Ketika yang semua orang anggap hanya omong kosong menyerbu dari utara, saat itulah riwayat Suku Gagak menemui akhirnya.
Tanduk Darah, iblis-iblis misterius yang datang entah dari mana, menebar kekacauan kepada umat manusia. Menurut legenda, hanya sang Raja Malam yang mampu menghentikan mereka. Itu terjadi lima ribu tahun silam pada Zaman Permulaan, di mana ketujuh suku Wilayah Pedalaman masih dipimpin oleh satu raja.
Namun sebelum wafat, Raja Malam pernah berkata bahwa dia akan memiliki seorang penerus.
Chen Huang, pemuda bernasib malang yang menjadi orang terakhir dari Suku Gagak setelah penyerangan Tanduk Darah, dia tahu hanya Raja Malam yang jadi harapan terakhirnya.
Apakah dia berhasil menemukan penerus Raja Malam?
Atau hidupnya akan berakhir pada keputusasaan karena ucapan terakhir Raja Malam hanya bualan belaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arisena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode : 33 — Sandiwara
Mereka hanya mengaku-ngaku sebagai sekte aliran putih. Nyatanya, yang terjadi justru lain daripada segala macam putih.
Mereka bahkan lebih parah dari sekte hitam yang melakukan kejahatan dengan terus terang, Sekte Pedang Kelabu lebih memilih menyewa orang agar menjaga kebersihan tangannya.
Pembunuhan secara diam-diam, perebutan sumber daya, dan apa pun itu lebih sering dilakukan oleh Bulan Menangis atau organisasi pembunuh bayaran lainnya.
"Jangan kau bertindak hanya dengan patokan mana yang putih dan mana yang hitam." Pagi itu, Bai Li sudah berceramah soal keadilan—Chen Huang pikir ia telah lupa dengan gigitan di lehernya. "Bertindaklah berdasarkan kebenaran, begitulah."
"Kau menggigit leherku, kalau kau lupa."
Tangan Bai Li yang tadinya terangkat dengan sikap bijaksana langsung berkedut dan melengkung. "Maksudku, Sekte Pedang Kelabu itu sombong! Mereka mencemarkan nama baik sekte-sekte aliran putih lainnya. Sudah lama aku merasa tak suka. Kalau saja bukan karena dendamku, aku pasti sudah pergi sejak dahulu kala."
"Satu lagi yang membingungkanku," Chen Huang mengangkat jari telunjuk. "Kami harus merapal mantra untuk memunculkan Simbol Magis, itu pun hanya perlu bisikan. Apakah orang-orang Pedang Kelabu harus menjerit dengan suara kacau setiap kali mereka mengeluarkan jurus? Bahkan kami orang-orang Wilayah Pedalaman, sama sekali tidak berpikir untuk menamai jurus-jurus semacam itu. Bertarung ya bertarung, habis perkara."
Bai Li tertawa tanpa mampu dicegah. "Itulah bagian yang paling kubenci," katanya. "Mereka hanya menyombongkan diri. Jurus Dewa Petir, Amarah Halilintar, Badai Pedang, Hujan Kabut, itu semua adalah jurus-jurus ciptaan Sekte Pedang Kelabu. Dengan berteriak seperti itu, orang akan langsung tahu identitas mereka dan itulah yang mereka inginkan."
"Dan kau pernah jadi bagian dari orang-orang tolol itu."
"Diam kau!' Tangan Bai Li bergerak cepat, menarik rambut Chen Huang. "Lebih baik kau lanjutkan kultivasimu. Sekarang, habiskan Apel Beku."
Sambil meringis menahan sakit, Chen Huang menjawab. "Bukankah masih ada banyak sumber daya untuk Tingkat Langit yang lain?"
"Jangan terlalu bergantung pada sumber daya. Itu justru memperburuk kultivasimu, percayalah." Bai Li melepas terikannya. "Kultivasimu hanya akan jadi setengah matang bila terus mengonsumsi sumber daya itu."
