NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25: MALAM KETIKA SEGALANYA TERASA NYATA**

# **

Setelah presentasi sukses, hari-hari berikutnya terasa... berbeda. Alara kembali ke kantor dengan kepala tegak—bukan lagi dengan tatapan takut atau malu. Orang-orang yang dulu bisik-bisik sekarang menyapanya dengan hormat. Pak Hendra yang dulu skeptis sekarang sering minta pendapat Alara untuk proyek lain.

Tapi yang paling berbeda adalah Nathan.

Nathan tidak lagi sembunyi-sembunyi soal perasaannya. Di kantor, ia masih profesional—tapi sesekali tangannya menyentuh punggung Alara saat melewatinya di koridor. Sesekali ia mengirim pesan di tengah meeting yang membuat Alara tersenyum sendiri. Dan setiap sore, Nathan mengantar Alara pulang—tidak peduli orang-orang lihat, tidak peduli gosip yang mulai beredar.

"CEO sama istrinya makin romantic..."

"Ternyata mereka beneran saling cinta ya..."

"Sweet banget sih mereka..."

Gosip yang dulu menyakitkan, sekarang terdengar... menyenangkan.

---

**JUMAT MALAM, JAM 10**

Alara masih di kantor—bukan karena ada proyek mendesak, tapi karena ia sedang finalisasi detail kecil untuk Emerald Heights. Nathan sudah pulang duluan karena ada dinner meeting dengan klien lain—tapi ia bilang akan balik untuk jemput Alara.

Kantor lantai 15 sudah sepi. Hanya Alara yang tersisa, duduk di mejanya dengan lampu yang menyala terang di tengah ruangan yang gelap.

Ia menatap layar laptop—menatap desain yang sudah hampir perfect. Tapi ada satu bagian yang masih mengganggu—detail façade di lantai 20 yang terasa... kurang.

Alara menyenderkan punggung di kursi, menutup mata sebentar. Lelah—tapi lelah yang menyenangkan. Bukan lelah karena stress, tapi lelah karena bekerja dengan passion.

Suara lift terbuka—bergema di lantai yang sunyi.

Alara membuka mata—dan melihat Nathan berjalan keluar dari lift dengan jas yang sudah dilepas, kemeja putih dengan lengan digulung, dasi yang dikendurkan. Wajahnya terlihat lelah tapi begitu melihat Alara, ia tersenyum.

"Masih kerja?" tanyanya sambil berjalan mendekat.

"Hampir selesai. Cuma ada satu bagian yang—" Alara berhenti saat Nathan sudah berdiri di belakang kursinya, tangan menyentuh bahunya dengan lembut.

"Bagian mana?"

Alara menunjuk layar. "Façade lantai 20. Rasanya kurang... kurang flow."

Nathan membungkuk sedikit—wajahnya dekat dengan wajah Alara—menatap layar dengan serius. Tapi Alara tidak fokus pada layar. Ia fokus pada Nathan—pada wangi cologne yang samar, pada napas Nathan yang terasa hangat di lehernya, pada kedekatan yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

"Coba tambah panel kaca di sini," kata Nathan sambil menunjuk dengan jari. "Biar ada refleksi dari vertical garden. Lebih dynamic."

Alara mencoba fokus—memodifikasi desain sesuai saran Nathan. Dan... Nathan benar. Desainnya jadi lebih hidup.

"Perfect," bisik Alara sambil tersenyum.

"Kamu yang perfect," bisik Nathan di telinga Alara—suara yang rendah, yang membuat bulu kuduk Alara berdiri.

Alara berbalik di kursi—menatap Nathan yang masih berdiri sangat dekat. Mata mereka bertemu—tatapan yang membuat seluruh dunia terasa berhenti.

"Nathan..." bisik Alara—tidak tahu mau bilang apa, hanya... ingin menyebut namanya.

Nathan berlutut—menyejajarkan diri dengan Alara yang duduk. Tangannya menyentuh pipi Alara—sentuhan yang lembut, yang membuat Alara menutup mata sejenak merasakan kehangatan itu.

"Aku mau bilang sesuatu," kata Nathan pelan.

Alara membuka mata—menatap Nathan dengan pandangan penuh perhatian.

"Sejak kamu masuk ke hidupku," lanjut Nathan—suara yang bergetar sedikit. "Sejak kamu... kamu bikin aku ngerasain lagi, bikin aku hidup lagi... aku sadar satu hal."

Ia berhenti sebentar—menatap mata Alara dengan tatapan yang sangat intens.

"Aku nggak mau ini cuma kontrak dua tahun. Aku nggak mau ini berakhir. Aku mau... aku mau kamu jadi istriku. Sungguhan. Selamanya."

Air mata Alara jatuh—jatuh begitu saja tanpa bisa ditahan. Tapi ia tersenyum—senyum yang paling bahagia.

"Aku juga nggak mau ini berakhir," bisiknya. "Aku mau... aku mau selamanya sama kamu."

Nathan tersenyum—senyum yang lega, yang bahagia—lalu ia menarik Alara ke pelukannya. Pelukan yang erat, yang hangat, yang membuat Alara merasa... aman. Merasa di rumah.

"Aku cinta kamu," bisik Nathan di rambut Alara.

"Aku juga cinta kamu," balas Alara sambil membenamkan wajahnya di dada Nathan—mendengar detak jantung Nathan yang berdetak cepat, sama seperti jantungnya.

