NovelToon NovelToon
My Name Is Kimberly (Gadis Bercadar & CEO Galak)

My Name Is Kimberly (Gadis Bercadar & CEO Galak)

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Epik Petualangan
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Andi Budiman

Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Balik Layar

Setelah mandi dan sholat, Renata duduk di depan meja kerja. Rambutnya terbalut jilbab cream lembut. Ia berpakaian sederhana—kaos lengan panjang warna cerah dan celana panjang nyaman.

Namun, siapa sangka tampilan luar sederhana itu ternyata menopang kepala dengan IQ hampir menyentuh 150, membuat siapa pun tak akan menyangka bahwa Renata, siang ini, siap melakukan sesuatu yang jauh lebih rumit dari sekadar aktivitas rutin.

Pikiran Renata mulai fokus, bersiap menjejak dunia digital. "Ini bukan sekadar rasa penasaran," gumamnya dalam hati sambil membuka tas hitam kecilnya. "Ini soal melindungi Adi. Aku merasa ada sesuatu yang tak beres antara dia dan Karin. Sesuatu yang mereka sembunyikan, atau mungkin, bahkan mereka sendiri tak sadari."

Dari laci rahasianya Renata mengeluarkan tas kecil. Isi tas itu hanya sekumpulan alat-alat membingungkan bagi orang awam, tapi bagi Renata itu adalah "kit" hacking pribadi berupa perangkat canggih akses data yang sudah seperti kepanjangan inderanya sendiri.

Jari-jari lentik Renata pun segera bergerak pasti dan presisi memasang dan menyesuaikan perangkat keras canggih tambahan itu.

Renata mulai menyalakan modem dan sebuah PC desktop. Sebuah komputer modifikasi dengan spesifikasi luar biasa. PC desktop ini hasil racikan tangan dingin Renata sendiri. Prosesor Intel i9 generasi terbaru, RAM 64GB, dan SSD berkapasitas 2TB, semuanya dirancang untuk kecepatan dan kinerja maksimum. Layar OLED 17 inci yang lebar dan jernih pun jadi pusatnya.

"Semua orang berpikir hacking itu hanya tentang kode, tapi kali ini, juga soal bagaimana memahami manusia, sesuatu yang bahkan bisa jauh lebih rumit," pikirnya sambil mengamati boot-up sistem operasi khusus yang ia kembangkan sendiri. "Adi mungkin terlalu baik untuk melihat tanda-tanda itu, tapi aku tidak akan membiarkan dia terjebak dalam sesuatu yang bisa menghancurkan hidupnya."

Renata mulai menyiapkan lingkungan hacking-nya. Ia memasang Virtual Machine yang dikonfigurasi khusus untuk tugas-tugas rumit, termasuk perangkat lunak Kali Linux dengan semua alat penetrasi yang diperlukan. Setiap VM dirancang untuk melakukan tugas berbeda: ada VM untuk melakukan penetrasi ke perangkat keras target, VM lainnya bertugas menangani deskripsi, dan satu lagi untuk manipulasi data sosial media.

Ia mengeluarkan WiFi Pineapple, sebuah perangkat kecil berbentuk kotak untuk melakukan serangan Man-In-The-Middle atau MITM dalam mengintersepsi komunikasi antara Adi dan Karin tanpa diketahui. Dengan WiFi Pineapple, Renata dapat menangkap data yang dikirimkan melalui jaringan Wi-Fi dan menyimpan komunikasi yang telah terjadi, termasuk pesan dan panggilan telepon.

Ia menghidupkan alat tersebut dan matanya menyala menatap baris demi baris kode, seolah-olah dunia nyata menghilang dan hanya tersisa dunia digital dalam kendalinya.

"Semua ini, demi Adi," pikirnya. "Dia terlalu lembut, terlalu percaya. Dan Karin... ada sesuatu yang tidak bisa kuterima dari caranya bersikap. Selain tampak posesif kadang ia tampak terlalu sempurna, terlalu pas. Tak ada yang bisa seideal itu tanpa menyembunyikan sesuatu."

