Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Puncak Kehilangan
Adi masih berlutut tak jauh dari pengemudi excavator. Kakinya gemetar, tubuhnya terasa berat. Tapi adi masih merasakan desakan dalam dadanya. Ia belum mau menyerah.
Adi mengangkat wajahnya.
Tiba-tiba pandangannya terfokus pada jalan menanjak yang menuju puncak bukit sampah yang tersusun rapi dalam terasering. Puncak itu tampak seolah-olah menantangnya, sebuah medan terakhir yang harus ia taklukkan.
Tiba-tiba Adi bangkit kemudian berlari ke arah jalan menanjak itu. Kimi dan dua vlogger mengikutinya.
Pengemudi excavator, yang melihat pergerakan mereka segera berteriak. "Hey, kalian jangan ke sana! Bahaya!”
Adi dan yang lainnya tetap bergerak mulai mendaki jalan itu.
“Kalau begitu jangan menyalakan api. Gas metana di sana gampang meledak," teriaknya lagi memperingatkan, dengan nada yang lebih serius.
Adi tak peduli. Dalam dadanya, hanya ada satu tekad: dia harus menemukan sepatu itu. Meskipun seluruh tubuhnya menolak, kakinya bergerak, berdiri dengan langkah berat.
Tanpa berpikir untuk mundur, Adi terus mendaki menuju puncak bukit sampah itu. Ia mendengar peringatan itu, tapi ia tak peduli.
Kimi terus mengejar, tidak ingin membiarkan Adi sendirian dalam keadaan seperti itu.
"Adi, tunggu!" serunya dengan suara yang bercampur antara keprihatinan dan ketakutan.
Dua vlogger yang sejak tadi setia merekam pun ikut mendaki mengikuti Adi dan Kimi, dengan kamera terus menyala, merekam setiap detik dari momen yang semakin dramatis ini.
Langkah demi langkah, Adi menaiki bukit terasa seperti jalan menuju ujung dunia. Setiap tapak kakinya seolah menekan perasaan yang semakin dalam: rasa putus asa, kelelahan, dan kesedihan.
Angin sore membawa bau busuk yang semakin menyengat, namun Adi tidak lagi peduli. Matanya tertuju pada puncak yang semakin mendekat, dan hati maupun pikirannya terus berperang antara keyakinan dan keraguan.
Apakah sepatunya benar-benar ada di sana? Atau apakah semuanya sia-sia?
Begitu sampai di puncak, pemandangan yang menakutkan terbentang di depan mereka: hamparan luas lautan sampah, tak berujung, tak bertepi.
Adi berhenti, berdiri mematung di tengah ketinggian itu, matanya liar memandang sekeliling. Tak ada satu pun titik yang memberinya petunjuk.
Tak ada satu pun yang bisa menjawab pencariannya. Hanya ada lautan sampah yang sunyi dan menakutkan.
Rasa putus asa yang menghantui Adi selama ini tiba-tiba meledak. Seperti ada sesuatu yang pecah dalam dirinya. “Ayah, Ibu…” gumamnya.
Kemudian dengan suara yang parau dan penuh rasa bersalah, Adi berteriak sekencang-kencangnya,
"Maafkan aku Alessandro, maafkan aku!"
Suaranya menggema di antara tumpukan sampah, hanya untuk tenggelam dalam keheningan yang dingin.
Tidak ada jawaban. Tidak ada pengampunan.
Tubuh Adi terasa begitu lemas, kekuatannya seolah terkuras habis oleh rasa kecewa yang menghancurkan.
Kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya yang lelah, dan ia pun jatuh berlutut di atas tumpukan sampah yang basah dan kotor.
Di sana, ia merasa seperti seorang pecundang yang gagal melindungi sesuatu yang sangat berharga.
Kimi mendekat, meski langkahnya terasa berat dan sulit di medan yang tidak bersahabat ini.
Dengan air mata yang terus mengalir di pipinya yang terhalang niqab, ia menatap Adi yang tampak begitu hancur.
Tidak ada lagi kata-kata yang bisa menenangkan, hanya ada kenyataan yang pahit. Namun, ia tahu ia harus mencoba.
"Adi..." suara Kimi terdengar lembut, meski gemetar karena emosi yang begitu dalam, "mungkin sekarang keikhlasan adalah cara terbaik untuk menghormati ayah dan ibumu, juga… Alessandro.
Andai saja saat ini Alessandro melihatmu, bagaimana perjuangan-perjuanganmu melindungi karyanya, bagaimana hatimu tersayat-sayat karena kehilangan karyanya, saya yakin Alessandro akan menghormatimu, bahkan mencintaimu lebih dari… orang-orang yang menyimpan sepatu mereka dalam lemari-lemari kaca, dimana penghormatan mereka akan karya Alessandro tak pernah terbukti, oleh kesulitan seperti yang kamu dan kita semua alami ini, meskipun kenyataannya sepatu itu mungkin… mungkin… tak akan pernah lagi ditemukan karena selamanya terkubur di sini."
Adi mendengarkan kata-kata Kimi, meski pandangannya tetap tertuju ke hamparan sampah dibawah kakinya. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang menyentuh hati kecilnya, sesuatu yang mulai meredakan amarah dan kecewa yang menguasai dirinya.
Perlahan-lahan, Adi mulai merasa lebih tenang, meskipun rasa sedih itu masih menggantung berat di hatinya.
Dua vlogger yang sejak tadi merekam, ikut tersentuh oleh suasana yang begitu mendalam ini.
Mereka tidak lagi memandang ini sebagai sekadar konten, tetapi sebagai sebuah momen yang menggambarkan kepedihan, harapan, dan keikhlasan dalam bentuk yang paling tulus.
