NovelToon NovelToon
Pria Pilihan Sang Perawat

Pria Pilihan Sang Perawat

Status: tamat
Genre:Romantis / Komedi / Tamat / Nikahkontrak / Cintamanis
Popularitas:476.5k
Nilai: 4.9
Nama Author: SHIRLI

Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.

Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pijatan di kaki

"Seandainya saja tidak terjadi kecelakaan itu, aku tidak akan pernah merasakan sakit yang sesakit ini. Dan seandainya saja Naura tidak--" Dimas mengepalkan tangannya usai tanpa sadar menyebut nama Naura. Rahangnya mengetat dan matanya memerah, sementara tubuhnya mulai bergetar. Ingatan pada perselingkuhan yang dilakukan Naura membuatnya kembali naik pitam.

Ia pun melenting bangun dan terduduk. Rasa sesal, kesal, marah serta kecewa bercampur aduk menjadi satu, saat seberkas penghianatan sang kekasih kembali muncul dan menghantui pikirannya.

Sebuah luka hati yang berimbas pada luka parah di sekujur tubuh. Karena wanita itu setiap saat Dimas harus bergulung dengan rasa sakit tak terperi dan bersahabat dengan keterpurukan.

Dua bulan pasca kecelakaan itu Dimas bahkan masih merasakan sakit yang teramat. Rasa lelah dan bosan saat setiap hari harus dihadapkan dengan bermacam-macam obat serta suntikan yang Amara berikan. Hingga ia nyaris putus asa dan berpikir mati adalah satu-satunya cara untuk lari dari penderitaan ini.

Seketika tubuh Dimas kembali menegang. Ia butuh pelampiasan saat amarah itu kembali datang. Wajahnya yang kini merah padam dengan pandangan yang menyalang tajam tanpa sadar meraih gelas kosong yang ada di nakas sebelum kemudian melemparkannya tak tentu arah.

Pyarrr!

Suara benturan gelas itu bersamaan dengan jeritan seorang wanita. Bagaimana tidak. Gelas yang Dimas lempar itu mendarat tepat di sisi pintu yang sedang Amara buka dan hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari kepalanya.

Amara membeku di tempatnya dengan mata membulat sempurna dan tangan membungkam mulut yang ternganga. Sementara tangan kirinya yang membawa nampan tampak gemetaran.

Untuk sejenak keheningan pun membentang. Meski Amara dan Dimas saling bertatap, namun keduanya tengah bergulat dengan pikiran masing-masing. Amara bisa melihat keterkejutan di wajah Dimas. Dan ia bisa pastikan, hal ini terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan lelaki itu. Terlihat pula dari ekspresi Dimas yang tiba-tiba melembut, seolah-olah disergap rasa sesal.

Amara menghela napas dalam, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk melangkah. Mengabaikan tubuhnya yang gemetaran, ia pun bersikap tenang seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. Bahkan ia masih menyunggingkan senyuman meski itu sangat dipaksakan.

"Mas Dimas, Bi Eli masak rawon khusus Buat Mas, loh." Amara berucap sambil mengerlingkan mata. Lalu menunjukkan sesuatu di atas nampan kepada Dimas sebelum kemudian menaruhnya di atas nakas.

Setelah meracik pelengkapnya, gadis itu pun duduk di tepi ranjang sambil membawa mangkuk rawon lengkap dengan nasinya. Aroma sedap yang menguar benar-benar menggoda indera penciuman serta perut Dimas yang memang sudah kelaparan.

"Mau makan sendiri apa disuapin?" tanya Amara dengan antusiasnya. Sedetik pandangan keduanya saling beradu, sebelum kemudian Dimas membuang muka dengan sikap angkuhnya.

"Gue makan sendiri aja." ketus Dimas. Lalu merebut paksa mangkuk itu dari tangan Amara. Karena rasa lapar yang sudah tak mampu lagi ia tahan, tanpa aba-aba Dimas langsung menyantapnya dengan lahap.

Merasa tak dibutuhkan lagi, Amara pun beringsut dan berniat keluar dari kamar Dimas.

"Mau kemana lo?" cegah Dimas sambil menindihkan kakinya di paha Amara saat gadis itu berencana bangkit dari duduknya.

"Mau keluar Mas," jawab Amara sambil menunjuk pintu.

"Siapa yang nyuruh lo keluar?" tanya Dimas sambil mengedikkan dagu. Mulutnya juga masih setia mengunyah nasi.