Renata membuka Wireshark, aplikasi untuk menangkap dan menganalisis paket data yang mengalir melalui jaringan. Dengan ini, Renata bisa memantau lalu lintas data real-time, termasuk percakapan dan pesan melalui berbagai aplikasi. Namun, kali ini ia fokus pada data tersimpan, mengakses rekaman dari server yang menyimpan data komunikasi yang telah lalu.

Untuk mengakses data yang sudah lewat, seperti pesan teks dan rekaman telepon, Renata memanfaatkan teknik forensik digital. Dengan menggunakan Metasploit Framework, ia mengeksploitasi kelemahan pada server cloud atau sistem penyimpanan Adi dan Karin.

Teknik ini memungkinkan Renata mengunduh data yang tersimpan di cloud, termasuk rekaman percakapan telepon dan pesan dari beberapa hari terakhir.

"Apakah mereka benar-benar bahagia? Atau semua ini hanya ilusi?" pikir Renata sambil menelusuri jejak-jejak digital yang tersisa di setiap pesan. "Karin, jika kau menyembunyikan sesuatu dari Adi, aku akan menemukannya."

Di sisi media sosial, Renata menjalankan OSINT atau Open Source Intelligence, untuk mengumpulkan informasi dari akun-akun sosial media Karin dan Adi.

Lalu ia menggunakan Maltego untuk memetakan hubungan sosial, mengidentifikasi pola komunikasi, dan mencatat setiap status aneh atau tidak konsisten dengan karakter mereka. Ia bahkan mengembangkan skrip Python khusus untuk melakukan web scraping dari halaman-halaman yang bersifat publik, mengunduh dan menganalisis data dalam hitungan detik.

"Dari luar, mereka tampak sempurna," pikir Renata, tangannya bergerak lincah di atas keyboard. "Tapi ada sesuatu di balik layar ini, sesuatu yang tidak sesuai dengan cerita yang mereka ciptakan di depan orang lain."

Setelah semua persiapan selesai, Renata memasang Snort, sebuah sistem deteksi intrusi, untuk memantau semua aktivitas di jaringan, memastikan bahwa tidak ada satu pun tanda bahwa hacking ini terdeteksi oleh siapapun, baik di perangkat Adi, Karin, atau pihak ketiga yang mungkin mencurigai aktivitas ini.

"Mereka tidak akan tahu apa yang terjadi," gumam Renata, setengah tersenyum dengan rasa percaya diri yang kuat. "Tapi aku akan tahu. Dan Adi... Adi akan selamat dari bencana ini."

Satu jam berlalu dalam kesunyian bercampur suara kipas CPU yang berputar cepat dan ketukan jari Renata di atas keyboard. Matanya fokus pada layar, menelusuri baris-baris kode dan data yang terus mengalir. Setiap detik terasa seperti menit, dan setiap menit seperti jam. Renata hampir tak berkedip, sepenuhnya tenggelam dalam dunia digital dalam genggamannya.

Beberapa detik kemudian, sebuah notifikasi muncul di layar:

Data successfully retrieved.

Renata membuka file hasil hack-nya dengan perasaan campur aduk. Ia menelusuri percakapan serta status sosial media Karin dan Adi yang berhasil diunduh dan dideskripsi. Di sana, ia menemukan banyak hal yang membuatnya tercengang—beberapa status Karin yang secara tidak langsung menunjukkan obsesi berlebihan, sementara percakapan Adi dengan teman dekatnya menunjukkan ketidakyakinannya dalam hubungan ini.

"Dugaanku benar," bisiknya. Mata Renata membelalak dengan campuran emosi antara lega dan khawatir. "Mereka sepertinya tidak cocok."

Tangan Renata terhenti di atas keyboard. Ia mendapatkan bukti, namun hal ini justru membuatnya semakin cemas. Kecurigaannya terbukti benar, tetapi apa yang akan ia lakukan dengan informasi ini? Di satu sisi, ia harus melindungi kakaknya, namun di sisi lain, ia tak ingin menghancurkan hubungan yang mungkin masih bisa diperbaiki.

"Adi, apa yang harus kulakukan?" gumam Renata, suara hatinya penuh dengan keraguan. "Jika kau tahu apa yang kutemukan, apa kau akan tetap mencintainya? Atau ini justru akan menghancurkanmu?