Air mata mereka mengalir, meski mereka mungkin belum sepenuhnya memahami makna sepatu itu bagi Adi.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Adi akhirnya menghela napas panjang. Ia berusaha untuk bangkit, meski tubuhnya terasa begitu lelah.
Dengan susah payah, ia berdiri dan memandang lautan sampah di hadapannya untuk terakhir kali. Dalam hatinya, ia mulai menerima kenyataan pahit bahwa mungkin sepatu itu telah terkubur selamanya di sini.
Tanpa berkata-kata lagi, Adi mulai menuruni bukit sampah itu, langkahnya lambat namun lebih mantap.
Kimi dan dua vlogger mengikuti di belakangnya, masih merekam, masih merasakan beratnya momen itu. Matahari semakin condong ke ufuk barat, seolah mengisyaratkan akhir dari sebuah perjalanan yang berat.
Di bawah sinar senja yang semakin jingga, mereka menuruni bukit itu dengan perasaan yang campur aduk. Adi mungkin telah kehilangan sesuatu yang berharga, tetapi di puncak bukit sampah itu, ia juga menemukan sesuatu yang lebih besar: penerimaan.
Mereka berjalan perlahan, meninggalkan bukit yang sunyi dan berbahaya itu, menuju ke arah yang mungkin bisa memberikan mereka sedikit kedamaian usai badai yang baru saja mereka lalui.
Di sektor 3C Adi dan Kimi segera masuk ke dalam bajaj kuning mereka.
Si vlogger perempuan, yang masih penasaran dengan kisah Adi, memohon izin untuk melanjutkan peliputan selama perjalanan. Ia meminta supaya bisa ikut dan duduk di kursi belakang bajaj bersama Kimi. Adi mengangguk, tanda persetujuan.
“Kita bisa lanjutkan wawancara di jalan,” ujar Adi, suaranya masih terdengar serak karena perasaan yang baru saja ia keluarkan.
Vlogger perempuan itu duduk di samping Kimi dalam bajaj, sementara vlogger laki-laki memilih untuk naik motor sendirian, mengikuti di belakang.
Mereka bergerak keluar dari area TPST Bantar Gebang menuju jalanan Jakarta yang padat, namun kini kemacetan di jalan raya Mabes Hankam dan TB Simatupang sudah terurai, membuat perjalanan lebih lancar.
Di tengah perjalanan yang semakin meredup menjelang senja, vlogger perempuan itu mulai bertanya dengan hati-hati,
“Kalau boleh tahu, ada apa sebenarnya dengan sepatu itu, Pak Adi? Mengapa sepatu itu begitu berharga bagi Anda?”
Adi terdiam sejenak, menatap lurus ke depan. Setelah beberapa detik, ia mulai membuka hatinya kembali.
“Sepatu itu… bukan sekadar barang biasa bagiku. Itu adalah sepatu Berluti asli Prancis, edisi démesuré. Ayahku memesannya secara khusus, langsung di Prancis.”
Adi menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Genom kaki kami begitu persis. Sepatu itu pas dan nyaman di kaki ayahku, begitu juga di kakiku. Beberapa tahun yang lalu, sepatu itu diberikan ayahku sebagai simbol ketika beliau menyerahkan urusan perusahaan kepadaku.”
Vlogger perempuan itu mengangguk, mendengarkan dengan seksama, sementara Kimi memandang Adi dengan tatapan penuh pengertian.
“Setiap kali aku mengenakan sepatu itu,” lanjut Adi, suaranya semakin berat dengan emosi, “Aku selalu merasa ada bagian dari ayahku yang selalu bersamaku. Kini, ketika sepatu itu hilang… rasanya seperti kehilangan suatu bagian dari diriku sendiri.”
“Sepatu itu juga memiliki monogram yang melambangkan nama ibuku,” Adi menambahkan, “Itu membuat sepatu itu semakin berharga bagiku. Sepatu itu bukan hanya barang, tapi juga kenangan dan simbol penting dalam hidupku. Bukan hanya simbol penyerahan perusahaan, bukan hanya simbol kesetiaan ibuku mendampingi ayahku, tapi juga merupakan simbol sosok menginspirasi pembuatnya: Alessandro Berluti.”
Adi meneruskan perkataannya, “Meskipun bukan hasil karya tangannya secara langsung, namun sepatu itu sudah seperti hasil karyanya sendiri. Karya luar biasa itu telah menginspirasi ayahku dan juga aku sendiri untuk terus berkarya dalam membuat sepatu dengan penuh cinta dan dedikasi, hingga saat ini.”
Vlogger perempuan itu menarik napas panjang, seakan meresapi kedalaman emosi yang tersingkap di hadapannya, merasakan sejenak beban sentimental yang terbungkus dalam setiap kata yang diucapkan Adi.
Dalam kesempatan berikutnya si vlogger perempuan sesekali melirik ke arah niqab Kimi, tampak tertarik dengan cara berpakaian Muslimahnya, namun ia memilih untuk tidak membahasnya saat itu, menghormati perasaan Adi yang masih diliputi duka.
Sepanjang perjalanan, Adi sesekali masih menangis, air matanya diseka dengan tangan gemetar, berusaha menguatkan diri. Kimi, di sisinya, hanya bisa memberi dukungan dalam diam, memahami betapa beratnya perasaan Adi saat ini.
Senja semakin jingga, menyelimuti kota dengan cahaya yang hangat namun penuh kesedihan. Jam di ponsel Kimi menunjukkan hampir pukul enam sore. Perjalanan mereka menuju Kemang semakin dekat.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.