NovelToon NovelToon
Traces Behind The Shadows

Traces Behind The Shadows

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Mata-mata/Agen / Harem
Popularitas:852
Nilai: 5
Nama Author: Yes, me! Leesoochan

Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.

Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.

Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 15

Langkah kaki Amina bergema di jalanan yang basah oleh embun malam. Udara dingin menusuk, membawa aroma tanah dan asap tipis dari kedai-kedai kopi yang sudah hampir tutup. Kota yang biasanya penuh kehidupan kini terasa asing, seperti labirin yang penuh bayangan mencurigakan.

Dia menarik napas dalam. Tetap tenang. Jangan panik.

Tapi, entah mengapa, ada sesuatu yang menggelitik instingnya, perasaan samar yang membuat tengkuknya meremang. Sejak pertemuannya dengan Lucien, segalanya terasa lebih berbahaya. Jika seseorang benar-benar ingin menjebaknya, mereka pasti sudah mengawasi setiap gerakannya.

Amina mempercepat langkahnya, berusaha untuk tidak menarik perhatian. Namun, saat berbelok ke gang sempit, suara gesekan sepatu di belakangnya membuatnya terhenti.

"Seseorang mengikutiku."

Tangannya langsung meraba saku mantel, memastikan pistol kecilnya masih ada. Jangan langsung bereaksi. Buat seolah-olah kau tak menyadarinya.

Dia melangkah lebih jauh ke dalam gang, lalu dengan gerakan cepat, melompat ke sisi jalan dan menempel di dinding bangunan tua. Matanya menajam, menelusuri kegelapan.

Keheningan.

Hanya suara angin yang berbisik di antara bangunan.

Amina mengerutkan kening. Kalau ini hanya paranoia, kenapa jantungnya berdetak sekencang ini?

Perlahan, dia berbalik, siap menghadapi apa pun yang muncul. Namun, gang itu kosong. Tak ada siapapun.

"Tapi aku yakin mendengar langkah tadi…"

Dia menahan napas sejenak, lalu menghembuskannya pelan. "Fokus, Amina. Ini bukan pertama kalinya dia merasa diikuti. Dan kemungkinan besar, bukan yang terakhir."

Setelah perjalanan yang terasa lebih panjang dari biasanya, Amina akhirnya tiba di kantornya, sebuah apartemen kecil di lantai dua dengan papan nama sederhana bertuliskan A. Nawawi – Investigasi Pribadi.

Begitu dia mendekati pintu, nalurinya langsung berteriak peringatan.

Pintu apartemennya sedikit terbuka.

Dada Amina menegang. Dia selalu memastikan pintunya terkunci sebelum pergi. Tidak ada alasan bagi pintu itu untuk terbuka.

Jari-jarinya meraih gagang pintu, lalu dia mendorongnya perlahan.

Ceklek.

Ruangan itu berantakan. Buku-buku berserakan di lantai, laci-laci terbuka dengan isinya dihamburkan, dan meja kerjanya seperti baru saja dihantam badai.

Amina berdiri diam di tengah apartemennya yang berantakan. Tangannya mengepal, mencoba menahan rasa frustrasi. Siapa pun yang masuk ke sini, mereka tahu persis apa yang mereka cari. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, tidak ada pecahan kaca. Semua laci terbuka, setiap dokumen diacak-acak dengan cermat.

Matanya tertuju pada selembar kertas di atas meja. Tinta hitamnya masih basah.

"Datanglah jika ingin tahu kebenaran."

Dia mendesah. Tentu saja ini jebakan. Tapi masalahnya, dia tidak punya banyak pilihan.

Amina merogoh ponselnya dan mengetik pesan cepat untuk seseorang. Tapi sebelum dia sempat mengirimnya, layar ponselnya berkedip dan mati. Dia menatapnya dengan rahang mengatup.

"Serius?" gerutunya. "Mereka bahkan meretas ini juga?"

Otaknya berputar. Kalau mereka bisa mengakses ponselnya, artinya mereka tahu dia akan datang. Dia harus berhati-hati.

