Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32.
"Rania, kamu tidak apa-apa? Apa yang telah terjadi samamu." Arbian bergegas menghampiriku. Heran, secepat itukah dia kemari. Apa Bastian yang memberitahunya.
"Aku tidak apa-apa, cuma lecet di dahi saja."
"Kok bisa kamu alami kecelakaan. Siapa pria itu?" netranya menyipit melihat Bastian yang tertidur di sofa. Ekpresi curiganya sungguh tak sedap dipandang mata.
"Bastian," sahutku datar. Membuat bola matanya membulat sempurna, nyaris keluar. Senyum sinis tersembul disudut bibirnya entah bermakna apa. Tepatnya itu adalah senyum mengejek.
"Harusnya kamu hati-hati pergi dengan pria asing. Biar bagaimana pun kamu itu masih istriku." Arbian menatap sekilas ke arah Bastian. Selelap itukah tidurnya? Apa semalaman dia begadang menjagaku. Tidak mungkin Bastian tak mendengar keributan kecil ini.
Apakah Bastian berpura-pura tidur, dan menyimak semua percakapan yang terjadi diruangan ini. Ataukah dia sedang tidak baik-baik saja karena lengannya juga terluka.
"Kalau cuma mau menuduh asal, mending tidak usah kemari," dengusku kesal. Aku tidak suka nada bicaranya yang penuh tuduhan itu.
"Nyatanya kamu memang masih istriku. Tapi bisa-bisanya kamu tinggal satu atap dengan pria yang baru kau kenal," serunya ngegas. Seakan lupa dengan prilakunya sendiri.
Dia tau persis status pernikahan kami. Ibu mertua dan adik ipar juga sudah tau kalau selama ini kami hanya bersandiwara. Aku pergi dari rumah karena ulahnya juga. Tapi nada bicaranya seolah sandiwara yang kami mainkan selama ini belum terbongkar. Dasar pria manipulatif!
"Jika memang kamu juga seorang suamiku, kapan hari kamu memperlakukan aku sebagai istri. Tentu tidak akan ada nama perempuan lain dihatimu." balasku. Wajah itu memerah seperti kepiting rebus. Dia pikir aku tidak akan berani membalasnya dihadapan adik ipar dan ibu mertua.
Dia mungkin sengaja hendak memicu emosiku, sehingga mereka melihat seperti apa aku sebenarnya. Dia pikir aku masih peduli? Selama ini aku bertahan karena menjaga perasaan ibu mertua, karena beliau memang mengasihiku. Tapi apa arti semua itu jika aku hanya berpura-pura menjadi menantu.
"Dih, Bang Arbi gimana sih, kok ngomong seperti itu sama Kak Rania. Yang memulai masalah siapa, gak jelas." celetuk Mery. Membuat wajah Arbi makin memerah.
"Sudah, jangan berisik. Ini di rumah sakit." sela ibu mertua menengahi.
"Dasar adik tidak punya ahklak, bukannya belain kakak sendiri, malah buka aib." kecam Arbi menatap tajam adiknya.
"Yang salah kok dibela." Mery meleletkan lidahnya kesal.
"Sudah, Mery. Malah ngotot." Ibu mertua menoel lengan Mery. Mery bungkam lalu memainkan ponselnya.
"Ra, Inang mohon, kamu kaji ulang keputusan kamu itu. Maksud Inang, bicara jangan pakai emosi. Biar masalah tidak makin runyam. Sudah bagus kalau kamu berencana pindah. Itu demi kebaikanmu juga."
Beberapa saat suasana diantara kami hening. Aku melihat tubuh Arbian bergerak, lalu dia membuka kedua matanya. Spontan dia bergerak duduk ketika menyadari kalau bukan hanya kami berdua saja di dalam ruangan.
"Eh, ada Ibu dan Mery. Arbian juga." Bastian berdiri, tapi langkahnya oleng karena separuh nyawanya masih melayang. Bastian mengusap kepalanya. Mengangguk hormat pada ibu mertua.
"Sudah lama, Bi?" sapanya santai pada Arbian. Tapi sikap Arbian malah sebaliknya.
"Kamu apakan, Rania, Bas!" sebutnya gusar.
"Maaf, Bi. Aku menghindari anjing yang mau nyebrang."
"Untung lukanya cuma lecet, kalau tidak aku aku akan bawa ini ke jalur hukum." ancamnya mengintimidasi.
"Namanya saja kecelakaan Bi, mana ada yang disengaja."
