Perjalanan hidup Kanaya dari bercerai dengan suaminya.
Lalu ia pergi karena sebuah ancaman, kemudian menikah dengan Rafa yang sudah dianggap adiknya sendiri.
Sosok Angela ternyata mempunyai misi untuk mengambil alih harta kekayaan dari orang tua angkat Kanaya.
Selain itu, ada harta tersembunyi yang diwariskan kepada Kanaya dan juga Nadira, saudara tirinya.
Namun apakah harta yang di maksud itu??
Lalu bagaimana Rafa mempertahankan hubungannya dengan Kanaya?
Dan...
Siapakah ayah dari Alya, putri dari Kanaya, karena Barata bukanlah ayah kandung Alya.
Apakah Kanaya bisa bertemu dengan ayah kandung Alya?
Lika-liku hidup Kanaya sedang diperjuangkan.
Apakah berakhir bahagia?
Ataukah luka?
Ikutilah Novel Ikatan Takdir karya si ciprut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si ciprut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa?
Beberapa minggu setelah mereka pindah ke pondok terpencil di tepi danau, Rafa dan Kanaya mulai merasakan sesuatu yang berbeda.
Meskipun malam tetap penuh kewaspadaan, ada momen-momen kecil di antara mereka yang membuat hati saling dekat.
Suatu sore, Rafa duduk di luar pondok, mengawasi hutan sambil menjaga jarak agar Kanaya bisa menjemur pakaian dan menenangkan bayi.
Kanaya menatap Rafa dari kejauhan, merasa lega karena ada seseorang yang selalu siap melindungi mereka.
Tanpa sadar, hatinya berdebar ketika Rafa menoleh dan tersenyum tipis kepadanya.
“Itu… aku… tidak tahu kenapa, tapi setiap kali Rafa tersenyum, rasanya aman,” pikir Kanaya.
Rafa sendiri mulai menyadari sesuatu.
Saat Kanaya tertawa kecil, saat bayinya menangis dan Kanaya menenangkan dengan lembut, Rafa merasa hangat di dada—sebuah perasaan yang lebih dari sekadar perlindungan.
Suatu malam, setelah semua tenang, Rafa duduk dekat Kanaya sambil menatap bayinya yang tertidur.
“Kak… aku ingin memastikan kalian berdua aman,” ucapnya pelan.
Kanaya menatapnya, mata mereka bertemu, ada rasa nyaman dan saling percaya yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Kanaya tersenyum tipis, wajahnya sedikit memerah.
“Rafa… aku… aku merasa… aman ketika kamu ada di sini,” bisiknya.
Rafa menunduk sebentar, hati berdetak lebih cepat.
“Kan… aku juga merasa… ada sesuatu yang berbeda,” katanya, suaranya rendah tapi tulus.
“Sejak Kakak di sini… aku merasa ingin selalu melindungi kalian… bukan hanya dari bahaya… tapi juga… dari dunia luar.”
Malam itu sunyi, hanya suara angin dan gemericik air danau yang terdengar.
Mereka duduk berdampingan, jarak hanya beberapa langkah, tapi ada benih perasaan yang mulai tumbuh—lambat, lembut, namun kuat.
Rasa itu belum diungkap sepenuhnya, tapi kedua hati sudah mulai merasakannya.
Dalam ketegangan, ancaman, dan kesepian, perasaan itu muncul sebagai satu-satunya kehangatan yang membuat mereka tetap kuat.
Malam itu, di pondok tua tepi danau, hujan turun pelan, menimbulkan suara gemericik yang menenangkan.
Kanaya duduk di kursi, bayi di pelukannya, sementara Rafa menatap dari dekat, memeriksa setiap sudut pondok agar aman.
Rasa nyaman mulai muncul—mereka berdua saling memperhatikan dengan perhatian lebih dari sekadar perlindungan.
Namun di hati Rafa, ada kesadaran keras: bahaya masih mengintai.
