NovelToon NovelToon
MEMPERBAIKI WALAU SUDAH TERLAMBAT

MEMPERBAIKI WALAU SUDAH TERLAMBAT

Status: sedang berlangsung
Genre:Bapak rumah tangga / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Aliansi Pernikahan / Mengubah Takdir
Popularitas:683
Nilai: 5
Nama Author: frj_nyt

Ongoing

Feng Niu dan Ji Chen menikah dalam pernikahan tanpa cinta. Di balik kemewahan dan senyum palsu, mereka menghadapi konflik, pengkhianatan, dan luka yang tak terucapkan. Kehadiran anak mereka, Xiao Fan, semakin memperumit hubungan yang penuh ketegangan.

Saat Feng Niu tergoda oleh pria lain dan Ji Chen diam-diam menanggung sakit hatinya, dunia mereka mulai runtuh oleh perselingkuhan, kebohongan, dan skandal yang mengancam reputasi keluarga. Namun waktu memberi kesempatan kedua: sebuah kesadaran, perubahan, dan perlahan muncul cinta yang hangat di antara mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25

Keputusan itu tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh pelan, seperti retakan kecil di dinding rumah awalnya hampir tak terlihat, lalu melebar sedikit demi sedikit, sampai akhirnya tidak bisa lagi diabaikan.

Hari-hari setelah pertengkaran itu berjalan aneh. Tidak ada teriakan. Tidak ada adu kata. Justru sunyi yang terlalu rapi. Feng Niu tetap pulang larut. Kadang dua hari sekali. Kadang lebih. Saat berada di rumah, ia seperti tamu hanya datang, berganti pakaian, lalu pergi lagi. Tidak bertanya tentang Xiao Fan. Tidak menoleh ke arah Ji Chen.

Dan Ji Chen… berhenti berharap Ia mengatur hidupnya seperti mesin. Bangun pagi, menyiapkan Xiao Fan, mengantar ke penitipan, bekerja, pulang, memasak sederhana, menidurkan anaknya. Rutinitas itu berjalan berminggu-minggu, tanpa Feng Niu benar-benar hadir di dalamnya.

Xiao Fan kini berusia hampir empat tahun. Usia di mana anak-anak lain mulai cerewet, banyak bertanya, berlari tanpa takut jatuh. Tapi Xiao Fan justru semakin tenang bahkan terlalu tenang. Ia jarang menangis. Jarang meminta. Bahkan jarang mengeluh lapar atau haus.

Suatu malam, Ji Chen menemukan Xiao Fan tertidur di sofa, masih mengenakan jaket tipisnya. Di meja, segelas susu dingin belum tersentuh. “Kamu kenapa tidak minum?” Ji Chen bertanya pelan saat membangunkannya.

Xiao Fan membuka mata, lalu duduk cepat. “Aku takut tumpah.” Kalimat itu sederhana. Tapi Ji Chen membeku. Ia mengelus kepala anaknya, senyum tipis dipaksakan. “Tidak apa-apa tumpah. Papa bisa bersihkan.” Xiao Fan mengangguk, tapi tetap tidak menyentuh gelas itu.

Malam itu, setelah Xiao Fan tertidur, Ji Chen duduk lama di ruang kerja. Lampu kecil menyala. Di meja, ada map cokelat yang baru saja ia ambil dari laci paling bawah.

Di dalamnya: dokumen konsultasi hukum. Belum ditandatangani. Belum diajukan. Tapi sudah cukup nyata untuk membuat dadanya sesak.

Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan sampai di titik ini. Mengajukan cerai bukan hanya soal meninggalkan Feng Niu itu berarti mengakui bahwa semua usahanya selama ini gagal.

Ia teringat hari pernikahan mereka. Wajah Feng Niu yang cantik, dingin, tanpa senyum. Ia tahu sejak awal pernikahan ini tidak dimulai dengan cinta. Tapi ia percaya bodohnya bahwa cinta bisa tumbuh jika ia cukup sabar.

Kini, yang tumbuh justru luka. Dan yang paling parah, luka itu tidak hanya ia rasakan sendiri.

Beberapa hari kemudian, Ji Chen pulang lebih cepat dari biasanya. Hujan turun sejak sore, membuat rumah terasa lebih sunyi dari biasa. Ia mendengar suara kecil dari kamar Xiao Fan. Bukan tangis. Bukan juga tawa. Ia mendekat perlahan.

Xiao Fan duduk di lantai, memeluk lututnya sendiri. Di depannya, buku gambar terbuka. Halamannya kosong, kecuali satu gambar kecil di sudut sebuah figur pria besar dan figur anak kecil, bergandengan tangan. Tidak ada figur ketiga.

“Kamu gambar apa?” Ji Chen bertanya. Xiao Fan menoleh, lalu cepat-cepat menutup bukunya. “Tidak apa-apa.” Ji Chen berjongkok. “Boleh Papa lihat?”

