Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.
Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.
Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.
Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?
Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Kolam Renang Part 2
...****************...
Araya menyandarkan kepalanya di bahu Gevan, tubuhnya masih terasa lelah setelah beradaptasi kembali dengan air. “Udah sampai di sini dulu, capek,” gumamnya.
Mungkin karena tadi ia langsung masuk ke air tanpa pemanasan. Atau bisa juga karena pakaiannya yang terasa sedikit berat, menyerap air dan menambah bebannya. Atau… Araya saja yang memang hanya malas.
Gevan menuruti kemauan istrinya, mengarah ke tepi kolam tanpa banyak protes. Namun, di dalam air, ia merengkuh pinggang Araya, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka kembali menempel erat. Seperti posisi awal tadi, di mana Araya sepenuhnya menempel pada sang suami.
Tatapan Gevan turun, fokus pada bibir Araya yang memerah karena air dan suhu tubuhnya yang naik. Ada ketertarikan yang jelas di matanya—sesuatu yang membuat Araya merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
“Tahan napas, sayang,” bisik Gevan.
“Hm?” Araya mengerutkan kening, tidak langsung paham.
Namun, Gevan tak memberinya kesempatan untuk bertanya lebih jauh. Ia sudah menempelkan bibir mereka, menciptakan sentuhan lembut yang langsung membuat Araya kehilangan pijakan.
Sebelum ia sempat memproses apa yang terjadi, Gevan membawa mereka lebih dalam, membiarkan air sepenuhnya menelan tubuh mereka.
Ciuman itu terus berlanjut di bawah air—intens, dalam, dan memabukkan. Sensasi dingin air bercampur dengan panas tubuh mereka menciptakan kombinasi yang anehnya justru membuat Araya merasa lebih tersesat.
Saat mereka akhirnya kembali ke permukaan, Araya langsung menarik napas panjang, paru-parunya terasa begitu lega setelah kekurangan oksigen. Napasnya masih berantakan, bukan hanya karena ciuman itu. Namun, Araya akui ada sensasi erotis yang berbeda dengan cara ciuman mereka barusan.
Ia menatap Gevan dengan tatapan setengah kesal, setengah tidak percaya. Laki-laki itu hanya tersenyum kecil, seakan puas dengan reaksinya.
“Gevan,” gumamnya, tapi suaminya tak menggubris. Ia justru menunduk, menyusuri leher jenjang Araya, menyentuhnya dengan cara yang membuat istrinya refleks mencengkeram bahunya.
Araya bisa merasakan wajahnya semakin memanas. Ia mengeratkan pelukannya di leher Gevan, seolah itu satu-satunya cara agar tetap tenang.
Namun, saat tangan laki-laki itu mulai turun, hendak membuka bajunya dengan niat jelas, Araya segera menahan. “Jangan,” bisiknya.
Gevan berhenti, menatapnya. “Kenapa?”
“Malu, Gevan.” Araya menelan ludah. “Gimana kalau ada yang lihat?”
“Ghariel lagi di sekolah, sayang.” Gevan menangkup wajahnya, menatapnya dalam. “Pelayan dan pekerja juga pasti langsung pergi kalau lihat majikannya di sini.” Jelas Gevan kembali hendak membuka kaos yang di kenakan sang istri. Namun Araya kembali menahannya.
“Kenapa lagi?” tanyanya dengan suara rendah, ada kesabaran yang hampir habis di sana.
Araya menoleh sekilas ke arah kamera di atas sana. “Kata kamu ada CCTV…”
Gevan tersenyum kecil. “Udah aku nonaktifin.”
Araya terdiam. Baiklah, ia tidak punya alasan lagi untuk menolak.
Gevan dengan mudah menyingkirkan baju sang istri, lalu berlanjut membuka bra hitam Araya dengan satu tarikan pasti. Napas Araya tercekat, tapi ia tidak melawan, hanya menyembunyikan wajahnya di leher Gevan karena masih merasa malu.
