NovelToon NovelToon
Feathers

Feathers

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Cinta Beda Dunia / Iblis / Dunia Lain
Popularitas:509
Nilai: 5
Nama Author: Mochapeppermint

Mereka bilang aku adalah benih malaikat. Asalkan benih di dalam tubuhku masih utuh, aku akan menjadi malaikat pelindung suatu hari nanti, setelah aku mati. Tapi yang tidak aku tahu adalah bahaya mengancam dari sisi manapun. Baik dunia bawah dan dunia atas sama-sama ingin membunuhku. Mempertahankan benih itu semakin lama membuatku mempertanyakan hati nuraniku.

Bisakah aku tetap mempertahankan benih itu? Atau aku akan membiarkan dia mengkontaminasiku, asal aku bisa menyentuhnya?

Peringatan Penting: Novel ini bisa disebut novel romansa gelap. Harap bijak dalam membaca.
Seluruh cerita di dalam novel ini hanya fiksi, sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mochapeppermint, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 The Seed

Hembusan udara sejuk memenuhi kedua lubang hidungku. Sebagian kecil otakku yang kembali tersadar menyuruh tubuhku sendiri membuka kedua mataku, namun nihil. Kegelapan kembali datang, membawa pergi kesadaranku.

   Cahaya redup perlahan menyusup ke kelopak mataku. Dengan segala kekuatan yang tersisa aku kembali membuka kedua mataku dan berjuang untuk tersadar walau sangat berat. Kepalaku masih terasa berkabut, aku masih belum bisa memfokuskan pandanganku. Di sela-sela hembusan udara yang terasa sejuk di hidungku aku bisa mencium samar bau dupa.

   Aku tahu kalau rasa panik mulai mengkontaminasi ujung-ujung sarafku, namun tidak ada yang bisa kuperbuat selain menutup kedua mataku lagi dan membiarkan ketidaksadaran menguasaiku sekali lagi.

   Hembusan udara itu hilang. Aku mendengar sesuatu namun tidak bisa berpikir suara apa itu. Ada sesuatu di pergelangan tanganku. Dingin dan berat. Suara nyanyian.

   Bau dupa. Pekat. Tidak bisa bernafas.

   Hembusan itu datang lagi.

   Gelap.

   Dupa.

   Nyanyian berat.

   Gelap.

   Pekat.

   Tolong.

   Otakku mulai bisa bekerja perlahan. Aku menarik nafas panjang memenuhi paru-paruku. Lalu perlahan kedua mataku terbuka. Buram. Namun perlahan kedua mataku mulai menyesuaikan. Kesadaran mulai merayap masuk ke kepalaku.

   Langit-langit berwarna abu-abu. Lampu-lampu neon panjang bergelantungan dari rantai yang terpasang di langit-langit. Perlahan aku menggerakkan kepalaku yang terasa berat untuk melihat sekelilingku. Ruangan luas dengan nuansa abu-abu dan putih, sangat suram. Dinding-dindingnya hanya berpelitur semen. Tidak ada jendela. Namun ruangan ini tampak seperti ruangan bangsal di rumah sakit.

   Aku menggerakkan tanganku dan sesuatu ikut bergerak. Selang bening menjuntai dari atas dan berujung di tangan kananku. Aku melihat ke atas dan ada sebuah kantung bening dengan cairan yang menetes-netes.

   “Hanya infus.”

   Aku terkisap dan berusaha beringsut menjauh walau aku belum bisa melihat sumber suara itu. Entah datang dari mana seorang pria berjalan ke arahku dengan senyuman lembut. Ketegangan mulai menjalari seluruh tubuhku. Bahkan aku bisa mendengar detak jantungku yang bertalu-talu di telingaku.

   Pria itu tampak melihat kepanikanku. Dia berhenti agak jauh dan mengangkat kedua tangannya. “Tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu.” Ujar Pria itu dengan tenang. Kulihat dia pria paruh baya, rambut putih sudah mulai terlihat di antara rambutnya yang sudah menipis. Senyumnya membuat kerutan di wajahnya tampak jelas. “Kamu terlalu syok, hampir tidak bisa bernafas di bawah obat bius. Tapi untunglah kamu sudah lebih baik, tapi kami tetap harus memasang infus hanya untuk berjaga-jaga kalau ada komplikasi.” 