Xiao Fan ragu beberapa detik, lalu membuka kembali bukunya. Ji Chen melihat gambar itu. Tangannya mengeras di udara. “Ini Papa?” tanyanya.

Xiao Fan mengangguk.

“Yang ini kamu?”

Anggukan lagi.

“Yang satu lagi?” Ji Chen bertanya pelan, meski ia sudah tahu jawabannya.

Xiao Fan menatap kertas itu lama. “Tidak perlu digambar,” katanya. Ji Chen menutup mata sesaat.

Malam itu, setelah Xiao Fan tidur, Ji Chen mengeluarkan map cokelat itu lagi. Kali ini, ia membacanya dengan lebih serius. Pasal demi pasal. Hak asuh. Aset. Prosedur.

Ia berhenti di bagian hak asuh anak. Tangannya mengepal. Ia tidak takut hidup sendiri. Ia takut Xiao Fan tumbuh dalam rumah yang membuatnya belajar untuk mengecilkan diri.

Beberapa hari kemudian, Feng Niu pulang pagi. Bukan pagi yang segar. mata lelah, riasan sedikit berantakan, aroma alkohol samar. Ji Chen sedang menyiapkan sarapan untuk Xiao Fan. “Papa,” Xiao Fan menarik ujung kemejanya, berbisik. “Mama pulang.” Ji Chen menoleh.

Mata mereka bertemu. Tidak ada kehangatan. Tidak ada rasa bersalah. “Kita perlu bicara,” kata Ji Chen, tenang.

“Sekarang?” Feng Niu melepas tasnya dengan kasar. “Aku capek.”

“Ini penting.”

Xiao Fan berdiri di belakang Ji Chen, memeluk kakinya. Feng Niu melihat itu. Alisnya berkerut, tapi ia tidak mengatakan apa pun. Ji Chen menunggu sampai Xiao Fan masuk kamar, lalu menutup pintunya perlahan. Ia kembali ke ruang tamu. Duduk berhadapan dengan Feng Niu. “Aku sudah cukup,” katanya.

Feng Niu tertawa kecil. “Cukup apa?”

“Cukup berharap kamu berubah. Cukup menutup mata. Cukup membuat anak kita takut berada di rumahnya sendiri.”

“Jangan lebay,” Feng Niu memalingkan wajah. “Dia baik-baik saja.”

Ji Chen berdiri. “Dia belajar untuk diam supaya tidak dimarahi. Itu bukan baik-baik saja.”

Hening. Beberapa detik berlalu sebelum Feng Niu berkata, datar, “Jadi kamu mau apa?” Ji Chen mengeluarkan map cokelat itu dari tas kerjanya. Meletakkannya di meja.

“Aku hampir mengajukan cerai.” Kata hampir terdengar berat. Feng Niu menatap map itu lama. Wajahnya tidak berubah, tapi jemarinya menegang. “Silakan,” katanya akhirnya. “Kalau itu yang kamu mau.”

Ji Chen menggeleng pelan. “Aku tidak mau berpisah. Aku mau rumah yang aman untuk anakku.”

“Dan menurutmu aku ancaman?” Feng Niu berdiri.

Ji Chen tidak menjawab. Jawaban itu terlalu jelas. Feng Niu tertawa pahit. “Jadi aku ibu yang buruk?” Ji Chen menatapnya. Lama. “Kamu ibu yang belum siap. Tapi Xiao Fan tidak bisa menunggu kamu siap.”

Kalimat itu menghantam Feng Niu lebih keras dari yang ia kira. Namun alih-alih menangis atau marah, ia justru menutup diri. “Lakukan saja,” katanya dingin. “Aku juga capek.”

Malam itu, Feng Niu pergi lagi. Ji Chen duduk sendirian di ruang tamu. Map cokelat itu masih di meja. Ia membukanya, mengambil pulpen. Tangannya terangkat… lalu berhenti. Ia mendengar langkah kecil dari kamar.

Xiao Fan berdiri di ambang pintu, memeluk bantalnya. “Papa… Mama pergi lagi?” Ji Chen meletakkan pulpen. Ia berjalan mendekat, mengangkat anaknya, mendudukkannya di sofa. “Iya,” katanya jujur.

Xiao Fan menunduk. “Papa marah?”

Ji Chen menggeleng. “Papa sedih.”

Xiao Fan berpikir sejenak, lalu berkata, pelan, “Kalau Papa sedih… Papa juga mau pergi?” Pertanyaan itu memecahkan sesuatu di dalam diri Ji Chen. Ia memeluk Xiao Fan erat. “Tidak. Papa tidak akan pergi.”

“Janji?”

“Janji.”

Malam itu, Ji Chen memasukkan kembali dokumen itu ke dalam map. Ia tidak menandatanganinya, tapi belum. Bukan karena ragu pada keputusannya melainkan karena ia tahu, setelah langkah itu diambil, tidak ada jalan kembali. Dan ia ingin memastikan…

bahwa ketika ia melangkah, itu benar-benar demi keselamatan anaknya, bukan sekadar kelelahan hatinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!