"Cukup." Arbian mengibaskan lengannya ke arah Bastian. Sikapnya membuatku muak.
"Aku mau membawa Rania pulang kembali. Jadi urusanmu cukup sampai disini." Sikap arogan Arbian membuat emosiku meletup.
"Oke, tapi aku ingin dengar sendiri dari Rania, kalau dia mau pulang bersama kamu."
"Rania tidak perlu minta izin dari kamu, dia adalah istriku! Jadi kamu tidak perlu campur tangan!"
Kedua pria itu saling mengintimidasi satu sama lain. Aku cemas akan terjadi sesuatu seperti di rumah Bastian kemarin. Aku mencoba duduk, tapi kepalaku mendadak pusing.
"Jika mau memperingatkan aku sudah terlambat, Bi. Keselamatan Rania juga sudah menjadi tanggung jawabku."
"Hahaha ... Justru Rania terluka ditanganmu. Kamu berani bicara soal tanggung jawab!" gertak Arbi meradang.
"Benar, secara fisik Rania terluka saat bersamaku. Tapi itu adalah kecelakaan. Beda dengan kamu yang menyakiti dia secara psikis dan mentalnya. Dan sadisnya kamu sengaja melakukannya. Kamu adalah pria bej*d." Bastian menodongkan telunjuk jarinya ke dada bidang Arbian. Membuat emosi Arbian kian memuncak. Tanpa sada dia mencekal lengan Bastian
"Kamu, sudah terlalu jauh mencampuri urusan rumah tanggaku!"
"Cukup! Hentikan Bas!" teriakku dan mencoba turun dari ranjang. Tapi selang infus membuat gerakku terhalang. Aku tidak ingin kedua pria itu adu jotos lagi. Apalagi saat ibu mertua menyaksikan sendiri.
"Kak Rania!" teriakan Mery mengalihkan perhatian kedua pria itu. Sementara tubuhku telah limbung jatuh. Menit berikutnya akan menghantam lantai. Aku menutup mataku ngeri. Membayangkan kepalaku yang akan lebih dulu menyentuh lantai.
Beberapa detik aku menahan napas, kenapa aku tidak merasakan sakit. Kenapa tubuhku tidak menyentuh lantai. Apakah rohku sudah terbang.
Perlahan aku membuka kedua mataku. Ketiga wajah itu menatapku dengan ekpresi yang hampir sama. Tatapan kaget dan cemas.
Mana Bastian?
Deg!
Eh, kok aku dalam pelukan seseorang. Ternyata tubuhku tidak menyentuh lantai. Lengan kokoh tengah memelukku erat. Sepersekian detik aku tersadar, ternyata seseorang telah menahan tubuhku.
"Aduh!" Lenguhan sakit itu membuat tubuhku bergerak refleks. Aku berdiri dan melihat Bastian yang terbaring di lantai menahan tubuhku.
"Berat juga tubuhmu, Ra," candanya membuatku jengah karena ibu mertua melihat sendiri aku dalam pelukan Bastian.
"Kamu tidak apa-apa, Ra, syukurlah. Kalau saja Nak Bastian tidak sigap menolongmu, entah apa yang akan terjadi padamu." Ibu mertua mengulurkan tangannya dan membimbingku kembali ke ranjang.
"Kamu lihat Arbi, hampir saja Rania celaka karena keegoisan kamu." Umpat ibu mertua.
"Kamu tidak apa-apa Mas. Maksudku lengan, Mas." Pasti lengannya itu tambah sakit karena menopang tubuhku tadi.
"Tidak apa-apa. Lebih dari sini sudah biasa aku alami." candanya. Namun, tidak membuatku lega. Karena jelas aku melihatnya seperti menahan sakit. Bahkan ada darah merembes di perban itu.
"Tapi Mas, sepertinya perbannya berdarah. Baiknya diperiksa dulu. Suster, tolong lengannya diperiksa," pintaku saat dua orang suster perawat memasuki ruanganku.
"Baik Bu, mari Pak." seorang suster lalu memeriksa perban dan memang luka di lengan Bastian berdarah.
"Sepertinya jahitannya ada yang lepas ini, Pak. Mari Pak kita ke ruang IGD."
Suster itu dan Bastian keluar ruangan untuk mengobati lukanya. Aku menghela napas.
"Aku tetap pada keputusanku untuk bercerai. Kuharap kamu bisa menghormati keputusanku itu." Aku menatap wajah Arbian, menentang manik matanya yang sulit kuartikan. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor