NovelToon NovelToon
Aku Sudah Memaafkan

Aku Sudah Memaafkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cintamanis / Hamil di luar nikah / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Trauma masa lalu
Popularitas:2.7M
Nilai: 5
Nama Author: yu aotian

"Aku emang cinta sama kamu. Tapi, maaf ... kamu enggak ada di rencana masa depanku."


Tanganku gemetar memegang alat tes kehamilan yang bergaris dua. Tak bisa kupercaya! Setelah tiga bulan hubunganku dengannya berakhir menyakitkan dengan goresan luka yang ia tinggalkan, aku malah mengandung darah dagingnya.

Saat itu juga, aku merasakan duniaku berotasi tidak normal. Aku terisak di sudut ruangan yang temaram. Menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Namun, satu yang aku yakini, hidup itu ... bukan pelarian, melainkan harus dihadapi.


Adaptasi dari cerpen Aku Sudah Memaafkan, ©2022, Yu Aotian

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 : Menempati Posisi Terbaik di Hidupnya

Ini tentang seorang anak perempuan yang hidup, tapi seperti mati di keluarga sendiri. Ini tentang anak perempuan yang gagal menjadi dirinya sendiri karena tak memiliki kepercayaan diri. Ini tentang seorang anak perempuan yang memiliki keluarga lengkap tapi tidak seperti memilikinya. Ya, ini tentang aku.

Aku pernah membaca sebuah artikel dari seorang psikolog yang mengatakan, sedari kecil anak harus diajarkan mempertahankan barang kepemilikannya sebelum diajarkan berbagi ke orang lain. Ini berguna agar anak memiliki batasan pribadi, membentuk kepribadian dan emosi yang kuat dan terhindar dari tekanan untuk memenuhi keinginan orang lain yang akhirnya membuatnya terus mengalah. Sayangnya, ini tak diajarkan oleh orangtuaku sedari dini. Aku dibiasakan mengalah dan berbagi dengan apa yang kumiliki. Mungkin, inilah yang membuatku mudah mengiyakan ketika seseorang ingin mengambil sesuatu berharga yang kumiliki.

Di tengah keramaian suasana rumah, aku menyendiri di kamar, menenggelamkan wajahku di bantal. Air mataku yang sudah membentuk peta pulau Kalimantan tercetak di sarung bantal berwarna biru langit. Aku terus terisak, tanpa bisa melakukan apa pun. Rasa sakit hati karena tak bisa mempertahankan barang yang seharusnya menjadi hakku. Padahal, kak Evan sudah memintaku untuk menjaga baik-baik kalung itu. Nyatanya, belum menetap seminggu di leherku, kalung itu sudah raib diambil keluargaku sendiri.

Kini, alasan apa yang harus kukatakan padanya? Kalungku diambil ibuku untuk pernikahan kakakku? Aku juga tak ingin menjelekkan keluargaku sendiri.

Di tengah kekalutan batin yang kurasa, tiba-tiba ponselku membunyikan satu SMS masuk yang dikirim Arai.

^^^Arai SahabatQ^^^

^^^Kau pasti sangat sibuk sampai lupa kalo hari ini bang Evan wisuda. Dia mendapat predikat cumlaude, berilah ucapan selamat padanya!^^^

Aku terbelalak membaca pesannya. Ya, benar, aku sampai lupa kalau hari ini kak Evan wisuda. Seharusnya aku meneleponnya dan mengucapkan selamat. Kutengok jam di dinding kamarku. Sudah memasuki jam sepuluh malam untuk WITA yang artinya berbeda selisih satu jam dengan waktu di Jakarta.

Alih-alih menelepon kak Evan, aku malah memilih memencet nomor Arai. Sialnya, aku tak bisa meredam suara tangisanku begitu telepon tersambung. Isak tangisku terlalu jelas sehingga langsung terdengar olehnya.

"Gurita, kenapa kau menangis?" Suara bernada khawatir terdengar dari sambungan telepon.

"Kalung pemberian kak Evan sudah enggak ada," ucapku di sela tangisan.

"Maksud kau kalungnya hilang? Apa jangan-jangan kau dirampok? Sudah lapor polisi belum?" tanyanya dengan nada cemas.

