Bayangkan: temanmu, Arjuna, pria yang diam-diam kau sukai, tiba-tiba menjadi ayah tirimu. Bukan hanya itu, pernikahan mereka bak drama telenovela yang penuh intrik!
Jasmine, gadis yang menyimpan rasa pada Arjuna, mendapati mamanya, Cahaya, jatuh cinta dan menikah dengannya. Bukannya bahagia, hatinya dipenuhi amarah yang membara. Balas dendam? Mungkin. Tapi bagaimana caranya? Akankah Jasmine mampu mengendalikan emosinya, atau justru terjerumus dalam pusaran dendam yang menghancurkan? Kisah ini akan membawamu dalam perjalanan emosional yang penuh kejutan, di mana cinta, pengkhianatan, dan dendam saling beradu. Siap-siap terhanyut dalam pusaran rahasia keluarga yang mengejutkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Video Viral
Cahaya menoleh ke Jasmine. Wajahnya masih tampak stress. "Duduk Jas," kata Cahaya menyuruh Jasmine untuk duduk. Jasmine pun duduk di kursi di depan meja mamanya.
Dia menatap ke arah mamanya datar. Tanpa ekspresi. Lalu Cahaya berucap, "Kamu udah lihat soal video mama dan Arjuna yang lagi rame di ige?" tanya Cahaya.
Jasmine sudah menduga jika mamanya pasti akan bertanya demikian. Ia lantas menjawab, "Udah. Terus?" tanyanya.
Cahaya berdecak, keningnya mengerut. "Jas, mama... argh!! Pusing mama. Kamu tau nggak siapa yang udah sebarin itu medsos? Nama mama tercoreng Jas, banyak yang hin4 mama! Haduh," Cahaya lalu menopang kepalanya dengan kedua tangan. Ia menundukkan kepalanya.
Jasmine terlihat memainkan kukunya dan tidak peduli. Dia menatap ke arah kukunya itu. "Terus apa hubungannya sama aku? Aku nggak tau dan nggak peduli juga.
Mau mama sama Arjuna ngelakuin apapun aku nggak peduli. Jadi kalo seumpama ini terjadi mungkin itu karm4 buat mama," kata Jasmine santai.
Lalu Cahaya mendongak, menatap ke arah Jasmine. Dia tak percaya jika Jasmine akan berkata demikian. "Bisa ya kamu Jas ngomong kayak gitu? Mama sekarang lagi mumet Jas! Banyak yang hin4 mama, ngej3lek j3lekin mama.
Kamu nggak ada simpati sedikitpun sama mama atas semua ini Jas? Kamu nggak kasian sama mama dan Arjuna?" Cahaya berharap ada sedikit rasa simpati dan belas kasihan dari Jasmine untuknya dan Arjuna.
Tapi dari wajah Jasmine tidak menunjukkan itu semua. Wajah Jasmine kini menunjukkan ekspresi yang dingin, seperti tidak nyaman dengan suasana di sekitarnya dan ucapan mamanya.
"Kasian? Buat apa? Dulu waktu aku sama papa susah mama nggak kasian tuh sama kami. Pas papa meningg4l mama juga nggak kelihatan kasian. Jadi buat apa aku kasian sekarang?
Aku justru seneng lihat mama kayak gini, itu tandanya Tuhan yang di atas mau ngasih mama teguran," ucap Jasmine. Ia pun kembali memainkan kukunya, menatap ke arah kukunya. Terlihat cuek.
Cahaya pun emosi. Tangannya mengepal erat, lalu dengan ker4s ia menggebrak meja. Jasmine tersentak kaget dan menoleh, matanya membulat sempurna.
Brakk!!
"Mama udah gil4 ya?!" seru Jasmine, ia terkejut karena mamanya tiba-tiba menggebrak meja. Ia mengelus dadanya yang berdebar-debar.
"Kamu benar-benar jah-at ya Jas sama mama. Mama nggak nyangka kalau kamu akan bersikap kayak gini ke mama saat mama lagi ada masalah. Mama kira kamu bakal nge-support Mama, nge-dukung Mama, atau paling nggak nenangin Mama, soalnya pikiran Mama lagi kacau banget sekarang.
Tapi ternyata kamu malah ngomong kayak gitu. Jas, Mama ini masih Mama kamu loh. Tanpa mama kamu nggak akan bisa lahir di dunia ini! tolong jangan jadi anak dvrhaka!" Cahaya berteriak, suaranya meninggi. Matanya berkilat tajam.