“Kak… kamu harus tetap diam di sini. Jangan keluar terlalu jauh malam ini,” kata Rafa, suaranya lembut namun tegas.
Kanaya mengangguk, menatap mata Rafa. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan, namun mereka berdua tahu: tidak boleh ada kelemahan, tidak boleh ada ketahuan.
Kanaya menarik napas panjang, hatinya berdebar saat Rafa duduk lebih dekat.
“Rafa… aku… aku merasa… nyaman ketika kamu di sini,” bisiknya pelan, nyaris terdengar oleh bayi yang sedang tidur.
Rafa menunduk, menatap wajah Kanaya yang redup diterpa cahaya lampu minyak.
“Aku juga, Kak… tapi kita harus hati-hati. Setiap langkah bisa berisiko jika Angela atau pengintainya mendekat,” ucapnya, suara penuh emosi yang tertahan.
Mereka berdua saling menatap beberapa detik, dan untuk sesaat dunia seolah berhenti.
Namun keduanya sadar, rasa dalam hati mereka harus ditahan, disembunyikan, demi keselamatan Kanaya dan bayi.
Kanaya menunduk, menatap bayinya, lalu tersenyum tipis pada Rafa.
“Baik… kita fokus menjaga bayi. ini… nanti kita lihat nanti.”
Rafa mengangguk, menepuk bahu Kanaya lembut.
“Ya… yang penting sekarang, kita selamat. Setelah itu, baru kita bisa bicara tentang semuanya.”
Di luar pondok, hutan dan danau tetap sunyi, angin malam menembus pepohonan, seolah menandakan ketegangan yang selalu mengintai.
Meski mereka duduk berdekatan, hati mereka tertahan di bawah bayang-bayang ancaman—cinta muncul tapi harus disembunyikan demi keselamatan.
Malam itu menjadi pengingat:
“Cinta bisa tumbuh di tengah bahaya… tapi kadang harus ditahan agar tidak menjadi bencana.”
Kanaya duduk di kursi, bayi di pangkuannya, sementara Rafa duduk di lantai, dekat dengannya, menatap wajahnya dengan penuh perhatian.
“Rafa… aku ingin bercerita sesuatu,” kata Kanaya, suara pelan tapi tegas.
Rafa menatapnya, hati siap menerima apapun yang akan diungkap.
“Aku… aku belum pernah menceritakan ini kepada siapapun. Tapi aku merasa… aku bisa mempercayaimu.”
Kanaya menarik napas panjang, menunduk, dan mulai menceritakan masa lalunya:
Tentang masa kecilnya yang penuh kesulitan setelah ditinggalkan orang tua kandung.
Bagaimana ia harus belajar mandiri sejak kecil, bekerja keras untuk bertahan hidup, bahkan di bawah tekanan dan ketakutan.
Tentang hubungannya dengan Barata yang tidak sepenuhnya tulus, dan bagaimana ia selalu merasa terjebak antara cinta, pengkhianatan, dan tanggung jawab.
Bahkan tentang rasa takutnya menjadi ibu muda, merawat bayi tanpa pasti mengetahui siapa ayahnya, dan ancaman yang selalu menghantui kehidupannya.
Rafa mendengarkan dengan seksama, matanya tak lepas dari Kanaya.
Setiap kata yang keluar dari mulut Kanaya membuat hatinya semakin terikat—bukan hanya karena rasa ingin melindungi, tapi juga karena memahami beban emosional yang Kanaya pikul sepanjang hidupnya.
“Kan… aku tidak tahu harus bilang apa,” kata Rafa akhirnya, suaranya pelan.
“Tapi aku ingin kau tahu… aku akan selalu ada untukmu. Tidak hanya karena aku harus melindungimu… tapi karena aku ingin. Aku ingin berada di sini untukmu dan bayi ini.”
