolah pernyataan pertama gadis itu tidak cukup mengacaukan detak jantung Kaal.
Kaal merasakan hatinya bersemi. Merekah indah seperti padang bunga di awal bulan April.
"Kau pantas mendapatkan yang lebih baik dariku, Melody." Bisik Kaal.
"Kau pantas mendapatkan kebahagian, kau pantas menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini, kau pantas mendapatkan pesan pagi yang manis saat matamu terbuka, kau berhak mendapatkan seseorang yang menghapus semua kesedihanmu Melody"
Kaal menarik nafas panjang, matanya terasa beribu kali lipat lebih menyengat dibanding sebelumnya. Ingatannya berkelana pada beberapa mawar yang ia temukan selama ini. Biru, kuning, jingga, merah muda. Merah. Yang mungkin akan terlihat indah di langit kelabu layaknya sebuah pelangi.
Tetapi ketika ia menatap Melody, gadis itu ternyata jauh, jauh lebih indah daripada setiap benda yang dunia tawarkan padanya.
"Melody kau pantas mendapatkan seseorang yang mengakui betapa cantiknya dirimu di setiap detakan jantung"
Melody menatapnya ragu. "Bisakah kau menjadi seseorang itu?"
Kaal berkedip pelan. Jika ia sedikit jeli, ia pasti dapat menemukan sipu di kedua pipi gadis itu.
"Kau ingin seseorang itu aku?"
"Ya."
"Baiklah." Sahut Kaal.
"Aku harus menjadi seseorang itu."
Dan ketika bibir mereka kembali bertemu, mendadak, Kaal merasakan musim semi kembali hadir mengunjunginya.
...***...
Sementara itu, arti bunga mawar putih yang berkilauan tidak terlalu sulit untuk diuraikan jika dilihat dari penampilannya. Mereka meyakinkan bahwa kasih sayang
Kau datang langsung dari hati dan semurni salju perawan. "Aku mencintaimu tanpa syarat."
...***...
Dari sekian banyak manusia yang hidup di dunia, Melody Senja tidak pernah menyangka hatinya akan jatuh kepada Kaal Vairav.
Hampir mustahil bahwa sebuah tindakan dapat mengubah pendapatnya mengenai seseorang.
Awalnya, Melody menilai Kaal sebagai lelaki arogan bermulut kasar. Semua murid bisa mendengar umpatan lelaki itu sepanjang hari tanpa jeda.
Namun kejadian di suatu siang yang tenang membuka prespektif lain Melody mengenai lelaki itu.
Melody mengingat Kaal yang duduk di taman belakang sekolah mereka. Ia sedikit heran menemukan Kaal berada di situ. Rasa penasaran menariknya untuk mengamati apa yang sedang lelaki itu lakukan.
Di samping lelaki itu, tergeletak beberapa alat perkakas.
Melody memilih bersembunyi sembari menunggu apa yang sebenarnya sedang Kaal kerjakan. Wajah Kaal tampak begitu serius. Sesekali lelaki itu menyeka keringat di keningnya sedang tangannya masih sibuk dengan apapun pekerjaan yang tengah dia lakukan.
Pada menit sebelum jam istirahat berakhir, Kaal akhirnya berdiri. Lelaki itu menepuk bekas tanah di tangan serta celananya.
Melody segera memicing untuk mengetahui lebih jelas apa yang menyibukkan Kaal sedari tadi.
Dan ketika Melody memandang sesuatu di hadapan Kaal, ia terhenyak.
Kaal membuat pagar kayu di sekeliling bunga liar yang sedang semi.
Hati Melody mendadak luluh. Ia menatap lelaki yang saat itu sudah berjalan menuju ke gedung sekolah dengan senyum bahagia menghiasi wajah.
Malamnya, Melody tak bisa berhenti memikirkan kelopak mawar putih yang ia temukan tadi.
Setelah kejadian itu, Melody menjadi lebih sering memperhatikan bunga yang tumbuh di sekitar sekolah mereka serta pagar sederhana yang melindunginya.
Mungkin Kaal memiliki gagasan itu, karena murid sekolahnya seringkali berjalan seenaknya hingga tidak sengaja menginjak tumbuhan yang tidak berada pada jalan setapak.
Melody menyadari ternyata hampir selalu ada noda tanah di celana seragam Kaal. Terkadang, jari lelaki itu juga terluka—mungkin karena tergores kawat atau tidak sengaja tertancap paku, ia berasumsi.