Jujur dia tidak suka dengan ucapannya sendiri, tapi dia tidak bisa menahan emosinya. Pikirannya sedang kacau sekarang karena masalahnya, tapi ucapan Jasmine malah memperbvruk keadaan.
Jasmine pun merasa emosi, tapi alih-alih meledak, emosi itu justru meneteskan air mata. Air matanya menuruni pipi, perlahan tapi pasti. Jujur, ia sedikit tersinggung dengan ucapan mamanya.
"Aku juga nggak minta dilahirkan kok, karena semenjak Papa meni-nggal aku nggak menemukan arti hidup lagi. Aku pengen m4ti aja, daripada hidup kayak gini selamanya!" Jasmine menutup wajahnya dengan kedua tangan, air matanya mengalir deras, suara tangisnya pilu, menyayat hati.
Cahaya tertegun mendengar ucapan Jasmine dan melihat air matanya mengalir. Rasa bersalah mencengkeram hatinya. Dia menyadari bahwa kata-katanya tadi terlalu kas4r dan melukai Jasmine.
Dalam hati, Cahaya menyesali semuanya. Seandainya dulu dia lebih mementingkan keluarganya daripada pekerjaannya, mungkin semuanya akan berbeda. Keluarga mereka akan tetap utuh, bahagia.
Lalu Cahaya berusaha meraih tangan Jasmine. Tapi Jasmine yang menyadari itu segera menarik tangannya. Dia menghapus air matanya dengan kasar. Tatapannya tajam menatap mamanya.
"Mama nyesel udah ngel4hirin aku? Nyesel udah nikah sama papa?!" tanya Jasmine, suaranya bergetar, getir. Tatapannya tajam, namun sorot matanya berkabut kesedihan. Rasa sakit menjalar di hatinya saat pertanyaan itu terlontar.
Cahaya menggelengkan kepala, air matanya menetes deras. "Nggak Jas. Mama nggak nyesel udah ngelahirin kamu," katanya, suaranya bergetar. "Awalnya Mama emang egois, terlalu mentingin kerjaan mama. Tapi sekarang mama sadar Jas, Mama udah banyak salah sama kamu dan papamu.
Mama minta maaf dan ingin memperbaiki semuanya. Kamu mau maafin Mama kan?" Cahaya mengulurkan tangan, ingin meraih tangan Jasmine, tapi Jasmine terus menghindar, tak membiarkan mamanya menyentuh tangannya.
"Kenapa baru sekarang Ma minta maafnya? Kenapa nggak dari dulu? Oh, atau setelah Mama kena masalah baru mama menyadari kesalahan mama? Apa sebenarnya tujuan mama?!" tanya Jasmine, suaranya meninggi.
Cahaya semakin kuat menangis. Dia menggelengkan kepala, suaranya bergetar, "Tolong maafin Mama Jas. Mama menyesal. Mama ingin memperbaiki hubungan kita. Please ya, maafin mama dan tinggal lagi sama mama.
Mama nggak punya siapa-siapa lagi Jas selain kamu dan kak Kate. Mama mohon ya, maafin mama. Tinggal lagi sama mama Jas," Cahaya terus memohon. Memasang muka sedih dengan harapan agar Jasmine luluh dan mau memaafkannya, mau kembali tinggal bersamanya.
Tapi Jasmine yang memiliki sifat keras kepala dan tidak mudah memaafkan seseorang. Segera menyeka air matanya. Dia tersenyum tipis, mengangguk pelan. "Mama mau aku tinggal sama mama? Mama bercanda?
Udah berapa kali aku bilang sama mama kalau aku nggak mau tinggal di rumah lagi sama mama. Aku mau tinggal di rumahku yang sekarang. Sendirian. Mama nggak usah paksa Aku!" tegasnya.
Cahaya menghela napas, kepalanya berputar seperti kincir angin. Video viral itu benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling. Belum lagi sikap Jasmine yang keras kepala, makin membuat kepalanya mau pecah.
"Apa yang harus Mama lakuin agar kamu mau tinggal di rumah lagi sama mama Jas? Mama butuh kamu, Mama kangen sama kamu. Apa yang harus Mama lakuin Jas, agar kamu mau balik lagi ke rumah?" tanya Cahaya. Wajahnya sedih, penuh harap.
