Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 31
Di ruang pengawasan...
Theodore duduk di depan layar, wajahnya tenggelam dalam cahaya biru dari monitor yang terus berkedip. Tangan kurusnya mengetik cepat di keyboard, berusaha menelusuri jejak digital yang mungkin bisa memberi petunjuk.
Namun, sesuatu tidak beres.
Banyak data yang hilang. Rekaman malam kejadian itu terpotong di beberapa bagian, seolah ada seseorang yang dengan sengaja menghapusnya.
Theodore menghela napas panjang, menekan pelipisnya.
"Ini bukan kebetulan."
Saat ia kembali menelusuri file, suara pintu terbuka membuatnya tersentak. Ia menoleh cepat, tubuhnya menegang.
Dante berdiri di ambang pintu, mengamati ruangan dengan santai, rokok menyelip di sudut bibirnya. “Kau tampak gelisah.”
Theodore menghela napas, berusaha terlihat tenang. “Hanya mencoba mencari rekaman malam itu. Tapi banyak yang hilang.”
Dante berjalan mendekat, menepuk bahu Theodore dengan ringan. “Kadang, yang tidak bisa kita lihat justru lebih menarik.”
Theodore menatapnya tajam. “Kau pikir ini kerjaan orang dalam?”
Dante mengangkat bahu, lalu duduk di meja seberang. “Kalau kau bertanya begitu, berarti kau juga mulai berpikir ke arah yang sama, kan?”
Kembali ke Amina...
Setelah Lorenzo pergi, Amina kembali menatap ukiran simbol itu. Pikirannya berputar, mencoba menghubungkan potongan-potongan yang masih terpisah.
Ia merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya, dan mengetik pesan cepat.
Amina: Kita perlu bicara. Segera.
Tak butuh waktu lama, ponselnya bergetar.
Theodore: Aku tahu. Aku menemukan sesuatu.
Amina langsung beranjak dari ruangan.
Di atap gedung...
Angin malam menusuk kulit saat Amina tiba di atap. Theodore sudah menunggunya di sana, duduk di pinggir dengan kaki menggantung, ekspresinya tegang.
“Kau bilang kau menemukan sesuatu,” kata Amina langsung.
Theodore mengangguk, lalu menunjukkan ponselnya. “Sebagian besar rekaman malam kejadian hilang. Tapi aku menemukan satu potongan kecil yang tersisa.”
Ia menekan tombol play.
Gambar buram muncul di layar. Seorang pria berdiri di lorong yang remang-remang. Wajahnya tidak terlihat jelas, tapi yang menarik perhatian Amina adalah sesuatu di tangannya.
Sebuah pisau berlumuran darah.
Dan di dinding di belakangnya, samar-samar terlihat simbol yang sama.
Amina menahan napas. “Ini bukan pembunuhan biasa.”
Theodore menatapnya. “Aku tahu.”
Mereka saling berpandangan, lalu Theodore berkata pelan, “Dan kurasa... kita sedang diawasi.”
Amina merasa bulu kuduknya berdiri.
Mereka tidak sendirian.
Dan seseorang di dalam markas... mungkin sedang menunggu mereka melakukan kesalahan.
******
Langit malam menghitam sempurna, hanya dihiasi bintang-bintang yang tampak enggan bersinar. Udara dingin menusuk, menyusup ke sela-sela pakaian Amina, tapi bukan itu yang membuat tengkuknya meremang.
Ada sesuatu di udara. Sebuah ketegangan tak kasat mata.
Suara langkah kaki bergaung di lorong sempit markas mafia. Biasanya, tempat ini dipenuhi suara gelas berdenting, percakapan lirih, atau gelak tawa kasar para anggota yang tengah bersantai. Tapi malam ini berbeda.
Terlalu sunyi.
Amina menyandarkan tubuhnya ke dinding, mencoba membaca situasi. Dia bisa merasakan tatapan Lorenzo menusuk dari kejauhan. Dia tahu pria itu sedang memperhatikannya, menimbang-nimbang, menunggu dia melakukan kesalahan.
Dan Theodore?
