Senja Kumala, anak kecil malang yang lahir dari seorang wanita yang tak menginginkannya. Ia lahir karena hasil pemerkosaan.
Ibunya sangat benci dirinya, ia kerap mendapatkan siksa lahir batin. Bahkan hingga ia dewasa dan menikah, penderitaan Senja belum berakhir.
Wanita malang itu hanya dijadikan istri kedua dan mesin pembuat anak untuk sang suami. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan sosok pria yang masuk ke dalam lembah hitam. Sosok pria yang tidak percaya dengan adanya cinta dan kasih sayang.
Pria itu adalah Karang, anak yang memiliki masa lalu tak mengenakkan dan hampir merusak masa depannya. Dan masa lalu itu ternyata ada kaitannya dengan Senja dan ibunya.
Ada hubungan apakah mereka? Dan mampukah Karang menata kembali masa depannya dengan benar?
Dan siapa cinta sejati di masa depan Senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Cantik
Akmal terhenyak di tempat, pundaknya terasa begitu ngilu saat benda yang tak besar, tapi begitu menyakitkan saat masuk ke dalam pundaknya. Rasa sakit yang mendera membuat tubuhnya lemas dan tak sanggup lagi berdiri tegak. Dengan gerakan lambat ia terduduk di lantai dengan pandangan tak lepas dari Senja. Tatapannya seolah mengisyaratkan bahwa ia begitu menyanyangi anaknya itu.
Pelupuk mata Senja kembali memanas, nafasnya sudah tak teratur lagi. Entah ke mana perginya rasa benci yang begitu mencuat tadi. Kini yang ada hanya rasa kesedihan saat kedua netranya bersitatap dengan pria yang baru ia ketahui jati dirinya.
"Ayaaaah!" Senja berlari menghampiri Akmal yang sudah tersungkur ke lantai dengan posisi tengkurap. Pundaknya bersimbah darah.
"Ayah, ayah bangun. Tetap buka mata, ku mohon." Dara membawa kepala Akmal ke dalam pangkuannya. Ia menepuk-nepuk pelan pipi yang ingin sekali lihat sejak kecil.
"Maafkan Ayah, Nak." Akmal menutup rapat matanya setelah itu.
Tak sempat, Senja tak sempat menangis. Yang ada dalam pikirannya saat ini ayahnya hanya perlu dokter.
"Kenapa diam saja? Bawa Ayah ke rumah sakit!" teriak Senja manatap semua orang yang berada di sana.
Leo tak bergeming. Ia meminta anak buahnya yang tadi menembak Akmal pergi dengan hanya menggerakkan kepalanya saja. Tanpa rasa bersalah dan dosa karena sudah menembak seseorang, pria itu melipir keluar rumah dengan langkah santainya.
"Bawa Ayah ke rumah sakit aku bilang!" Senja kembali berteriak.
"Kalau kami nggak mau?" Leo yang bertanya.
Senja berdiri dari duduknya dan mengambil salah satu vas bunga berukuran sedang, lalu ia membantingnya dengan keras. Semua yang di sana hanya diam menunggu apa yang akan gadis itu lakukan.
Senja mengambil dua pecahan vas yang sedikit besar dan membawanya ke arah Leo. Masing-masing tangannya membawa satu pecahan vas yang berujung tajam.
"Kau tidak mau bawa Ayah ke rumah sakit? Aku yang akan mengantar kau lebih cepat menemui ajalmu." Senja mengarahkan salah satu pecahan vas ke arah leher pria yang tadi bertengkar dengan ayahnya. "Jangan ada yang berani maju satu langkah pun, atau aku juga akan melukai kalian." Senja mengarahkan satu lagi tangannya yang memegang pecahan vas.
"Lakukan saja jika kau mau di penjara," ucap Rida dengan menahan sekuat mungkin rasa takutnya.
"Kau menantang ku? Kau lihat ini! Kalau aku sendiri mampu melukai sekujur tubuhku, kenapa aku harus takut untuk melukai orang lain. Aku tidak peduli jika harus masuk penjara. Bukankah itu jauh lebih baik dari pada aku di sini."
Skak!
Tak ada yang bisa mejawab ujaran Senja. Semua orang mati kutu, terlebih lagi Rida yang tadi memberi ancaman. Ia hanya merapatkam bibirnya menahan kesal.
Sementara Leo yang sejak tadi di sodori benda tajam hanya melihat Senja dengan tenang. Tatapan matanya mengarahkan tepat ke arah mata Senja. Tatapan penuh amarah dan keberanian tergambar jelas di sana.
"Cantik," gumam Leo dalam hati.
"Kenapa kau menatapku seperti itu? Panggil ambulans!" Senja masih menatap Akmal dengan tatapan yang sama. Tatapan yang seakan ia ingin sekali membunuh pria itu.