Sejenak Jasmine terdiam, berpikir. Lalu senyum licik, penuh rencana, mengembang di bibirnya. Ia sedikit mencondongkan tubuh ke arah mamanya, "Mama pensiun dari posisi Mama sebagai CEO di perusahaan ini, terus mama angkat aku sebagai CEO baru.
Setelah itu terjadi aku akan balik lagi ke rumah dan tinggal sama mama. Gimana? Mama setuju?" tawarnya, sambil sedikit menjauhkan tubuhnya dari mamanya.
Cahaya tersentak. Perusahaan ini memang sudah milik Jasmine sepenuhnya. Tapi ia yang belum mau untuk melepaskannya tidak juga mau untuk pensiun dan membiarkan Jasmine untuk memimpin. Selain itu Jasmine juga belum terlalu mengerti soal perusahaan.
Jadi Cahaya menggunakan alasan itu untuk terus memimpin perusahaan. Sekarang saat Jasmine meminta hal itu, ia bingung. Dia mencintai posisinya sebagai CEO dan perusahaannya. Tapi jika untuk melepaskannya??
"Kenapa kamu tiba-tiba menginginkan ini? Apa kamu sudah benar-benar bisa untuk memimpin perusahaan?" tanya Cahaya, raut wajahnya dipenuhi keraguan.
Jasmine menghela nafas kas4r. "Mama meragukan aku? Sejauh ini Mama tau kan kalau aku sudah semakin ngerti dan bisa untuk memimpin perusahaan?
Selain itu juga perusahaan ini sudah jadi milikku, jadi harusnya nggak masalah dong kalau aku mau mimpin perusahaan ini kapan aja? Mama nggak bisa larang aku!" ketus Jasmine.
Cahaya mengusap keningnya, jari-jari tangan kanannya menelusuri garis-garis halus di sana. Dia menghela napas, menggeleng pelan. "Kamu mau kapan mengambil alih perusahaan ini, Jas?" tanya Cahaya kemudian.
Jasmine tersenyum miring, matanya tajam. "Minggu depan," jawabnya singkat, tegas.
**********
Di sudut dapur kantor, Arjuna sedang menyapu lantai. Sapuannya terasa berat, tak seperti biasanya. Bisik-bisik para rekan kerjanya terdengar jelas di telinganya, semua tentang video viral dirinya dan Cahaya yang beredar beberapa waktu lalu.
Wajah Arjuna memerah, matanya berkaca-kaca. Ia ingin menghilang saja, menghindari tatapan dan bisikan-bisikan yang menvsuk hatinya.
"Eh, Lo tau Arjuna pacaran sama Bu Bos. Mereka udah asek-asek di ruangan Bu bos."
Karyawan lain menambahkan, "Ish, gil4 bener. Selera Bu Cahaya nggak banget ternyata. Masa OB kayak Arjuna gini di jadiin pacar. Apa Arjuna godain Bu Cahaya duluan ya makanya Bu Cahaya mau nemplok?"
Bisik-bisik mereka memang pelan, tapi cukup keras untuk didengar Arjuna. Posisinya yang sedang menyapu dan jarak mereka yang tak terlalu jauh membuat Arjuna tak bisa menghindar dari bisikan-bisikan itu.
"Huh, setelah ini kayaknya hidup gue bakal jauh lebih sulit. Apalagi kalau setelah...Oh Tuhan! Kalau video ini sampai ke Luna gimana? Terus Luna yang kasih video itu ke ibu? Bisa-bisa di coret gue dari daftar kartu keluarga. Argh!" Arjuna menjerit dalam hati.
Dia lupa soal Luna, adiknya yang doyan sekali main medsos, terutama aplikasi ungu itu. Luna rajin mengunggah video dan foto, sehingga pasti selalu online. Jika Luna mengetahui video itu dan memberitahukannya kepada Ibu, Ibu pasti akan marah-marah.
Lalu? Lalu bagaimana? Pikiran Arjuna menjadi kacau balau. Ia tidak fokus menyapu, ingin meninggalkan sapu dan melarikan diri dari kantor. Tapi masih jam kerja, belum bisa kabur. Terus sore nanti ada kelas di kampus. Argh!
Tiba-tiba, ponsel Arjuna bergetar. Ia buru-buru menyelipkan sapu ke sudut dinding dan meraih ponselnya. "Luna!"
Degup jantungnya semakin cepat saat melihat nama Luna tertera di layar. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab panggilan.
Bersambung ...