   Pria tua itu tersenyum menampakkan rasa bersalah. “Seharusnya memang tidak diperbolehkan menggunakan obat bius sembarangan. Maaf. Tapi tidak ada pilihan lain.”

    Aku menelan ludah susah payah. “Mikaela.” Suaraku pecah dan kasar.

   Pria itu mengangguk. “Aman. Dia sudah sadar tadi pagi.” Pria itu menunjuk ke arah tak jauh dariku. “Minumlah.”

   Dengan hati-hati aku menoleh ke arah yang dia tunjuk. Sebuah gelas berisikan air namun aku menggeleng.

   “Itu hanya air. Tenang saja.” Jelasnya masih tampak ramah, namun aku tetap bergeming. Pria itu menghela nafas panjang seolah kelelahan. “Maaf kalau kami menakutimu.”

   “Menculik.” Kerongkonganku sangat kering hingga terasa susah mengucapkan sesuatu. “Apa yang kamu mau?”

   Pria itu menggeleng. “Maafkan aku. Tapi kami hanya melindungimu.” Kali ini aku yang menggeleng. “Aku tahu kamu tidak akan percaya. Tapi dengarkan dulu. Kamu aman disini. Kami tidak akan menyakitimu.” Ucapnya menekankan kalimatnya yang terakhir. “Kamu aman.” Ulangnya meyakinkan. “Istirahatlah dahulu. Kalau kamu sudah lebih baik, akan aku jelaskan-”

   Seorang pria berpakaian hitam berjalan melalui pintu dan nafasku tersekat. Tinggi tubuh itu, postur tubuhnya. Walau aku tidak bisa melihat wajah pria itu sebelumnya, aku tahu kalau pria itu yang menyekapku. Kepanikan di dalam tubuhku mulai mendominasi.

   “Tenanglah, Amy!” Pria tua itu melangkah mendekat namun terhenti tak jauh dariku saat aku semakin beringsut sejauh yang aku bisa. 

   Aku mencengkram pagar yang ada di sisi ranjangku dan berusaha menurunkannya, namun aku tidak tahu caranya. Besi itu hanya berderak, namun tidak beranjak kemana-mana. Air mata mulai berkumpul di kedua mataku. Sedang pria tua itu terus memanggilku. “Amethyst!” Teriaknya.

   “Amy! Dengarlah!” Itu suara yang berbeda dan lebih lembut. Aku menoleh ke arah suara itu. Pria itu berhenti tak jauh dari si pria tua, kedua matanya menatapku, namun ada kelembutan di tatapannya. “Maafkan aku kalau aku menyakitimu.” Ujarnya perlahan. “Seperti kata Pastor Yohanes, kamu aman.”

   Apa tadi dia bilang?

   Pria itu meletakkan tangannya di dadanya. “Aku Pastor Xaverius dan aku meminta maaf kalau aku menyakitimu.” Ucapnya tampak tulus. Ucapannya membuatku menurunkan tatapanku, melihat pakaian mereka berdua. Keduanya berpakaian hitam, berlengan panjang dan celana panjang. Kerah kemeja mereka tinggi, walau tidak ada kerah putih di tengah, aku tahu pasti itu adalah pakaian khas Pastor. Mereka berdua Pastor dan tampaknya mereka meminta maaf dengan tulus, namun aku tidak mau mempercayai mereka, karena disinilah aku, di tempat antah berantah dengan jarum infus tertancap di tanganku.

“Maaf kalau kami membawamu kemari dengan semua keributan ini," Lanjut Xaverius. "Tapi kami tidak punya waktu. Kamu sedang di buru, Amy. Kalau kami tidak membawamu kemari kamu akan mati.”

   “Apa?” Suaraku hanya terdengar bisikan pelan yang kasar, namun hanya itu yang bisa kukatakan.