Chen Huang masih terus membantah. "Kau menyuruhku mengonsumsi Apel Beku."
"Banyak omong, lakukan saja apa kataku, aku lebih tahu daripada kau!" Dengan tubuh bongkoknya, Bai Li keluar dari kamar Chen Huang. "Aku ingin ketika hari yang dijadwalkan tiba, kau sudah mengalami peningkatan walau sedikit."
"Tapi, kau memintaku untuk bertarung dengan teknik khas Wilayah Pedalaman. Apa sih maumu?"
Gigi Bai Li bergemeletuk. "Lakukan sesukamu, Bocah!"
...----------------...
Hanya dalam waktu tiga hari, Chen Huang tidak mengalami kemajuan yang cukup pesat. Itu bukan masalah penting untuk sekarang. Dia hanya ingin meningkatkan kultivasi sekadarnya, seperti saran Bai Li. Jika memang kultivasi sudah tercemar, senjata paling ampuh adalah Simbol Magisnya.
"Lima belas orang, kurang?" Guo Nan sendiri yang mengantar pasukan penolong Chen Huang—pasukan pura-pura.
Dengan mata tajamnya, Bai Li menatap mereka satu per satu. Tak ada yang berada di Tingkat Bintang ke bawah. Wanita itu mengangguk-angguk. "Cukup. Kalau sampai dia mati, berarti salahnya sendiri."
"Bagaimana dengan leluhurmu?" Chen Huang mengingatkan dengan tenang.
"Maksudku, jangan sampai dia mati, bagaimanapun caranya."
Guo Nan mengangguk. "Percayakan pada mereka."
Lima belas orang itu adalah orang-orang dengan pakaian kasar dan rata-rata memiliki wajah ramah. Ketika mereka dibawa keluar, ternyata di sana sudah ada gerobak besar untuk berdagang.
"Penyamaran sebagai pedagang yang kebetulan lewat, kurasa tidak buruk juga."
Bai Li mengangguk setuju. "Chen Huang, lindungi dirimu baik-baik. Aku akan terus membayangi, tapi jangan mengharapkan bantuanku."
"Baiklah."
Lima belas orang itu naik ke atas gerobak, salah satu dari mereka duduk di kursi paling depan menjadi kusir.
Setelah dirasa sudah siap, Guo Nan membalikkan tubuh menghadap mereka. "Nah, aku sendiri bertugas sebagai orang yang akan memancingnya ke Hutan Lembah." Dia menutupkan kerudung mantelnya. "Aku berperan sebagai seorang tukang kayu yang meminta bantuan seorang anak muda."
Ketika Chen Huang diberi selembar kertas dari cincin penyimpanan Guo Nan, dia mengerutkan kening. "Apa ini?"
"Ucapkan kata-kata itu," ujar Guo Nan singkat.
Chen Huang mengamati lebih teliti, ternyata isi dari kertas tersebut adalah sebuah naskah. Dia terbelalak dibuatnya. Itu adalah percakapan yang harus diucapkan Guo Nan dan Chen Huang untuk main sandiwara.
Pemuda itu memelototi Bai Li yang pura-pura tidak lihat. Ketika dia memandang Guo Nan, pria itu sudah sibuk untuk mengikat kayu bakar.
"Tak ada yang memberitahuku soal ini," katanya. "Aku harus latihan."
"Kalau kau latihan, bisa jadi akan ketahuan," berkata Bai Li dengan sikap bijaknya yang dibuat-buat. "Lakukanlah, Anak Muda, Dewa bersama kita."
"Tolong, jangan bersikap seperti itu."
Waktu yang dijanjikan adalah senja, maka siang hari itu Guo Nan sudah keluar desa bersama Chen Huang.
Untuk membuat sandiwara ini lebih nyata, Guo Nan memberi Chen Huang baju compang-camping, menunjukkan bahwa dia baru saja tertimpa mala petaka.