Gerakan itu justru membuat Gevan semakin gila. Tubuh mereka kini bersentuhan langsung, kulit yang dingin karena air bercampur dengan kehangatan yang mereka ciptakan sendiri.
“Araya…” suara Gevan terdengar lebih dalam, hampir seperti gumaman yang menggetarkan.
Araya menggigit bibirnya, merinding hanya dengan mendengar namanya disebut seperti itu. Tangan Gevan menangkup wajahnya lagi, memberi kecupan sekilas di bibirnya sebelum berbisik dengan suara yang lebih rendah, lebih menggoda.
“Main di sini, ya?” Ajak Gevan dengan tatapan sayunya. Mana bisa Araya mengelak kalau begini?
Gemercik air menjadi saksi bisu bagaimana keduanya terhanyut dalam gelombang perasaan yang tak terbendung. Araya berusaha menahan suaranya agar tak terdengar oleh para pekerja mansion.
“Enghh, Araya..”
Yah, berbeda dengan Gevan yang dengan mudah menyebut namanya di sela-sela kebersamaan mereka.
Saat akhirnya Gevan mencapai puncaknya, Araya memeluknya erat, tubuhnya terasa lemas seakan kehilangan seluruh energinya.
Araya mengembuskan napas panjang, kepalanya masih bersandar di bahu laki-laki itu. Kemudian, dengan suara lirih yang sarat kelelahan, ia bergumam, “Lain kali kita coba di tempat yang lebih mainstream…” Sarkas Araya yang malah di angguki suaminya itu.
***
Shinta menatap bayangannya di cermin besar di kamarnya. Tubuhnya yang hanya dibalut hot pants dan dalaman ketat tercermin jelas di sana, menampilkan setiap lekuk sempurna yang membuatnya bangga. Ia tersenyum kecil, mengagumi dirinya sendiri.
Bagaimana bisa para laki-laki tidak tergila-gila dengan tubuhnya yang indah ini? Pikirnya dengan penuh percaya diri. Tak lama bibirnya melengkung sinis.
“Ck, hanya Gevan yang buta dan malah memilih Araya daripada aku,” gumamnya.
Dengan sedikit dengusan kesal, ia berbalik dan melangkah menuju walk-in closet. Jemarinya menyusuri deretan pakaian mahal yang tersusun rapi. Ia harus terlihat mempesona hari ini—seperti biasa. Di kampus, ia adalah primadona. Semua mata selalu tertuju padanya, dan ia menikmatinya.
Butuh waktu cukup lama baginya untuk memilih pakaian yang pas, tapi akhirnya ia menemukan yang sesuai dengan seleranya.
Setelah berganti pakaian dan mengeringkan rambut, ia kembali ke kamar mandi untuk mengambil vitamin rambut yang tergeletak di wastafel. Namun, langkahnya seketika terhenti.
Jantungnya mencelos. Mata indahnya membelalak lebar, menatap pantulan kaca wastafel dengan ngeri.
Di sana, sebuah tulisan besar tergores di permukaan cermin. Merah. Mencolok. Seperti darah.
‘MATI’
Seketika tubuhnya membeku. Napasnya tercekat di tenggorokan. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin dari sebelumnya. Kedua tangannya gemetar hebat. Kakinya terasa lemas.
“AKHHHH!” Pekiknya pecah, menggema di seluruh ruangan.
Tanpa berpikir panjang, Shinta berlari secepat mungkin keluar dari kamar mandi. Napasnya tersengal, langkahnya terburu-buru saat menuruni tangga, hampir tersandung karena kakinya yang lemas. Ketakutan membanjiri pikirannya, menghantui setiap sudut kesadarannya.
Bertepatan dengan itu, mamanya baru saja memasuki rumah dengan pakaian kantornya.
“Mah! Aku dapet teror lagi!” serunya dengan suara bergetar, nyaris menangis. Tangannya mencengkeram erat pegangan tangga, tubuhnya masih gemetar hebat.