Amina menghela napas. Theodore yang dulu selalu sigap membantu kini terasa semakin jauh. Setiap kali dia mencoba berbicara, jawaban yang diterimanya pendek dan dingin, seolah ada sesuatu yang ingin pria itu sembunyikan.
"Sial, ada yang tidak beres," pikirnya.
Dante bersandar pada dinding bata yang dingin, kedua lengannya terlipat di depan dada. Cahaya lampu redup di lorong hanya cukup untuk memperlihatkan ekspresi serius di wajahnya—sesuatu yang jarang terlihat. Matanya yang tajam menatap Amina lekat-lekat, seperti sedang menimbang apakah dia bisa dipercaya atau tidak.
Amina menyesuaikan posisi hijabnya, menunggu Dante berbicara. Tapi pria itu hanya diam, bibirnya terkatup rapat seolah ragu untuk mengatakan sesuatu. Itu tidak biasa.
“Ada yang ingin kau katakan, atau kita akan berdiri di sini sepanjang malam?” Amina akhirnya membuka suara, mencoba mengusik keheningan.
Dante menghela napas, menyandarkan kepalanya ke dinding sebelum akhirnya berujar pelan, “Kau masih ingin hidup, kan?”
Amina menaikkan alis. “Pertanyaan macam apa itu?”
Dante menatap ke arah lorong gelap di belakang mereka sebelum kembali fokus ke Amina. “Kalau begitu, dengarkan aku baik-baik. Jangan membuat gerakan bodoh. Jangan mempercayai siapa pun. Bahkan orang yang menurutmu tidak akan menusukmu dari belakang.”
Amina menyipitkan mata, mencoba menangkap maksud tersirat di balik kata-kata Dante. “Kau berbicara seolah kau tahu sesuatu yang aku tidak tahu.”
Dante tertawa kecil, tapi tidak ada humor di matanya. “Detektif, aku tahu banyak hal yang kau tidak tahu.”
Amina mendekat, suaranya merendah. “Seberapa buruk situasinya?”
Dante menghela napas, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, hampir berbisik, “Seseorang di dalam sedang bermain api. Dan api itu semakin besar. Jika kau tidak hati-hati, kau akan terbakar bersama mereka.”
Amina merasakan bulu kuduknya berdiri. Ada sesuatu dalam cara Dante berbicara yang membuatnya tidak nyaman, sebuah perasaan bahwa mereka tidak sedang membahas sesuatu yang kecil.
Sebelum Amina bisa bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki terdengar mendekat. Dante mundur selangkah, ekspresinya berubah santai seolah mereka baru saja bercakap ringan.
Lorenzo muncul di ujung lorong, matanya menyipit saat melihat mereka berdua. “Amina,” suaranya datar. “Alexander mencarimu.”
Amina menatap Dante sekilas sebelum mengangguk. “Aku akan ke sana.”
Saat dia berbalik untuk pergi, suara Dante menyusulnya dengan nada ringan, tapi sarat makna.
“Berhati-hatilah, Detektif.”
Amina tidak menjawab. Tapi dalam hatinya, dia tahu, peringatan itu bukan sekadar basa-basi.
Pagi berikutnya…
Markas mafia terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun matahari sudah mulai naik di langit. Suara derap langkah berat dan perintah singkat menggema di seluruh ruangan. Semua orang bergerak cepat, seperti tentara yang bersiap menghadapi perang.
Amina berdiri di tepi ruangan, memperhatikan para anak buah Alexander menyisir setiap sudut markas. Mereka menggeledah meja, memeriksa dokumen, bahkan mengecek senjata yang ada di gudang.
Theodore berjalan ke arahnya, ekspresi wajahnya lebih gelap dari biasanya. “Alexander sudah memutuskan. Dia ingin pencarian besar-besaran. Tidak ada yang boleh keluar dari kota sampai dia menemukan siapa pelakunya.”
Amina melipat tangan di depan dada. “Itu artinya dia tidak percaya pembunuhnya berasal dari luar.”
Theodore mengangguk, rahangnya mengeras. “Ya. Dia yakin seseorang di dalam yang melakukannya.”
Amina menggigit bibirnya. Ini buruk. Jika Alexander sampai salah menuduh seseorang, maka nyawa orang itu sudah bisa dihitung dengan jari.
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.