"Nggak ada," jawab Amara dengan kepala menggeleng lemah. "Mas Dimas kan makan sendiri, jadi saya pikir saya tidak dibutuhkan lagi. Maka dari itu saya mau keluar dulu sampai Mas selesai makan."

"Siapa yang bilang lo nggak dibutuhkan lagi? Lo perawat gue, kan? Jadi tugas lo bukan cuma nganterin makanan terus gue di tinggalin sendirian gitu aja! Ya kalau gue makan. Kalau ternyata enggak! Siapa tau gue lempar lagi kayak tadi gimana coba?" ucap Dimas lagi-lagi dengan tatapan muak terhadap Amara. Namun gadis itu bukannya kesal, tapi justru malah menebar senyumannya.

"Baik Mas, saya mengerti," jawabnya sambil mengangguk paham.

Dimas kembali menunduk dan melanjutkan makannya. Sementara Amara tampak memperhatikan sang pasien dengan ekspresi senang.

Hal itu rupanya tak luput dari perhatian Dimas yang tanpa sengaja melihat Amara tengah tersenyum saat kepalanya mendongak.

Dimas pun menghentikan mengunyah dan balas menatap Amara. "Kenapa lo senyum-senyum kaya gitu?" ketusnya dengan mulut penuh makanan.

Amara masih tersenyum dan menggeleng pelan. "Nggak apa-apa Mas, saya cuma senang Mas Dimas udah makan dengan lahap, berarti indera pengecap Mas Dimas baik-baik aja kan, sekarang?"

"Ini karena gue kelaparan! Jadinya gue lahap." Dimas menyeruput kuah terakhir rawonnya, sebelum kemudian menghentakkan mangkok kosong di atas meja makannya.

Mata Amara berbinar senang sebab Dimas menyantapnya hingga habis tanpa sisa.

"Mau nambah lagi?" tawar Amara begitu antusias.

"Sudah, cukup." Dimas menjawab datar. Tangannya kemudian bergerak meraih gelas, dan meneguk air putih itu hingga menyisakan sepertiganya. Menaruh gelas itu lagi, Dimas menatap Amara dengan mata menyipit. "Ini masakan Bi Eli, kan?"

"Iya Mas, kan tadi saya sudah bilang. Memangnya kenapa?"

"Lo harus bisa masak rawon seperti ini buat gue."

Amara membelalak tak percaya sambil memutar posisi duduknya. "Saya, Mas?" tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Iya lah!" ketus Dimas sambil melipat kedua tangan di depan dada. Lalu menatap Amara mata menyipit. "Kenapa kaget gitu? Lo bisa masak, kan?"

Amara mengerjap-kerjap lalu menundukkan kepala dan mengembalikan posisi duduk seperti semula. Ia menoleh ke arah Dimas sambil tersenyum kecut. "Bisa si Mas. Tapi cuma dikit, he he," jawabnya sambil menunjuk ujung telunjuknya.

Dimas menautkan alisnya. "Dikitnya kaya gimana, tuh? Lo biasanya masak apaan buat makan?"

Amara meringis hingga memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi. "Di rumah dinas, saya jarang masak Mas. Cuma nyeduh mi cup buat makan malam aja." Amara menjawab sambil menunduk malu-malu.

"Hah! Nggak keriting tuh perut?"

Amara sontak menatap perutnya sendiri dan merabanya perlahan. Ia antas menatap Dimas sambil menggeleng pelan. "Nggak keriting kok, Mas. Tetep lurus!" protesnya dengan wajah lugu.

"Bukan perut yang kriting. Tapi usus, Lo!" tutur Dimas dengan mimik kesal melihat sikap bodoh gadis di depannya itu. Ia lantas berdecak sambil geleng-geng Kepala. "Padahal lo ini petugas kesehatan, harusnya tau dong, kalau mi instan itu nggak baik buat kesehatan!"

"Tapi jarang-jarang kok, Mas. Nggak setiap hari. Beneran!" protes Amara sambil mengacungkan dua jarinya untuk meyakinkan.

"Tapi tetap saja lo suka makan mi instan!"

Meski ucapan Dimas selalu kasar, tapi mengandung sejejak kepedulian yang terselip di sana. Amara bisa merasakan hal itu, dan ia tersenyum samar.

"Mulai sekarang, lo harus belajar masak. Lo punya tanggung jawab besar atas makanan yang gue konsumsi."

"Baik Mas, saya mengerti." Amara mengangguk pelan.