   “Dengar baik-baik, Amy.” Ucap Xaverius dengan perlahan dan jelas. “Ada sekelompok malaikat jatuh yang memburumu.” Pria itu menunjukku. “Karena kamu memiliki sesuatu yang mereka inginkan. Kamu memiliki benih malaikat.”

   Aku dengar apa yang pria itu katakan, tapi tampaknya obat bius di dalam tubuhku masih bekerja dengan sangat baik, karena rasanya otakku belum bisa bekerja dengan sempurna. Aku tidak paham apa yang dia katakan. 

   “Aku tahu ini terdengar gila, tapi percayalah kalau nyawamu dalam bahaya.”

   Karena aku tahu tidak bisa berkata apa-apa, aku hanya menggeleng keras menyatakan kalau aku tidak mempercayainya. Pria itu mendesah kalah. “Tunggu sebentar.” Ucapnya lalu dia berbalik ke arah pintu dan menghilang meninggalkanku bersama pria tua yang menatapku dengan tatapan khawatir.

   Pria tua itu menunjuk ke arah tanganku. “Infusmu.”

   Aku menunduk dan melihat warna merah mulai mengkontaminasi selang putih yang tertancap di tanganku. Aku meraih tangan kananku, dengan kuku-kukuku aku mencabik plester di tanganku. “Jangan!” Seru pria itu. “Kumohon, jangan.” Pintanya dan aku hampir merasa iba melihat kekhawatirannya yang tergurat jelas di wajahnya. “Kamu butuh itu. Tolong jangan lepaskan. Turunkan saja tanganmu.” Ucapnya sambil mengibaskan tangannya ke arah bawah. “Nanti darahmu akan kembali lagi.” Saat aku menurutinya pria itu tersenyum kecil. “Minumlah dulu. Demi Tuhan yang baik! Kami tidak memasukkan apa-apa di minumanmu!” Katanya sangat meyakinkan. Walaupun mulut dan tenggorokanku kering, aku tetap menggeleng.

   Pria tua tadi yang katanya Pastor Yohanes kembali mundur menjauhiku namun tetap mengawasiku dengan kedua matanya yang ramah. Sedangkan aku menatap, menjelajahi ruangan luas ini. Pasti ini adalah ruangan kesehatan. Banyak ranjang-ranjang kosong tanpa di sampingku. Rak-rak stainless berpintukan kaca memenuhi dinding seberang, namun semuanya kosong. Tidak ada apapun kecuali rak kecil beroda di dekat ranjang yang kutempati yang berisikan berbagai botol dan peralatan medis.

   “Amy!” Suara Mikaela langsung menyentakku. 

   Aku hampir tidak mempercayai apa yang kulihat. Mikaela berlari ke arahku dengan kedua tangannya yang terentang. Aku berusaha beringsut ke kaki ranjang dan kami berpelukan erat walau ada pagar besi di antara kami. Saat merasakan Mikaela yang hangat di bawah tanganku barulah aku percaya kalau aku tidak sedang bermimpi.

   “Kamu baik-baik saja?” Tanyaku pada Mikaela saat kami merenggangkan pelukan kami.

   Mikaela mengangguk. “Kamu?” Tanyanya dan kini gilirianku mengangguk. 

   Aku tidak bisa menahan air mataku dan aku memeluk Mikaela lagi. Mikaela mengusap rambutku perlahan. “Aku dengar kamu masih di rawat dan nggak boleh menemuimu. Aku takut banget, Em.”

   Aku mengangguk. “Sama.” Suaraku benar-benar pecah. 

   Mikaela mengendurkan pelukkannya, sejenak dia berpaling ke belakang, menatap pria tinggi itu. “Xaverius bilang kalau dia membutuhkanku menjelaskan padamu.” Ucapnya ringan seolah Mikaela sudah cukup mengenal Xaverius. “Kamu ingat si rahasia?” Tanya Mikaela dan aku mengangguk. “Ternyata…” Mikaela berdeham. “Kata mereka si rahasia itu malaikat jatuh.”

   “Dan kamu percaya?” Astaga! Aku benci suaraku! Melengking dan kasar.