"Bukan ... bukan itu ... pokoknya kalungnya udah gak ada sama aku. Ini salahku sendiri!" ucapku tersedu-sedu, "menurut kamu, kak Evan bakal marah gak ya aku hilangin kalungnya? Atau ... gimana kalo gara-gara itu dia malah mutusin aku?" Tangisanku sudah tak bisa terbendung saat bicara dengan Arai.

"Bagaimana tuh, Bang? Abang marah ndak?"

Aku tersentak saat mendengar Arai bertanya pada seseorang. Tunggu, apa ada orang selain dia di sana?

"Enggak. Kalo emang udah gak ada, ya, mau gimana lagi."

Mataku melebar diikuti napas yang tertahan saat suara Evan memasuki pendengaranku. Seketika tangisanku terhenti karena sebelah tanganku spontan membungkam mulut sendiri.

"Tapi, kalo Ita pengen kalungnya lagi, entar aku ganti yang baru pas kamu dah pulang. Jangan nangis lagi, ya? Aku jadi bingung dan gak tahu harus gimana juga kalo kamu nangis kayak gini. Soalnya kamu lagi gak di samping aku."

Oh, Tuhan! Itu benar-benar suara kak Evan! Ternyata dia ada di samping Arai saat aku menelepon.

"Tuh, dengar! Bang Evan sendiri ngomong ndak papa bahkan bakalan dia ganti yang baru kalo kau masih mau kalung kayak gitu. Jangan nangis kayak orang ndak kebagian sembako gratis gitu!"

Masih dengan rasa terkejut yang tak terkira mendengar suara kak Evan, aku lantas mengakhiri telepon, lalu menyembunyikan kepalaku di bawah bantal.

"Dasar Arai Sialan! Kenapa dia enggak bilang dari awal kalo kak Evan ada di kamarnya!" gumamku sambil memukul-mukul tempat tidurku.

Sungguh, malu sekali! Rasanya ingin melenyapkan diri saat itu juga, mengetahui kak Evan turut mendengar suara tangisanku. Aku lupa kalau kak Evan sering tidur di kamar Arai. Meski begitu, aku sedikit lega karena ternyata kak Evan tidak mempermasalahkan kalung yang sudah tak ada padaku.

Ponselku mendadak membunyikan panggilan masuk yang ternyata dari kak Evan. Aku cepat-cepat mengusap air mata sembari berdeham berkali-kali untuk menetralkan nada suaraku.

"Halo ...."

"Masih nangis?"

"Ee ... enggak. Oh, iya, selamat atas wisudanya, ya? Senang dengar Kakak raih cumlaude."

Mendadak terdengar teriakan Arai. "Dari tadi dia uring-uringan tuh gara-gara kau ndak ngasih sela—."

Suara Arai terpotong di pangkal kalimat. Sepertinya, kak Evan sedang membekap mulutnya. Kini, dia malah menjerit-jerit sambil meminta tolong padaku seperti sedang menerima siksaan kecil. Namun, itu justru membuat tawaku menyembur keluar.

Sekali lagi, Arai selalu berada di lingkaran cinta kami. Kehadirannya seperti sebuah tali yang mengikat hubungan kami. Dia seolah menjadi jembatan komunikasi kami untuk hal-hal yang tak mampu kami utarakan secara langsung. Tidak salah kalau aku dan kak Evan membutuhkan kehadirannya di tengah-tengah kami yang memiliki jiwa rapuh.

***

Drama pulang kampung yang menyesakkan dada akhirnya berakhir. Aku kembali ke Jakarta dengan membawa uang jalan yang pas-pasan. Segala tekanan batin yang kualami selama seminggu berada di rumah, seakan tersapu begitu saja begitu melihat kak Evan berdiri menungguku.

Aku berlari ke arahnya sambil menarik koperku. Dia langsung menangkap tubuhku masuk dalam dekapannya. Kami berpelukan erat di tengah banyaknya penumpang yang berlalu lalang.

"Aku kangen kamu," ucapnya sambil mengecup lembut rambutku.

"Aku juga," balasku sambil bersandar di dadanya.

