Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyelamatan Terakhir
Langkah kaki di luar rumah semakin mendekat. Suara itu menggema dalam keheningan malam, seolah-olah menyatu dengan ketukan jantung Alia yang semakin cepat. Di sudut ruangan, Aldo sudah bersiap, tubuhnya tegang dan matanya terus menatap pintu. Rendra berdiri tak jauh darinya, kedua tangannya mengepal erat, bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.
"Alia, kamu harus tetap tenang," bisik Rendra dengan suara rendah, namun tegas. "Kita nggak tahu siapa yang datang. Bisa jadi polisi, atau bisa juga... musuh kita."
Alia mengangguk, walau dalam hatinya, kegelisahan terus menggerogoti. Bagaimana mungkin dia bisa tenang ketika Rio tergeletak sendirian, entah hidup atau mati, sementara mereka terjebak di rumah ini tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya? Seolah segalanya sudah di luar kendali, dan dia tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubahnya.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan. Tiga kali, ritmenya pelan tapi pasti. Mereka semua terdiam, menunggu tanda-tanda berikutnya. Siapa yang ada di balik pintu? Apakah mereka sekadar melewati rumah ini, atau mereka tahu kalau Alia dan kawan-kawannya bersembunyi di sini?
Rendra bergerak mendekati pintu, lalu mengintip lewat celah kecil di jendela. Alisnya berkerut sejenak sebelum dia menoleh ke Aldo. "Gue nggak bisa lihat jelas. Tapi mereka bawa senjata."
Alia merasa tubuhnya menegang. Senjata? Itu berarti bahaya. Tapi siapa yang bisa berada di luar sana dengan senjata? Apakah polisi telah menemukan tempat persembunyian mereka, atau ini adalah kelompok lain yang mencari mereka?
Ketukan kembali terdengar, kali ini lebih kuat, menandakan ketidaksabaran di baliknya. Mereka semua saling bertukar pandang, tak tahu harus mengambil keputusan apa. Akhirnya, Aldo, dengan gerakan cepat, mendekati pintu sambil membawa sebatang kayu yang ditemukannya di sudut ruangan. Dia bersiap membuka pintu sedikit demi sedikit, siap untuk menyerang siapa pun yang berada di baliknya jika perlu.
"Siap?" bisik Aldo, memastikan yang lain bersiap jika sesuatu yang buruk terjadi.
Dengan napas yang tertahan, Alia dan Rendra mengangguk, jantung mereka berdegup kencang. Aldo meraih gagang pintu, lalu dengan cepat menariknya terbuka. Pintu terbuka sedikit, hanya cukup untuk melihat siapa yang ada di baliknya.
Tiba-tiba, suara itu menyapa mereka. "Tenang, gue di pihak lo!"
Sebuah suara yang familiar membuat mereka semua terkejut. Di luar, berdiri seorang pria yang sudah sangat mereka kenal: Dani, salah satu teman dekat Rio yang sudah lama menghilang. Namun kali ini, Dani tidak datang dengan senyum ramah yang biasa, wajahnya tegang, dan dia tampak tergesa-gesa.
"Dani?" tanya Rendra, masih tidak percaya. "Apa yang lo lakukan di sini?"
Dani melangkah masuk dengan cepat, lalu menutup pintu di belakangnya. "Gue nggak punya banyak waktu untuk jelasin, tapi kita harus keluar dari sini sekarang juga," katanya sambil melirik ke arah luar jendela. "Polisi sudah tahu keberadaan kalian di sini. Gue berhasil mengulur waktu mereka sedikit, tapi mereka akan segera datang."
"Apa maksud lo?" tanya Aldo, masih memegang kayu di tangannya. "Lo kerja buat siapa?"
"Gue di sini buat bantu Rio," jawab Dani tegas, menatap langsung ke mata Alia. "Dan lo juga, Alia. Gue tau situasi ini udah semakin gawat, dan kalau kita nggak segera pergi, kita semua bakal tertangkap."
Alia merasakan denyut jantungnya semakin cepat mendengar nama Rio disebutkan. "Rio... Dia masih hidup?"