Dimas mendesah pelan lalu menyandarkan kepalanya pada kepala ranjang dengan santai. Menatap Amara yang tengah termenung, ia pun menggerakkan kakinya yang berada di pangkuan Amara. "Pijitin kaki gue bentar," suruhnya dengan sikap angkuh.

"Pijat?" Amara membulatkan mata tak percaya. Ia bahkan mengulangi perkataaan Dimas hanya untuk meyakinkan. "Ah, iya. Tentu saja saya akan memijat kaki Mas Dimas. Dengan senang hati, hehe." Dengan cepat tangannya bergerak memegang kaki Dimas saat melihat perubahan air muka lelaki itu.

Amara mulai memijat kaki Dimas dengan gaya pijat yang ia bisa. Ia tetap tersenyum ramah meskipun dalam hati menggeram kesal.

Melirik Dimas yang masih merenggut kesal, ia pun mencari topik pembicaraan untuk mengusir ketegangan. "Pegal ya Mas?"

Bukannya menjawab, Dimas justru menghentakkan kakinya. "Lebih kuat, dong! Nggak berasa, ni."

Amara melongo, lalu mengangguk faham. Ia kemudian menambah tekanan pijatan. "Begini?" tanyanya meminta kepastian.

"Kurang kenceng."

"Kalau begini?" Amara menambah lagi tekanan tangannya. Bahkan terlalu kuat hingga membuat Dimas menjerit.

"Aahh!" Dimas menarik kakinya sambil membelalakkan mata. "Sialan! Lo sengaja mau matahin kaki, gue?" makinya sambil menarik telinga Amara di dalam jilbab.

Amara memberengut sambil mengusap telinganya. "Kan tadi Mas Dimas yang minta dikencengin lagi, kan?" tuturnya setengah mengingatkan.

"Ya tapi kan nggak sekencang itu juga, Amara ...!" balas Dimas dengan gigi yang menggemertak. Ia mendesah kasar lalu menaruh kembali kakinya di paha Amara. "Pijat lagi yang bener! Awas kalau malah makin sakit! Habis, Lo." Dimas menatap Amara tajam sambil menggores lehernya sendiri dengan jari, seolah-olah semakin menguatkan aura mengancam yang ia tunjukkan.

Amara menatap Dimas dengan wajah bergidik ngeri. Ia meneguk salivanya berat, lalu mengangguk dengan bibir tersenyum kecut.

Ia kemudian mulai memijat kaku Dimas dengan tekanan sedang. Amara kemudian melirik pria itu untuk melihat bagaimana reaksinya. "Kalau seperti ini gimana, Mas?"

Dimas diam sejenak seolah sedang menimbang-nimbang, kemudian berucap, "Biarpun rasanya nggak enak, tapi lumayan, lah," jawabnya datar. Meskipun tak menunjukkannya dengan kata-kata, namun sikap Dimas yang terlihat menikmati pijatan Amara sudah cukup membuat gadis itu merasa senang.

Bersambung

1
Sumarni Tina
akhirnya Dimas ketahuan
Sumarni Tina
Luar biasa
Enjelika h
Lumayan
Sulistiawati Kimnyo
semangat lg kakak....
Via
kebanyakan dram jd bosen bacanya
Via
huhhh TOLOL si Amara goblok anjing gitu aj mau ngalah setan😤😤😤😏😏😏
Firda Fami
dah tinggalin aja tuh si Dimas biar mati sekalian 👿
beybi T.Halim
gak asek .., karakter wanitanya seharusnya keren.,barbar dan gak gampang ditindas.,biasanya anak yatim-piatu itu punya sifat yg keren😊
Fa Rel
amara bodoh mending minta cerai biarin dimas nyesel seumur idup
Fa Rel
rasain lu dimas emang enak di.bhongin biar amara ma juan aja lah dripada.ma.dimas g tau trima kasih
Zahra Cantik
masa udah tamat thor 😔😔
kasih bonus dong 😘😘😘
Nina Latief
Lanjut thooorrr...nanggung nih
Bagus X
tamat ?
😨😨
Bagus X
wah wah wah,,tanda tanda wereng coklat ini😌
Bagus X
💖💞👄
Bagus X
eeelahdalah,,,
Bagus X
wadaw,,dalem bngeeeet
Bagus X
😁😁😁😁😁😁😁😁 sa ae mu Thor idenyaaa
Bagus X
ooohhhh,,,so swiiiitttt 😜
Bagus X
ya'ampun othooor,,,benar benar tega dehhh🤦
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!