Hati Melody semakin jatuh kepada Kaal seiring dengan kelopak-kelopak mawar yang terus ia temukan dari sekitar lingkungan sekolahnya.
Terlebih saat ia melihat bibit bunga yang baru saja ditanam di tempat yang paling sering dirusak. Melody berjongkok di sana, mengagumi bibit Aster yang belum mekar. Ia tidak mendeteksi adanya seorang lelaki yang memperhatikannya.
Ketika Melody menoleh, ia terkejut mendapati Kaal berdiri tidak jauh darinya.
Lelaki itu segera menyembunyikan botol air yang dia genggam ke belakang punggung sembari berteriak tajam 'apa yang sedang kau lakukan?'. Melody dapat menebak bahwa Kaal berniat untuk menyiram Bunga Aster di depannya.
Tanpa sadar, ia tersenyum.
Kaal membelalak lebar. Wajah lelaki itu memerah dengan tatapan yang tertuju lurus ke arahnya.
Berawal dari situ, Kaal mulai berlaku kasar padanya.
Melody bukan ingin berpura-pura lemah. Tetapi ia memang harus bertahan dengan segala cacian serta luka yang Kaal berikan padanya. Karena Melody sadar, Kaal hanya ingin bersembunyi di balik kedok arogan untuk menutupi sisi lembutnya dari dunia.
Setiap kali Kaal melayangkan pukulan demi pukulan, Melody selalu mengulang kalimat yang sama dalam kepala untuk meredam rasa sakitnya.
Kau hanya takut.
Makian merendahkan, hantaman kasar, teriakan yang menyakitkan telinga.
Kau hanya takut, Kaal. kau hanya takut.
Melody tidak dapat menghitung berapa kali ia ingin mengatakan dengan lantang kepada Kaal bahwa lelaki itu sempurna. Bahwa Kaal tidak perlu menyembunyikan apapun karena lelaki itu sudah sempurna.
Sekelebat ingatan itu membuat Melody merasa hubungan resmi antara ia dan Kaal masih terasa seperti sebuah fantasi.
Kaal Vairav mencintainya dengan cara berbeda.
Dengan sentuhan malu-malu di kaitan jari mereka yang seolah mempertanyakan 'Apa kau tidak keberatan dengan ini?' dan Melody harus menggenggam tangan lelaki itu erat untuk meyakinkan...
'tidak apa-apa, aku menyukainya'. Dengan tatapan diam-diam di dalam kelas yang membuat guru selembut Mrs. Hanz harus berteriak untuk meminta lelaki itu menghadap ke depan.
Dengan gerakan canggung saat lelaki itu ingin meninggalkan kecupan selamat tinggal di depan pagar rumahnya.
Mungkin dalam hubungan ini Melody memang tidak banyak bicara. Ia masih menjadi pribadi pendiam—karena ia memang memilih diam, bukan karena tekanan dari keadaan sekitarnya.
Keheningan selalu melahirkan inspirasi untuknya.
Tetapi Melody ingin melengkapi Kaal. Mengusir kekhawatiran lelaki itu ketika tatapannya mengisyaratkan 'apa aku sudah mencintaimu dengan benar?'.
Melody ingin Kaal tahu bahwa dia tidak pernah salah. Lelaki itu bahkan tidak perlu berbuat apapun dan Melody akan tetap selalu jatuh cinta.
Sebuket Daffodil kuning cerah yang berada di atas meja menarik Melody kembali dari lamunannya. Ia meraih buket itu perlahan, seolah takut seseorang ternyata salah mengalamatkan pemberian ini kepadanya.
Melody menyisir ke sekitarnya sejenak, menerka-nerka siapa yang meninggalkan bunga itu di meja tempat ia biasa duduk.
Namun misteri itu seketika terjawab saat mata Melody bertumbuk dengan Kaal.
Lelaki itu menatapnya dengan gelisah, wajah bersemu, serta kaki yang terus bergerak gugup di bawah meja.
Perasaan bahagia yang menggenang pada kadar darah Melody segera membuatnya meledak dalam tawa. Ia mendekap Daffodil itu erat ke dadanya sembari merasakan debar jantungnya yang berantakan.
Melody tengah jatuh cinta, berulang, pada orang yang sama, Melody is in love, in love, in love.
Ia tidak tahu kata apalagi yang dapat mendeskripsikan arti Kaal Vairav di dalam hatinya.
Daffodil artinya "Matahari selalu bersinar saat aku bersamamu"
...****...