Akhirnya aku kembali mendengar detak jantungnya yang menenangkan. Aku melepas pelukannya sejenak sambil memandang ke sisi kiri dan kanan tubuhnya.

"Mana Arai?" tanyaku.

"Dia lagi sibuk ikut rapat organisasi. Dia lagi terobsesi banget jadi aktivis."

"Waktu itu dia sempat bilang masuk tiga organisasi sekaligus."

Dari bandara, dia tak langsung mengantarku ke kos. Mobilnya masuk ke salah satu mall besar di Jakarta yang dikenal memiliki store barang-barang mewah berkelas.

"Kita jalan-jalan dulu, yuk!" ajaknya sambil menarikku masuk ke dalam mall tersebut.

Dia menggiringku ke salah satu toko perhiasan. Aku sempat menahan langkahnya dengan memilih berdiam diri di pintu masuk, tetapi dia tetap bersikukuh membawaku ke dalam sana. Begitu masuk, mata ini langsung termanjakan dengan deretan perhiasan indah yang memancarkan kilauannya dari dalam etalase. Pelayan toko langsung melayani kami.

"Aku mau kalung Cartier edisi terbaru yang seminggu lalu aku beli di sini," kata kak Evan sambil memerhatikan setiap kalung yang terpampang.

"Maaf, yang itu sudah tidak ada karena memang edisi terbatas. Tapi, Anda bisa melihat koleksi terbaru kami lainnya." Pramuniaga itu lalu menunjukkan koleksi kalung yang cantik-cantik.

"Kamu suka yang mana?" tanya kak Evan padaku.

Aku menggeleng pelan. Sepertinya kak Evan salah tangkap tangisanku saat itu. Mungkin dia mengira aku menangis karena kehilangan kalung tersebut. Padahal, aku menangis karena rasa bersalahku tak bisa mempertahankan barang pemberiannya dengan baik.

"Udah, pilih aja!" ucapnya sambil meraih pinggangku mendekat ke arahnya, "kayaknya ini cocok buat kamu."

Di saat dia asyik memilih kalung yang baru, mataku justru tertuju pada sepasang cincin kopel berwarna perak dengan desain yang simpel di mana hanya ada satu permata di tengah-tengahnya.

"Kamu suka yang itu?"

Aku terkesiap dengan pertanyaan kak Evan. Rupanya dia memerhatikan pandanganku yang terus tertuju pada cincin kopel tersebut. Dia lalu meminta pramuniaga untuk menunjukkan dua cincin itu pada kami.

"Ini cincin kopel dari koleksi Tiffany. Cocok dijadikan cincin tunangan juga. Harganya sedang diskon untuk bulan ini," jelas pramuniaga pada kami.

Kak Evan mengambil cincin kopel perempuan, kemudian mengambil tanganku untuk memasangkannya di jari manisku.

"Pas banget di jari kamu. Kamu suka?"

Aku tersenyum tipis. Malu untuk menjawab kalau aku benar-benar menginginkan cincin itu. Dia lalu mengambil cincin pria yang ukurannya lebih besar lalu memintaku memasangkan di jarinya.

"Pas juga di jari aku," kata kak Evan yang kemudian mengeluarkan kartu kreditnya untuk membayar.

Harga cincin ini jauh lebih murah dibanding kalung yang kemarin, tapi aku sangat senang memilikinya. Sebab, ini pertama kalinya kami memiliki barang kopel. Saat ini sedang tren apa pun yang berbau kopel di kalangan anak muda. Baik perempuan maupun lelaki akan sangat bangga menggunakan barang-barang berbau kopel, seperti gantungan hp yang sama, baju dan jaket kembar, termasuk cincin pasangan untuk menunjukkan jika mereka telah dimiliki seseorang.

Aku dan kak Evan berdiri bersebelahan di depan cermin besar. Tangan kami terulur ke depan, sembari saling menunjukkan cincin yang telah tersemat di jari manis kami masing-masing.

Kak Evan berdeham sejenak, lalu mengubah intonasi suaranya lebih dalam dan tegas. "Saudari Grittania Zefanya, bersediakah Anda menemani lelaki ini baik suka maupun duka, sehat maupun sakit, selama saudari hidup di dunia ini?" ucapnya berlagak sebagai pemangku upacara pernikahan seperti di film-film romantis yang sering kami tonton.