Renata menggeser kursi ergonomisnya sedikit lebih dekat ke meja, mengklik beberapa ikon untuk membuka rekaman percakapan terbaru antara Adi dan Karin. Sambil menunggu file terbuka, ia merasa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, meskipun ia tidak yakin apakah itu karena rasa khawatir atau penasaran.

Ketika layar menampilkan percakapan itu, Renata membaca baris pertama pesan Karin yang berbunyi:

"Sayang, kamu selalu bikin aku senyum-senyum sendiri di mana pun. Orang-orang pasti ngira aku gila!" Renata tertawa kecil, tapi tawanya segera berubah menjadi keseruisan bercampur geli. "Ya ampun, ini terlalu manis," gumamnya.

Ia melanjutkan membaca, kali ini menemukan pesan balasan Adi:

"Kalau kamu gila, aku akan menemanimu, biar kita gila bareng-bareng sekalian. Hehe." Renata spontan memutar matanya. "Apa-apaan ini? Adi benar-benar mengetik kalimat ini? Mereka serius?"

Saat percakapan semakin dalam, Renata mulai merasa ada sesuatu yang mengganjal. "Kenapa ada bagian di mana mereka terlalu saling tergantung?" pikirnya sambil terus membaca.

Lalu ada percakapan lain yang membuatnya benar-benar mual. Karin menulis, "Kalau kamu nggak balas chat aku dalam 5 menit lagi, aku bakal nangis deh." Adi, dengan polosnya, membalas, "Jangan nangis, nanti aku bawain es krim, ya."

Renata menggelengkan kepala, berusaha menahan rasa jijik dan geli secara bersamaan. "Serius, Karin? Menangis hanya karena tidak dibalas dalam lima menit? Dan Adi, kenapa kamu mengikuti permainan ini?"

Renata semakin yakin bahwa hubungan mereka bukan hanya aneh, tetapi juga memiliki benih-benih toxic. Ketergantungan emosional berlebihan ini bisa menjadi bom waktu jika dibiarkan terus berkembang.

Ia mencatat beberapa hal penting di pikirannya: "Ini bukan sekadar romansa, ini terlihat lebih seperti obsesi. Mereka terlalu terpaku satu sama lain, dan itu tidak sehat."

Setelah rehat sejenak, Renata terkejut. Pandangan matanya tertuju pada layar yang menampilkan rekaman percakapan telepon antara Adi dan Karin pagi tadi.

Dengan sedikit perasaan bersalah karena mencoba mengetahui sekali lagi rahasia pribadi kakaknya, Renata pun dengan hati-hati mengenakan headphone lalu membuka rekaman itu.

“Semua ini demi Adi…” bisiknya, meyakinkan dirinya sendiri.

Rekaman dimulai dengan suara Karin yang penuh tuntutan dan nada tinggi. "Adi, kamu belum bilang kalau kamu harus pergi pagi ini! Acara kita tidak boleh batal, kita harus pergi untuk fitting baju pengantin hari ini. Aku tidak mau tahu, jemput aku sekarang juga!"

Suara Adi terdengar letih dan tertekan. "Karin, aku harus ketemu Monsieur Philippe dari Prancis. Ini penting. Kamu tahu betapa sulitnya mengatur jadwal klien internasional. Mumpung dia ada di Indonesia. Aku juga sudah berusaha untuk menunda, tapi tidak bisa. Nanti malam dia berencana pulang, lewat red-eye flight dari bandara Soekarno-Hatta ke Prancis."

Karin mengeraskan suaranya. "Jadi, aku tidak penting? Fitting baju itu sudah direncanakan sejak lama. Kalau kamu benar-benar peduli, kamu akan mencari cara untuk membatalkan pertemuan itu!"

Renata bisa membayangkan betapa panasnya situasi saat itu. Di rekaman, Adi tampak mencoba tetap tenang meskipun nada suaranya semakin tidak stabil. "Karin, aku sudah mengatur segalanya. Aku tidak bisa membatalkan pertemuan ini begitu saja, apalagi klien ini sangat penting untuk perusahaan."

Karin tidak merespons dengan cara yang menenangkan. "Lalu aku tidak penting? Hanya karena kamu terjebak dalam rutinitas kerja yang monoton, aku harus menunggu tanpa kepastian? Kamu tidak pernah memikirkan aku!"