"Panggilkan ambulans untuk gadis kecilku ini, Sayang," titah Leo pada istrinya.
Tanpa menjawab Rida segera mengambil ponsel dan menghubungi rumah sakit.
"Aku sudah menghubungi rumah sakit, lepaskan tanganmu itu dari suamiku." Senja menurunkan tangannya dan membuang pecahan tersebut ke sembarang arah. Terlampau emosi membuat Senja tak lagi memikirkan orang lain atau keselamatan dirinya sendiri. Bagaimana jika pecahan tersebut mengenai kaki orang lain atau bahkan dirinya sendiri.
Tak berselang lama, ambulans datang. Akmal langsung saja di tandu, Senja melangkah ingin mengikuti ayahnya. Namun, tangannya dicekal oleh Leo. Cukup hanya melempar tatapan tak berkedip saja Senja sudah mengerti maksudnya.
"Kenapa tanganmu?" tanya Leo memperhatikan tangan yang semula putih mulus kini terlihat penuh luka.
"Aku membersihkan diriku dari sentuhan kotormu. Tak apa perih sedikit, setidaknya bekas tanganmu sudah tak ada di kulitku."
"Apa kau akan melakukan ini setiap aku menyentuhmu? Aku tak se menjijikkan itu."
"Iya, kau benar. Kau memang tak menjijikkan. Tapi kau begitu menyakitiku dengan peraduan semalam. Tapi tak apa, yang penting kau puas. Kepuasan yang mungkin tak kau dapatkan dari istrimu." Senja berlalu dari hadapan Loe.
Langka gadis itu terhenti saat melintasi Bi Jum yang memungut pecahan vas. Senja berjongkok dan membantu Bi Jum.
"Kamu memang cerdas. Seandainya kamu tahu ekspresi nyonyaku, kamu akan tertawa," bisik Bi Jum.
"Ini baru awal, Bi. Lihat dan ikuti saja drama yang memuakkan ini. Kita lihat siapa yang sebenarnya menjadi pemeran utama, aku atau Leo. Terima kasih sudah membuka jalan pikiranku, Bi. Bibi yang terbaik di rumah ini."
***
Clara berlari di lorong rumah sakit. Rasa khawatir dan marah bercampur menjadi satu. Saat dihubungi pihak rumah sakit bahwa suaminya tertembak, pikirannya seketika tertuju pada anak gadis yang disebut anak oleh Akmal.
Clara tak tahu namanya, wajahnya pun ia tak melihat dengan jelas saat di sosial medianya. Ia benar-benar tak mau tahu dengan anak haram suaminya itu.
"Bagaimana keadaan kamu? Apa pelurunya sudah diambil?" tanya Clara begitu masuk ruang rawat. Nampak suaminya sudah lebih baik meski selang infus masih menancap di tangannya.
"Sudah. Seperti yang kamu lihat, aku nggak apa-apa."
"Bukannya sudah aku bilang kalau aku ingin kamu hanya fokus denganku dan Karang. Lalu kenapa kamu berhubungan dengan anakmu itu?"
"Cla, anakku butuh pertolongan, bagaimana bisa aku diam saja. Kamu juga akan melakukan hal yang sama jika Karang kenapa-napa."
"Aku? Berarti kamu tidak? Kamu rela melawan bahaya untuk dia? Untuk Karang nggak?"
"Bukannya begitu, Karang anakku juga. Sudah pasti aku akan juga melakukan hal yang sama jika Karang ada dalam bahaya. Kamu, kan perempuan, perasaan kamu harusnya lebih peka."
"Aku dan dia nggak ada hubungan. Kamu jangan paksa aku untuk menerima dia jadi anakku juga. Dia hanya anakmu bukan anakku."
Clara menegaskan bahwa ia tak suka jika Akmal masih peduli dengannya. Ia mau Akmal hanya ada untuk dirinya dan Karang.
"Aku nggak akan maksa kamu untuk menerima dia jadi anakmu juga. Aku paham, Senja lahir dari sebuah kesalahan. Lebih tepatnya kesalahan aku. Dia juga anakku, Cla. Aku nggak mungkin abaikan dia, kamu tahu betapa aku merasa bersalah pada anak itu. Aku merasakan berdosa sudah membiarkan dia hidup dan tumbuh tanpa aku."
"Lalu kamu mau apa?"
"Biarkan aku merawat dia juga. Sebagai penebusan dosa aku, Cla."
"Itu artinya kamu juga akan peduli dengan ibunya. Aku nggak mau kamu berhubungan dengan dia lagi. Kamu berniat bermain denganku?"
"Cla a..."
"Sudah cukup. Kembali saja sama anakmu dan wanita yang ada di masa lalumu. Aku akan pergi!" Clara beranjak dari sana.
"Cla jangan Cla, aku mohon jangan, aduh!"
Rintihan dari Akmal membuat Clara berbalik arah.
next up