   Mikaela menggeleng namun langsung mengangguk. “Awalnya aku nggak percaya ucapan bodoh mereka!” Aku mendengar dehaman dari belakang Mikaela namun aku mengabaikannya. “Tapi…” Mikaela tampak ragu sejenak. “Kamu ingat aku pernah bercerita padamu kalau aku membeli bulu?” Aku mengangguk. “Nah, itu yang buat aku mulai berpikir lalu percaya. Mana ada bulu yang bisa mengabulkan keinginanmu? Bulu itu ternyata bulu sayap si rahasia.”

   Aku hanya membuka mulutku tanpa bisa berkata apa-apa. 

   “Sebenarnya itu bukan keinginan.” Ucap Xaverius dan aku beralih menatapnya. “Seharusnya kamu tidak bermain-main dengan malaikat kegelapan, Mikaela." Ucapnya lembut, namun Mikaela hanya memutar kedua matanya dengaan jengah. "Tapi benar, bulu hitam yang Mikaela beli adalah milik malaikat jatuh dan mereka sedang memburumu.” Jelasnya.

   “Dia bilang kamu memiliki benih malaikat? Kenapa kamu nggak memberitahuku?” Tanya Mikaela seolah menuduhku kalau aku tidak memberitahunya.

   “Aku bahkan nggak tahu apa-apa!" Ucapku kesal.

   “Memang biasanya nggak ada yang tahu kalau dirinya memiliki benih malaikat.” Kata Pastor Yohanes. “Tapi mereka yang terjatuh tahu dan mereka selalu menginginkan benih itu. Namun mengambil benih itu darimu, artinya membunuhmu.” Pastor Yohanes menaikkan tangannya, menghadapkan telapak tangan kanannya padaku. Di tengah-tengah telapak tangannya ada sebuah tanda salib. Bukan seperti tato yang di rajah ke kulit yang berwarna hitam, tapi tanda itu seperti dibakar di kulitnya, warnanya merah kecoklatan seolah baru beberapa hari lalu dia menandai tangannya. “Kami adalah penjaga rahasia dan kami bersumpah untuk menjaga benih-benih malaikat dari mereka yang terjatuh atau dari iblis.” Ucapnya dengan keras seolah dia sedang mengucap janjinya bukannya berbicara padaku. “Aku bersumpah, kamu aman bersama kami, Amy.”

   Aku tidak berkata apa-apa. Aku hanya melihat pria tua itu dan pria satu lagi. Rupanya Pastor Xaverius jauh lebih muda daripada Pastor Yohanes. Tingginya jauh melampaui Pastor Yohanes dan kedua bahunya lebar. Tiba-tiba aku bergidik teringat kekangan kuat darinya.

   “Biarlah, Amy istirahat dulu, Pastor.” Ucap Pastor Xaverius.

   Pria tua itu tampak memahami dan mengangguk. “Istirahat lah dulu, Amy. Kami tidak jauh dari sini, panggil saja kalau kamu butuh bantuan.”

   Saat kedua pria itu keluar dari ruangan aku langsung meminta Mikaela menurunkan pagar ranjangku. Pagar itu rasanya mengekangku dan aku tidak tahan berada di dalamnya barang semenit lagi saja. “Kamu percaya mereka?” Tanyaku seraya menurunkan kedua kakiku untuk duduk di sisi ranjang.

   Mikaela mengedikkan bahunya. “Entahlah. Nggak masuk akal, tapi agak masuk akal juga sih. Bulu itu memang bisa mempertemukanku dengan Papa, Em! Itu yang ingin aku ceritakan sama kamu!”

   “Seperti apa bulu itu?"

   “Seperti bulu burung biasa, tapi ini jauh lebih besar dan warnanya hitam legam.”

   “Kamu masih simpan bulu itu?” 

   “Nggak.” Mikaela menggeleng. “Setelah aku pakai bulu itu hilang.”

   “Cara kerjanya?” Tanyaku penasaran.