Mereka berpelukan lama—di tengah kantor yang kosong, di tengah malam yang sunyi, dengan hanya cahaya laptop yang menerangi.

Lalu Nathan melepas pelukan sedikit—cukup untuk menatap wajah Alara. Tangannya mengusap air mata Alara dengan ibu jari—gerakan yang sudah familiar, yang selalu membuat Alara merasa dicintai.

"Boleh aku cium kamu?" tanya Nathan—pertanyaan yang gentleman, yang menghormati.

Alara tidak menjawab dengan kata-kata. Ia menarik leher Nathan—membawa wajah Nathan lebih dekat—dan mencium Nathan.

Ciuman yang berbeda dari ciuman di ruang konferensi kemarin. Kalau kemarin itu ciuman lega, ciuman bahagia—kali ini ciuman yang penuh passion, yang penuh perasaan yang sudah lama terpendam.

Nathan membalas ciuman itu dengan intensitas yang sama—tangannya pindah ke pinggang Alara, menarik Alara lebih dekat. Alara berdiri dari kursi tanpa memutus ciuman—tubuhnya menekan ke tubuh Nathan, tangannya meremas kemeja Nathan.

Mereka berciuman dengan napas yang semakin memburu, dengan jantung yang berdetak sangat keras. Ciuman yang panjang, yang dalam, yang membuat Alara merasa seperti terbakar dari dalam.

Nathan memundurkan langkah—membawa Alara bersamanya—sampai punggung Nathan menyentuh meja. Ia duduk di tepi meja, menarik Alara berdiri di antara kakinya—tidak pernah memutus ciuman.

Tangan Nathan bergerak ke punggung Alara—menelusuri tulang belakang dengan sentuhan yang lembut tapi membuat Alara menggigil. Alara memeluk leher Nathan lebih erat—takut kalau ia lepas, semua ini akan hilang.

Ciuman semakin intens—Nathan menggigit bibir bawah Alara dengan lembut, membuat Alara mengerang pelan. Suara itu membuat Nathan semakin kehilangan kontrol—tangannya mencengkeram pinggang Alara lebih erat.

Tapi kemudian Nathan berhenti—melepas ciuman dengan napas tersengal. Dahinya bertemu dengan dahi Alara, mata tertutup, mencoba mengatur napas.

"Kalau kita nggak berhenti sekarang," bisik Nathan—suara yang serak, yang penuh hasrat tertahan. "Aku nggak akan bisa berhenti."

Alara menatapnya—mata yang berkaca-kaca tapi berbinar. "Lalu... jangan berhenti."

Nathan membuka mata—menatap Alara dengan tatapan yang... mencari kepastian. "Kamu yakin?"

Alara mengangguk—perlahan tapi pasti. "Aku yakin. Aku... aku mau ini jadi nyata. Aku mau kita... kita jadi nyata."

Nathan menatapnya lama—menatap dengan tatapan yang penuh cinta, yang penuh rasa hormat.

"Bukan di sini," katanya akhirnya sambil tersenyum tipis. "Kamu deserve lebih dari kantor kosong tengah malam."

Ia berdiri—mengangkat Alara dalam gendongannya—membuat Alara tertawa kecil sambil memeluk leher Nathan.

"Nathan! Turunin!"

"Nggak mau." Nathan berjalan menuju lift sambil menggendong Alara. "Kita pulang. Dan nanti... nanti aku akan tunjukin ke kamu betapa aku cinta kamu. Properly."

Alara menyembunyikan wajahnya di leher Nathan—pipinya memanas tapi hatinya... penuh. Penuh dengan cinta, dengan harapan, dengan perasaan bahwa akhirnya... akhirnya ia menemukan tempat di mana ia belong.

Di dalam lift yang turun perlahan, Nathan tidak menurunkan Alara. Ia tetap menggendong—seolah Alara adalah hal paling berharga yang pernah ia pegang.

"Nathan," bisik Alara.

"Hm?"

"Aku takut ini mimpi. Takut besok aku bangun dan... dan semua ini nggak nyata."

Nathan menatapnya—menatap dengan tatapan yang sangat lembut, yang sangat tulus.

"Ini nyata," bisiknya sambil mencium dahi Alara. "Aku nyata. Cinta aku nyata. Dan aku nggak akan kemana-mana."

Air mata Alara jatuh lagi—tapi air mata bahagia. Ia memeluk Nathan lebih erat—seolah dengan memeluk erat, ia bisa memastikan ini bukan mimpi.

Lift sampai di basement. Nathan melangkah keluar—masih menggendong Alara—menuju mobilnya.

Dan malam itu—malam Jumat yang seharusnya biasa—menjadi malam yang mengubah segalanya.

Malam di mana Alara akhirnya percaya—percaya bahwa cinta ini nyata. Bahwa Nathan ini nyata. Bahwa kebahagiaan yang ia rasakan... bukan ilusi.

Tapi Alara tidak tahu—tidak bisa tahu—bahwa kebahagiaan ini rapuh.

Bahwa di luar sana, Kiara sedang merencanakan kehancuran terakhir.

Bahwa besok—atau lusa—atau minggu depan—semuanya akan berubah.

Dan ketika perubahan itu datang, Alara akan tahu—cinta yang paling indah seringkali adalah cinta yang paling menyakitkan untuk kehilangan.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 26]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!