Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Simfoni Debu
Cahaya di dalam villa itu tidak langsung menyala saat sakelar ditekan. Ada jeda beberapa detik, sebuah tarikan napas panjang dari sistem kelistrikan tua, sebelum akhirnya lampu gantung kristal di langit-langit ruang tengah berkedip hidup.
Cahayanya bukan putih terang, melainkan kuning temaram yang memberi kesan melankolis. Bayangan-bayangan panjang seketika tercipta di sudut-sudut ruangan, merayap di dinding batu seperti tanaman rambat yang hidup.
"Wah, gila..." Bobi berputar pelan, matanya membelalak menatap sekeliling. "Ini villa atau museum? Gue berasa lagi syuting film drakula."
Ruang tengah itu sangat luas, dengan langit-langit tinggi yang membuat suara langkah kaki mereka bergema. Perabotan di sana—sofa-sofa besar, lemari pajangan, hingga meja bundar—sebagian besar masih tertutup kain putih tebal untuk melindunginya dari debu. Pemandangan itu menciptakan ilusi seolah-olah ruangan itu dipenuhi oleh hantu-hantu yang sedang duduk diam, membeku dalam waktu.
"Jangan lebay, Bob," sahut Sarah, meski tangannya sibuk mengusap lengan jaketnya sendiri, seolah merinding. Dia berjalan menuju meja resepsionis kecil di sudut. Ada secarik kertas di sana. "Ini ada catatan dari penjaga villa. Namanya Pak Wira."
"Apa katanya? 'Maaf saya mati, kuncinya di bawah pot'?" tebak Bobi asal.
Sarah memutar bola matanya. "Bukan. Katanya, 'Maaf tidak bisa menyambut. Badai akan turun lebih cepat, saya harus turun ke desa sebelum jalan tertutup. Kunci kamar ada di laci. Kayu bakar di belakang. Hati-hati dengan perapian, kadang asapnya membalik'."
"Bagus," gumam Rian sambil menurunkan tas ranselnya di atas salah satu sofa yang sudah dibuka kain penutupnya. "Setidaknya kita punya tempat berteduh sebelum badai benar-benar pecah. Bob, bantu gue cek kayu bakar. Udaranya makin dingin."
Sementara para pria sibuk, Elara memisahkan diri. Dia berjalan perlahan menyusuri ruang tengah, matanya tertuju pada sebuah objek besar di dekat jendela utama yang mendominasi ruangan.
Objek itu juga tertutup kain putih, namun bentuknya yang khas tidak bisa disembunyikan.
Dengan hati-hati, Elara menarik ujung kain penutup itu. Debu halus beterbangan, menari-nari dalam sorotan cahaya lampu gantung, sebelum akhirnya kain itu meluncur jatuh ke lantai.
Sebuah Grand Piano berwarna hitam legam terungkap.
Itu bukan piano biasa. Kayunya terlihat tua namun terawat, memantulkan bayangan Elara dengan sempurna. Di atas deretan tuts-nya, terukir nama pembuatnya dengan tinta emas yang mulai pudar. Elara bukan musisi, tapi dia tahu piano ini memancarkan aura kesedihan yang anggun.
"Cantik banget," bisik Elara tanpa sadar.
Dia mengulurkan jari telunjuknya, menyentuh salah satu tuts putih di oktaf tengah. Dingin. Tuts itu terasa sedingin es.
Elara menekannya perlahan.
Tung...
Satu nada terdengar. Bukan suara piano yang jernih, melainkan suara yang berat, rendah, dan bergetar panjang. Gema nadanya tidak langsung hilang, melainkan melayang di udara, memantul di dinding-dinding batu, seolah-olah villa itu sendiri yang sedang bersenandung.
"Wuih, main piano, Neng?" Bobi tiba-tiba muncul entah dari mana, membuat Elara tersentak kaget.
"Bobi! Ngagetin aja," protes Elara sambil memegang dada.
Bobi nyengir, lalu ikut menatap piano itu. "Gede banget nih piano. Bisa buat tidur di atasnya kalau kepepet. Tapi suaranya agak sember ya? Kayak suara kodok kejepit pintu."
Elara menggeleng, mencoba mengabaikan komentar Bobi. "Ini cuma perlu distem ulang, Bob. Tapi... rasanya aneh."
"Apanya?"
"Nadanya," gumam Elara, matanya menatap tuts hitam dan putih itu. "Rasanya seperti piano ini sudah lama sekali ingin dibunyikan."
"Oke, kalimat lo barusan resmi bikin gue merinding," potong Bobi cepat, lalu berbalik badan. "Gue mau bantu Rian aja ngumpulin kayu. Lo jangan main lagu yang aneh-aneh ya, El. Kalau tiba-tiba ada yang nyautin dari lantai dua, gue orang pertama yang lari."
Elara tersenyum tipis melihat Bobi yang setengah berlari menjauh. Namun, senyum itu perlahan pudar saat dia kembali menatap piano tersebut. Perasaannya tidak enak. Ada dorongan aneh untuk menutup kembali piano itu dengan kain, menyembunyikannya dari pandangan. Tapi di sisi lain, keindahan instrumen itu memikatnya.
"Elara?"
Suara Rian memanggil dari arah perapian. Pria itu sedang berjongkok, menyusun kayu bakar dengan cekatan. Api mulai menjilat-jilat kayu kering, memberikan cahaya oranye hangat yang kontras dengan dinginnya ruangan.
"Sini," panggil Rian lagi, menepuk tempat kosong di karpet tebal di depan perapian. "Hangatkan badan dulu."