"Saya bersedia," jawabku cepat.

Kami saling memandang dengan senyum rekah yang terpatri di bibir masing-masing.

Kepada siapapun, tolong jangan rampas kebahagiaan kami! Sebab, aku ingin menempati posisi terbaik di hidupnya.

Kami lalu memutuskan beranjak keluar dari toko tersebut. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat seorang pria yang tengah merangkul perempuan pakaian yang cukup seksi. Bersamaan dengan itu, pria tersebut juga sedikit tersentak melihat kak Evan.

"Evan?"

Pria itu melangkah ke arah kami sambil memandangku. Wajahnya tak kalah tampan dan terawat dari kak Evan, penampilannya sangat necis dengan setelan tuksedo yang membalutnya. Mata pria itu terarah pada tangan kami yang saling bertautan.

"Pacarmu?" tanyanya sambil melirik ke arahku seraya menaikkan sebelah alisnya.

Kak Evan hanya bergeming kaku.

"Bagus! Lo emang harus sering senang-senang bareng perempuan daripada terlalu banyak bergaul dengan pembantu," ucapnya kembali dengan nada meremehkan.

Detik itu juga, kurasakan remasan kuat jemari kak Evan di jari-jariku. Aku juga bisa melihat sorot matanya yang penuh dengan perlawanan.

.

.

.

Like dan Komeng

1
Rizkyana Nur Fatimatuz Zahra
Dilihat dr sudut manapun cerita kak Yu memang berbeda dr yg lain 😘😍💞
She💜YoU
Yes, I think I know who's that man you're talking about.... and the initial is RG... isn't it?

.
.
.

Beliau juga mengatakan bahwa Al-Quran adalah fiksi🙏
Lyta 𒈒⃟ʟʙᴄ 🍒⃞⃟🦅_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
wg Lanang kan ancen ngunu, Skali diwehi kesempatan, mepet terus Sampek kenek.
pokok lek wes oleh , Jo ditinggal maneh Van mesakne Gritta
Dee ²¹🌸
jahat, licik bngt ih...egois
Dee ²¹🌸
akankah Ita akan mengalami hal yg serupa...duhh jangan yaa Evan
Dee ²¹🌸
astagaaa 😭😭😭
Dee ²¹🌸
dihhh GR banget
Dee ²¹🌸
astagaa orang kaya sombong
Dee ²¹🌸
ohh berarti awalnya Ita ada rencana dalam masa depanmu dong Evan...sebelum suatu kejadian pastinya..apa ada hubungannya dengan ayahmu
anita dyah Juniarti
Bagus bgt ceritanya...bisa bikin yg baca sedih...se-sedihnya...
Semangat menulis terus ya kak...
Ina Kharolin
Lanjut kak yu
Likah Rofiq
siap kawal ita evan sampai halal..😍😍sampai punya adk juga buar arai
Diana
kayaknya othornya ngajak reonian, nih🤣 saat sekolah dengkulnya kelihatan semua tp gak ada kepikiran ngeres🤭
Pipit Sandra
so sweet,,,
aku udah niat lgi lho buat baca dr awal sampe akhir klo dah ending,soal nya klo on going itu, feel nya ilang2 timbul,pas lgi dpet feel sedih sampe sesegukan eehhh berenti, nunggu sambungan nya beberapa hari lg, sooo klo maraton lnjoot terus,lncar jaya,, tpi aku salut sama ksabaran aku yg bisa nungguin on going novel ini ampe tamat, biasa nya aku skip, cari novel yg end aja,,, tengkyu mbak you udah ksih cerita sebagus ini, sukses selalu,,,
Anonymous
setia dalam suka dan duka dalam un tung dan malang dalam sehat dan sakit
SasSya
🥰🥰🥰👍🏻
SasSya
sesuai judul 🤭
SasSya
🤓🤓🤣
ambyar
SasSya
cermat banget van👍🏻
SasSya
waaaaaaaaah
ada konspirasi rupanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!