   Mikaela menyatukan kedua tangannya di perutnya. “Aku harus pegang bulu itu, memejamkan mataku lalu memikirkan apa yang aku ingini. Aku ingin beretemu Papa, jadi aku beretemu dengannya. Setelah selesai aku seperti bangun dari tidur dan bulu itu hilang.”

   Aku semakin mengerutkan kedua alisku. “Kamu yakin itu Papa kamu?”

   Mikaela mengangguk dan kedua matanya berkaca-kaca. “Aku bahkan bisa memeluknya, Em!”

   “Lalu waktu bertemu Papamu, apa yang kamu lakukan?”

   Kedua bahu Mikaela tampak turun. “Aku minta maaf sama Papa. Aku minta maaf kalau aku marah sama Papa.”

   Ayah Mikaela meninggal tahun lalu dan itu berdampak cukup keras pada Mikaela. Dari antara kedua orang tuanya, Mikaela lebih dekat dengan Ayahnya daripada Ibunya. Sebelum Ayah Mikaela meninggal, mereka berdua sempat berdebat tentang Ibu Mikaela. Mikaela kesal pada Ibunya yang terlalu mengekangnya, dan dia mencari perlindungan pada Ayahnya, namun saat itu Ayahnya membela Ibunya. Naasnya saat Ayah Mikaela sedang dalam perjalanan kerja, sebuah truk bermuatan berat menabrak mobil Ayahnya. Ayahnya tewas di tempat.

   Kedua mataku kembali basah melihat kesedihan Mikaela. “Bodohnya aku, Em. Aku nggak sempat bertanya Papa baik-baik saja atau nggak. Terus banyak hal yang aku ingin tanyakan ke Papa, tapi nggak sempat. Itulah kenapa aku ingin beli bulu itu lagi, Em.” Kedua mata Mikaela berkilat dengan rasa semangat. Aku terlalu kenal Mikaela, jadi aku tahu kalau Mikaela sangat mengingini bulu itu lagi.

   “Tapi kata Pastor itu…”

   “Jadi kamu percaya?” Tanya Mikaela membalik pertanyaanku tadi dan kini dia terdengar sangat kesal.

   “Aku nggak tahu, Mik. Aku masih-”

   “Yang di buru kan kamu, bukan aku. Toh, aku baik-baik saja kan?” Potong Mikaela cepat. “Aku harus bicara sama Papa, Em!” Tegasnya keras.

   Entah kenapa di dalam hati kecilku aku malah percaya pada para Pastor itu dan tidak ingin Mikaela berhubungan dengan malaikat terjat- Ah! Bahkan memikirkan itu saja terasa tidak nyata!

    “Mungkin lebih baik kamu tanya sama Pastor itu dulu deh, Mik.” Ucapku, karena tadi tampaknya Pastor Xaverius ingin bicara tentang hal itu lebih banyak.

   Mikaela mengerang lalu dia berdiri dan meraih gelas air di meja lalu mengulurkannya padaku. “Minum dulu.” Mikaela menyodorkan gelas itu dengan kasar padaku hingga airnya tertumpah ke gaunku. 

   Astaga! Aku baru menyadari, rupanya aku masih menggunakan gaun mahal ini.

   “Kalau aku pingsan-”

   “Aku tetap disini, Em. Tenang saja.” Aku menerima gelas itu darinya bukan karena aku mempercayai Mikaela tapi dilihat dari ekspresi wajahnya bisa-bisa Mikaela mengguyurku dengan air itu kalau aku tidak menerimanya. “Ini memang gereja kok.” Lanjutnya lalu menunjuk ke arah langit-langit. “Tadi di atas aku lihat ada kebaktian di kapel utama.”

   Aku menghela nafasku dan bertekad meminum air dari gelas itu. Tenggorokanku terlalu kering hingga terasa sakit. Aku hanya bisa berharap kalau aku tidak pingsan lagi

1
🌺Ana╰(^3^)╯🌺
cerita ini benar-benar bisa menenangkan hatiku setelah hari yang berat.
Yue Sid
Gak sabar nunggu kelanjutannya thor, semoga cepat update ya 😊
Mochapeppermint: Thank you 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!