Dani mengangguk, walaupun tampak ragu. "Gue nggak tahu pasti kondisinya sekarang, tapi gue berhasil nemuin tempat dia dibawa setelah tembakan itu. Dia dibawa ke sebuah tempat persembunyian, dan kita harus bergerak cepat kalau kita mau menyelamatkan dia."
Mendengar itu, Alia merasa seperti ada secercah harapan yang muncul di tengah keputusasaan. Tapi seketika, kekhawatiran juga muncul. "Kalau Rio dibawa ke tempat persembunyian, berarti dia nggak aman. Kita harus segera menjemputnya sebelum terlambat."
Rendra melangkah maju, wajahnya serius. "Tapi bagaimana kita bisa yakin kalau ini bukan jebakan? Lo tiba-tiba muncul di sini setelah lama nggak ada kabar, dan sekarang lo minta kita ikut lo?"
Dani menggeleng. "Gue paham kalau lo nggak percaya, tapi sekarang bukan waktunya buat debat. Kalau kita tetap di sini, polisi akan datang dan kita semua akan berakhir di penjara, atau lebih buruk lagi, tewas." Dia menatap tajam ke arah Rendra. "Gue nggak akan muncul di sini kalau gue bukan temen lo, dan kalau bukan buat bantu Rio."
Aldo dan Rendra saling bertukar pandang. Alia, di sisi lain, sudah memutuskan. Dia akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan Rio, bahkan jika itu berarti mengambil risiko besar. "Kita nggak punya pilihan lain," katanya, suaranya tegas. "Kita harus pergi sekarang."
Rendra dan Aldo akhirnya mengangguk, walau tampak ragu. "Baiklah, tapi kalau lo mengkhianati kita, Dani, lo bakal menyesal," ancam Rendra dengan nada rendah.
Dani hanya tersenyum tipis, lalu bergerak cepat keluar rumah, diikuti oleh yang lainnya. Langkah-langkah mereka cepat dan terkoordinasi, berlari melalui gang-gang gelap di bawah bayang-bayang malam. Jalan yang mereka tempuh sempit dan tersembunyi, seolah sudah direncanakan sebelumnya oleh Dani. Alia hanya bisa berharap bahwa keputusan mereka untuk mempercayai Dani adalah pilihan yang tepat.
Saat mereka hampir sampai di ujung gang, Dani berhenti mendadak, memberikan isyarat agar yang lainnya berhenti juga. Dia menunduk, menatap ke arah jalan utama yang tampak kosong. "Mereka udah mulai menyebar," katanya dengan nada rendah. "Tapi kita masih punya waktu buat kabur ke arah timur."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka semua bergerak kembali, mengikuti instruksi Dani. Alia terus berlari, otaknya dipenuhi oleh satu hal: Rio. Dia harus menyelamatkannya, apa pun yang terjadi.
Setelah berlari selama beberapa menit, mereka akhirnya sampai di sebuah gedung tua yang tampak seperti sudah lama tidak digunakan. Dani berhenti di depan pintu besar yang tampak berat, lalu menarik napas panjang. "Ini dia."
"Rio ada di dalam?" tanya Alia, matanya berbinar penuh harapan.
Dani mengangguk. "Gue yakin dia masih di sini."
Rendra dan Aldo segera mengambil posisi di sekitar pintu, bersiap kalau-kalau mereka harus menghadapi perlawanan. Dani meraih gagang pintu, menariknya perlahan, dan mempersilakan mereka masuk. Alia merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia berharap bisa melihat Rio dalam keadaan baik, berharap semuanya belum terlambat.
Namun, saat mereka memasuki gedung, sebuah suara mendadak terdengar dari dalam kegelapan.
“Kalian datang tepat waktu.”
Sosok misterius muncul dari balik bayangan, senyum licik menghiasi wajahnya. Dan di belakangnya, Rio, dalam keadaan tak sadarkan diri, terikat di kursi. Darah segar masih terlihat di bagian sisi tubuhnya.
"Selamat datang di akhir permainan," ujar pria itu, dengan nada penuh kemenangan.
Di hadapan mereka, Rio terbaring tak berdaya di bawah pengawasan seorang musuh yang berbahaya. Apakah ini benar-benar akhir dari segalanya? Atau masih ada kesempatan untuk membalikkan keadaan?