Kanaya menatap Rafa, mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, ketakutan dan tekanan yang selama ini mereka rasakan terasa sedikit ringan.
“Rafa… aku… aku merasa lega bisa bercerita padamu. Rasanya… seolah beban ini sedikit berkurang,” bisiknya, menahan air mata.
Rafa meraih tangan Kanaya, menggenggamnya erat tapi lembut.
“Mulai sekarang, beban itu bukan hanya milikmu. Kita hadapi bersama. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu… atau bayi ini.”
Di malam sunyi itu, di pondok terpencil tepi danau, ikatan mereka semakin kuat—bukan hanya sebagai pelindung dan yang dilindungi, tapi sebagai dua hati yang mulai saling memahami dan percaya.
Meskipun ancaman Angela dan pengintainya tetap ada, satu hal jelas: perasaan dan kepercayaan di antara Rafa dan Kanaya kini tumbuh, menjadi pondasi yang tak tergoyahkan.
Beberapa hari setelah mereka menempati pondok tua di tepi danau, Rafa menerima pesan dari sahabatnya yang lama tak ia hubungi.
Sahabatnya, yang mengetahui situasi Rafa sejak awal, memberikan informasi tentang sebuah tempat tinggal baru—di kota yang sangat jauh, jauh dari pengaruh Angela dan orang-orang yang mencari Kanaya.
Rafa membaca pesan itu berulang kali, merasakan hati sedikit lega.
Tempat itu bukan hanya aman, tapi juga strategis:
Lingkungan kota cukup ramai sehingga mereka bisa berbaur tanpa menonjol.
Ada seorang teman sahabat Rafa yang bisa menyediakan perlindungan sementara dan informasi lokal.
Jaraknya ratusan kilometer dari kampung dan hutan tempat mereka bersembunyi sebelumnya, membuat jejak mereka sulit dilacak.
Rafa menatap Kanaya yang sedang duduk dengan bayi di pangkuannya.
“Kak… aku dapat informasi tempat baru,” kata Rafa, suaranya penuh harap tapi serius.
“Tempat ini jauh… jauh dari sini. Lebih aman. Di sana kita bisa hidup lebih tenang, tanpa selalu waspada.”
Kanaya menatapnya, wajahnya memerah sedikit—bukan karena malu, tapi karena lega bercampur cemas.
“Jauh… sangat jauh?” bisiknya.
Rafa mengangguk.
“Ya… tapi ini satu-satunya cara untuk benar-benar aman. Aku bisa mengurus semuanya, memastikan kita sampai sana tanpa ketahuan siapa pun.”
Kanaya menarik napas panjang, memeluk bayi lebih erat.
“Kalau Rafa mengatakan ini aman… aku percaya,” katanya lirih.
“Yang penting… kita bisa hidup tanpa selalu takut.”
Rafa tersenyum tipis, menepuk bahu Kanaya lembut.
“Kita akan sampai di sana… dan mulai hidup baru. Aku berjanji, tidak ada yang akan menyakiti kalian.”
Malam itu, meskipun ketegangan masih terasa, hati Kanaya sedikit lega.
Bayi itu tertidur di pangkuannya, dan Rafa mulai merencanakan rute perjalanan—rahasia, cepat, dan aman—menuju kota yang jauh itu, tempat di mana mereka bisa memulai hidup baru jauh dari ancaman Angela..
.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
kira2 gmn akhir dari kisah ini
hahh jd anak itu anak siapa alya kok bisa kanya sma barata dan kok bisa alya hamil hadeh kepingan puzel yg bener2 rumit tingkat dewa 🤣🤣🤣🤣
jawaban dr alya anak dia bukan kira2 kasih flash back nya kapan 🤣🤣🤣
jane apa.sih iki 🤣🤣🤣
ini cerita gak tembus retensi, keterlaluan si LUN itu gak bantu promosiin 😤😤😤
ini bukan genre konflik etika, tetapi horor/ misteri