“Monoton? Tanpa kepastian? Karin, aku benar-benar tidak mengerti. Kalau hanya soal fitting baju, kita bisa undur rencana itu nanti siang. Itu pun kalau bisa. Aku tidak tahu, karena saat ini Monsieur Philippe masih di Bali. Kalau tidak siang, mungkin… besok.” bujuk Adi, mencoba sekali lagi.

“Oh, jadi hanya soal fitting baju? Dan kamu bisa mengubah rencana seenaknya, begitu?” sahut Karin dengan nada mendominasi.

Pertengkaran itu terus berlanjut, dengan emosi Karin dan Adi yang berusaha menahan sabar. Di satu titik, suara Adi terdengar sangat lelah, seolah-olah dia telah mencapai batasnya. "Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, Karin. Aku cuma ingin kamu mengerti betapa pentingnya hal ini untukku."

Rekaman itu berakhir dengan suara Karin yang semakin menjauh, sementara Adi tampak semakin tertekan dan kehabisan kata-kata. Namun ada kata terkakhir yang diteriakan Adi, “Oh tidak! Sepatuku,” sebelum akhirnya panggilan benar-benar berakhir.

Renata terduduk, mematung. Terbukti sudah bahwa hubungan mereka memang jauh dari ideal, dan ada benih-benih konflik yang menunjukkan ketidakcocokan cukup serius.

Renata menutup aplikasi pemutar rekaman dengan perasaan campur aduk antara terkejut dan cemas. "Ini lebih buruk dari yang aku duga," gumamnya, seraya melepaskan headphone dari kepalanya yang tertutup kerudung.

Sambil bersandar ke kursi, Renata menghela napas panjang. "Kasihan Adi," gumamnya, merasa empati sekaligus khawatir. "Dia layak mendapatkan yang lebih baik, bukan hubungan penuh drama seperti ini."

Dengan perasaan semakin yakin bahwa ia harus melakukan sesuatu, Renata mulai merencanakan langkah selanjutnya, sambil terus mengawasi setiap tanda-tanda bahaya yang muncul dari percakapan aneh dan menyesakkan antara kakaknya dan Karin.

Setelah mengumpulkan sampel-sampel percakapan chat dan audio, Renata memutuskan untuk men-convert data audio serta mencetak data tertulis termasuk pemetaan hubungan sosial hasil analisis Maltego.

Meskipun hatinya masih diliputi keraguan, nalurinya mengatakan bahwa data ini mungkin akan berguna suatu saat nanti.

Ia menyalakan printer pribadi di sudut meja, sebuah perangkat printing canggih berkecepatan tinggi dengan kualitas cetak luar biasa. Sambil menunggu perangkat tersebut siap, Renata mengatur data di layar, memastikan bahwa semua pesan penting dan bukti-bukti yang ia rasa relevan sudah tersusun rapi.

"Entah untuk apa data ini," gumam Renata pada dirinya sendiri. "Tapi lebih baik aku siap-siap saja. Siapa tahu suatu saat nanti akan berguna."

Printer mulai mengeluarkan suara lembut saat mulai mencetak. Halaman demi halaman keluar dengan cepat, setiap lembar penuh dengan teks percakapan, status dan hasil analisis Maltego yang telah ia ekstrak.

Mata Renata mengikuti proses itu dengan saksama. Perasaan campur aduk antara khawatir dan tanggung jawab memenuhi benaknya.

Dia sadar bahwa ini mungkin terlalu cepat, tapi Renata merasa perlu menjaga data ini sebagai cadangan. Ia masih memikirkan kecil kemungkinan bahwa hubungan Adi dan Karin masih bisa diperbaiki, meskipun tanda-tanda yang ia lihat justru menunjukkan sebaliknya.

Saat lembar terakhir keluar dari printer, Renata merapikan hasil cetakannya dan meletakkannya di dalam folder hitam. Ia menatap folder itu sejenak, berpikir dalam-dalam.

"Semoga aku salah, dan data ini tak akan pernah perlu digunakan," bisiknya pelan.

1
MUSTIKA DEWI
Cerita nya bagus👍👍👍
jangan lupa mampir, ya di cerita ku
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!