Elara meninggalkan piano itu dan duduk di samping Rian. Kehangatan api langsung menyapa kulitnya yang beku. Dia memperhatikan profil wajah Rian yang diterangi cahaya api. Rahang yang tegas, hidung mancung, dan mata yang fokus menatap lidah api.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Rian tanpa menoleh, seolah dia bisa mendengar isi kepala Elara yang berisik.
"Hanya lelah," dusta Elara. "Villanya... lebih besar dari dugaanku."
Rian menoleh, menatap lurus ke manik mata Elara. "Kalau kamu merasa nggak nyaman, bilang ya. Kita bisa pulang besok pagi kalau badainya reda. Nggak usah dipaksain."
"Nggak apa-apa, Yan. Aku butuh ini. Deadline naskahku nggak bisa nunggu," jawab Elara, berusaha terdengar yakin. Dia tidak ingin merusak liburan yang sudah susah payah diatur Sarah hanya karena firasat buruknya yang tidak berdasar.
Sarah datang membawa nampan berisi empat cangkir cokelat panas instan yang baru diseduh di dapur. "Dapurnya oke, kompornya nyala. Tapi persediaan makanan di kulkas kosong melompong. Untung kita bawa bekal banyak."
Mereka berempat duduk melingkar di depan perapian. Bobi mulai bercerita tentang pengalaman konyolnya dikejar anjing tetangga minggu lalu, membuat Sarah tertawa terpingkal-pingkal dan Rian menggelengkan kepala geli.
Untuk sesaat, suasana terasa normal. Hangat. Manusiawi.
Hingga jam dinding besar di sudut ruangan berdetak lebih keras dari biasanya, menandakan pukul enam sore. Di luar, langit sudah gelap total. Angin menderu kencang, menabrak dinding villa dengan brutal.
"Oke, pembagian kamar," Sarah mengambil alih, membuka telapak tangannya yang berisi empat kunci kuno. "Di lantai dua ada empat kamar tidur. Gue udah cek barusan. Dua kamar menghadap depan, dua menghadap hutan belakang."
"Gue yang depan!" seru Bobi cepat. "Gue nggak mau liat hutan gelap pas bangun tidur. Nanti ada yang dadah-dadah dari balik pohon."
"Dasar penakut," cibir Sarah. "Ya udah, lo sama gue ambil kamar depan. Rian sama Elara kamar yang menghadap belakang. Pemandangannya lebih bagus kalau pagi, langsung gunung."
Elara dan Rian bertukar pandang sekilas. Ada kecanggungan tipis di sana.
"Oke," kata Rian santai, mengambil dua kunci. Dia memberikan satu pada Elara. Kunci itu berat, terbuat dari besi tua yang dingin. Gantungan kuncinya berupa ukiran kayu bunga edelweiss. "Ayo, kita taruh barang-barang dulu. Habis itu kita masak makan malam."
Mereka menaiki tangga kayu yang berderit setiap kali dipijak. Koridor lantai dua terasa lebih dingin daripada lantai bawah. Karpet merah marun yang melapisi lantai lorong itu tampak kusam, seolah sudah menyerap terlalu banyak langkah kaki selama puluhan tahun.
Kamar Elara berada di ujung lorong, bersebelahan dengan kamar Rian.
"Kalau butuh apa-apa, ketuk aja temboknya," kata Rian setengah bercanda saat mereka berdiri di depan pintu kamar masing-masing. "Atau teriak. Telingaku tajam kok."
Elara tertawa kecil. "Siap, Bodyguard."
Rian masuk ke kamarnya, dan Elara pun membuka pintu kamarnya sendiri.
Kamar itu luas. Sebuah tempat tidur berkelambu mendominasi ruangan. Ada meja rias kuno dengan cermin oval yang permukaannya sedikit berbintik hitam karena usia. Dan tentu saja, sebuah jendela besar yang menghadap langsung ke hutan pinus.
Elara masuk dan meletakkan kopernya. Dia berjalan menuju jendela. Di luar sana, kegelapan adalah raja. Tidak ada lampu jalan, tidak ada bulan. Hanya hitam pekat dan suara angin yang melolong sedih.
Saat Elara hendak menarik tirai untuk menutup pemandangan kelam itu, gerakannya terhenti.
Matanya menangkap pantulan di kaca jendela. Bukan pantulan dirinya.
Untuk sepersekian detik, di sudut kaca yang gelap, dia melihat pantulan seorang wanita bergaun putih berdiri tepat di belakang bahu kirinya. Wajahnya tertutup rambut panjang, tapi tangannya terulur seolah hendak menyentuh rambut Elara.
Elara tersentak hebat dan berbalik badan dengan cepat. Jantungnya memalu rongga dada.
"Siapa?!" serunya tertahan.
Kosong.
Kamar itu kosong. Hanya ada dirinya dan bayangan furnitur tua yang diam membisu.
Elara mengatur napasnya yang memburu. Tenang, El. Itu cuma pantulan kelambu. Cuma imajinasi.
Dia kembali menatap cermin meja rias. Wajahnya pucat pasi. Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia hanya lelah. Namun, saat dia berbalik untuk menutup tirai jendela dengan kasar, dia melewatkan satu detail kecil.
Di kaca jendela yang berembun karena perbedaan suhu, tepat di tempat "pantulan" tadi berdiri, terdapat jejak samar.
Jejak telapak tangan kecil yang tercetak dari bagian luar kaca.
Di lantai dua. Di tengah badai. Di mana tidak mungkin ada orang yang bisa memanjat....