Lokasi yang tertera di undangan membawanya ke sebuah gedung tua di pusat kota. Cahaya lampu neon dari restoran di seberang jalan membuat bayangannya terpantul samar di trotoar basah. Malam terasa dingin, dan udara membawa aroma hujan yang tertunda.

Amina berdiri sejenak di depan pintu, merapikan hijabnya yang tertiup angin. Dia menarik napas dalam, lalu melangkah masuk.

Di dalam, ruangan itu terasa terlalu sunyi. Beberapa pria berjas duduk di sudut, menatapnya seolah sudah menunggunya. Amina mengamati mereka sekilas. Ada yang bermain kartu, ada yang pura-pura sibuk dengan minuman mereka. Tapi dia tahu lebih baik—mereka bukan orang biasa.

Dia baru saja melangkah lebih jauh ketika sesuatu yang dingin menekan punggungnya.

"Jangan bergerak."

Amina menghela napas. Tentu saja.

"Kalau aku bergerak, apa yang akan kau lakukan?" tanyanya santai.

Pria di belakangnya tertawa kecil. "Kau pikir ini lelucon, Detektif?"

"Sebenarnya, iya," jawab Amina, lalu dengan cepat menunduk dan menghantamkan sikunya ke perut pria itu.

Pria itu mengerang dan tersentak mundur, cukup bagi Amina untuk berbalik dan menangkap pergelangan tangannya. Senjatanya jatuh ke lantai, bergemerincing.

Saat dia bersiap untuk melumpuhkannya, suara lain menghentikannya.

"Sudah cukup."

Amina menoleh.

Dari kerumunan, seorang pria melangkah maju. Matanya tajam seperti elang, wajahnya setengah tertutup bayangan. Jas hitamnya rapi, tapi ada sesuatu yang liar dalam sorot matanya.

Lorenzo.

"Detektif Amina," katanya, suaranya rendah dan tenang. "Akhirnya kita bertemu."

Amina menyesuaikan posturnya, tetap waspada. "Kalau aku tahu kau ingin bertemu, aku akan membawa kue."

Beberapa orang terkekeh pelan. Lorenzo tersenyum miring.

"Kau lucu," katanya. "Tapi ini bukan waktu untuk bercanda."

Sebelum Amina bisa menjawab, suara lain memotong.

"Dia tidak bisa dipercaya."

Michael.

Pria itu melangkah ke depan, menatap Amina dengan penuh kecurigaan.

"Semua jejak pembunuhan mengarah padanya," katanya. "Bagaimana kalau dia yang mengatur semua ini?"

Amina mengangkat alis. "Oh, tentu saja," katanya, suaranya sarat ironi. "Aku masuk ke apartemenku sendiri, mengacak-acak tempatku sendiri, lalu mengirim undangan untuk menjebak diriku sendiri. Brilian."

Michael menggeram. "Jangan main-main denganku."

Lorenzo mengangkat tangan, menenangkan situasi.

"Kita butuh jawaban," katanya. "Amina, apa yang sebenarnya kau ketahui?"

Amina menatap mereka satu per satu. Jika dia berbicara, dia harus memastikan dia tidak memberikan terlalu banyak.

"Aku tahu ada pihak ketiga yang bermain," katanya akhirnya. "Dan mereka lebih licik dari yang kalian kira."

Ruangan sunyi sejenak.

Lorenzo menyilangkan tangan di dadanya. "Lanjutkan."

Amina mengambil napas. "Semua korban bukan hanya terhubung dengan mafia. Mereka juga memiliki hubungan dengan seseorang dari luar lingkaran kriminal ini. Seseorang yang ingin memanipulasi situasi dari balik layar. Mereka tidak hanya membunuh—mereka menciptakan perang."

Michael mendengus. "Dan kau punya bukti?"

Amina menyeringai. "Kalau aku punya, aku sudah menyerahkan kalian semua ke polisi."

Beberapa orang tertawa kecil.

Lorenzo mengamati Amina dengan seksama. "Kalau begitu, kenapa mereka ingin menyingkirkanmu?"

Amina terdiam sejenak.

"Itu yang juga ingin kutahu," katanya pelan.

1
ceritanya bagus nuansa Eropa kental banget,
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!