“Di-di kaca, ada tulisan pakai darah, Ma! Padahal tadi waktu aku mandi, gak ada!” lanjutnya panik, wajahnya pucat pasi.
Mamanya menatapnya dengan alis berkerut. Wajahnya menunjukkan ekspresi kelelahan bercampur heran. “Kamu beneran? Kamar kamu aja di lantai dua. Siapa yang bisa masuk ke sana?” tanyanya dengan nada skeptis.
“Aku serius, Ma!” Shinta mencoba meyakinkan, suaranya semakin meninggi. Ia benar-benar tidak sedang berhalusinasi!
Mamanya menghela napas panjang lalu berjalan menaiki tangga. “Ayo kita lihat.”
Shinta mengikuti di belakang dengan langkah ragu. Jantungnya masih berdetak kencang, dan tubuhnya masih terasa lemah. Begitu mereka sampai di kamar, ia segera melangkah masuk ke kamar mandi, menunjuk ke arah cermin wastafel.
Namun, matanya membelalak lebih lebar saat melihat cermin itu kini bersih tanpa noda. Tidak ada tulisan. Tidak ada jejak merah darah seperti yang tadi ia lihat.
Shinta menatap mamanya dengan syok. “Mah, sumpah tadi ada tulisan di sini! Tulisannya gede, ‘MATI’, kayak gitu! Aku gak bohong!” katanya dengan suara putus asa.
Mamanya menatap Shinta dengan tatapan datar. “Kemarin kamu telepon mama pulang cepat karena kamu dapat paket di depan pintu, dan ternyata gak ada apa-apa. Sekarang ini? Kamu ini cuman halusinasi atau gimana sih?!” tanyanya dengan nada kesal.
Shinta menggeleng, merasa semakin frustasi. “Aku gak bohong, Ma… Aku juga gak tahu siapa yang bersihin bangkai babi yang aku dapat kemarin!” suaranya mulai bergetar. Ia benar-benar takut.
Ia juga tidak tahu siapa yang membersihkan bangkai babi yang ia dapat kemarin. Saat ia pulang sudah bersih tanpa bersisa, padahal ia melemparnya asal. Dan tadi, ia dengan kesadaran penuh melihat ada tulisan di sini.
Mamanya menghela napas lelah lalu duduk di tepi kasur, memijat pelipisnya. “Udahlah, kamu jangan mengada-ngada lagi. Mama lagi capek karena dipecat!”
Shinta terdiam. Matanya membesar karena terkejut. “Jadi Mama pulang cepat karena dipecat? Kenapa bisa?!”
Mamanya mendengus kesal. “Istri direktur ngelabrak Mama di depan semua karyawan kantor! Entah dari siapa dia tahu Mama ada afair sama suaminya. Kamu bayangin aja gimana wajah Mama sekarang!” katanya dengan suara penuh amarah.
Shinta menatap mamanya, masih sulit percaya. Mamanya seorang simpanan direktur? Itu berita yang lebih mengejutkan dari semua teror yang ia dapatkan belakangan ini.
“Udahlah, sekarang kamu kuliah aja yang bener,” ujar mamanya sebelum keluar dari kamar, meninggalkan Shinta yang masih terpaku dalam keterkejutannya.
Namun, rasa terkejut itu perlahan berganti dengan ketakutan. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.
Ia melangkah menuju jendela, memeriksanya. Terkunci. Lalu, matanya beralih ke pintu balkon. Alisnya mengernyit saat melihatnya sedikit terbuka.
Detik itu juga, napasnya tercekat.
Seseorang telah keluar dari sana. Atau lebih buruk… seseorang tadi ada di dalam kamarnya.
...****************...
tbc.
ga smua laki2 bs kek dy
bner2 kasih istri tahta tertinggi di hatinya
anak aja nmr 2
cb di konoha
istri mah media produksi anak aje
semangat terus ya buat ceritanya Thor
bisa aja si suami pocecif ini usir anaknya/Joyful/