Akan tetapi, sayang sekali, keduanya amat buruk untuk melakukan hal itu.
Guo Nan yang berperan sebagai tukang kayu tampak terlalu gagah dan garang. Mata tajam dengan alis tebal itu berhasil menakuti beberapa anak kecil yang lewat.
Di sebelahnya, penampilan Chen Huang pun hanya memprihatinkan dalam segi pakaian, tidak dengan wajah atau hal lain. Rambutnya bersih, wajahnya juga masih tampak tampan dan bersahaja. Dia mencoba memasang sikap sedih, tapi hanya bertahan selama lima tarikan napas sebelum pipinya kesemutan.
"Cukup hafalkan kata-katamu," perintah Guo Nan ketika mereka sudah mendekati Hutan Lembah. "Kawan-kawan yang lain sudah menunggu di sana."
Tak lama setelahnya, mereka mulai memasuki naungan Hutan Lembah yang ditumbuhi pohon-pohon dengan jarak tak terlalu dekat. Walau demikian, tempat ini cukup sepi karena sudah cukup jauh dari Kota Lembah.
Guo Nan membawa Chen Huang ke arah jalan turunan setelah kelokan. Saat ini, Kota Lembah benar-benar tak terlihat karena tertutup sebuah tebing batu cadas.
"Mulai," bisik Guo Nan saat melihat bayangan-bayangan berkelebat di kejauhan.
"Paman, kalau kau meminta bantuanku hari ini, apakah hari-hari sebelumnya kau selalu minta bantuan pemuda lain?"
Guo Nan tertawa, seram. "Hanya beberapa kali aku minta bantuan seperti ini, kebetulan hari ini aku bertemu denganmu." Setelah itu, sesuai skenario, dia menepuk-nepuk pundak Chen Huang. "Ada apa dengan baju menyedihkan ini?"
"Ah itu ...." Chen Huang menggaruk kepalanya. "Bukan sesuatu yang penting, kurasa."
"Apa pun itu," jawab Guo Nan. "Kau pemuda yang gagah."
Kening Chen Huang berkerut. Diliriknya Guo Nan dari samping. Kebetulan, lelaki itu juga sedang meliriknya.
Lanjutkan! Gerakan bola mata dan alis Guo Nan berkata demikian.
Dengan bahasa isyarat pula, Chen Huang menimpali. Bukan begitu kata-katamu, kau mengacaukannya!
Lanjutkan!
Apa yang harus kukatakan? Chen Huang melotot. Melanjutkan bagaimana?
"Lanjutkan saja ...." bisik Guo Nan dengan suara menggetar. "Aku lupa bagianku, tolol!"
"Keparat berotot besar, kau juga membuatku lupa!"
"Lanjutkan, kataku."
Chen Huang mencebikkan lidah. "Ah, Paman bilang aku gagah? Mana mungkin, tentu saja Paman lebih gagah. Di umur segini, kau masih bisa mengangkut kayu sebanyak itu."
Namun karena satu kesalahan tadi, Guo Nan sudah tak mampu berpikir lagi. "Kuserang kau," dia berbisik.
"Eh, belum waktunya—uaaaghh!"
Tubuh Chen Huang terpental jauh, meninggalkan debu tebal ketika dia jatuh ke atas tanah dengan cukup keras. Pemuda itu terdengar mengeluarkan umpatan, tapi kepungan belasan orang sudah menghadangnya.
"Kau mati, Bocah!" kata Guo Nan yang Chen Huang tak dapat memastikan bahwa kali ini sandiwara atau sungguh-sungguh.
Gaya penceritaanmu udah pas menurutku. Enak diikuti. Entahlah, beberapa yang saya baca dan bagus malah sepi.
Saya kurang paham dg selera orang-orang zaman sekarang. Kadang yg minim narasi, typo bertebaran, catlog, cerita serupa, malah lebih banyak pembacanya.
persahabatan Bai Li apa tidak akan diromantisasi?
(dari siang kesel ga bisa komen)