Ellara, gadis 17 tahun yang ceria dan penuh impian, hidup dalam keluarga yang retak. Perselingkuhan ayahnya seperti bom yang meledakkan kehidupan mereka. Ibunya, yang selama ini menjadi pendamping setia, terkena gangguan mental karena pengkhianatan sang suami bertahun tahun dan memerlukan perawatan.
Ellara merasa kesepian, sakit, dan kehilangan arah. Dia berubah menjadi gadis nakal, mencari perhatian dengan cara-cara tidak konvensional: membolos sekolah, berdebat dengan guru, dan melakukan aksi protes juga suka keluyuran balap liar. Namun, di balik kesan bebasnya, dia menyembunyikan luka yang terus membara.
Dia kuat, dia tegar, dia tidak punya beban sama sekali. itu yang orang pikirkan tentangnya. Namun tidak ada yang tahu luka Ellara sedalam apa, karena gadis cantik itu sangat pandai menyembunyikan luka.
Akankah Ellara menemukan kekuatan untuk menghadapi kenyataan? Akankah dia menemukan jalan keluar dari kesakitan dan kehilangan?
follow ig: h_berkarya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Baru
“Ada apa? Apa yang membuatmu memintaku untuk bertemu? Dia masih dalam kendali kita kan?" Di sebuah restaurant mewah, tepatnya di ruang VIP, mama Luna dan Dokter Elis sedang berbicara berdua sembari menikmati makan siang.
Mereka berdua terlihat sangat akrab, seperti dua teman lama yang kembali bertemu.
“Untuk saat ini masih, tapi aku tidak tahu beberapa hari ke depan,” jawab Dokter Elis dengan wajah yang terlihat khawatir. Dia terus memainkan sendoknya, mengunyah makanan dengan malas.
Mendengar itu, Mama Luna menatapnya bingung. Dia tidak mengerti maksud dari Ucapan Dokter Elis.
“Apa maksudmu untuk beberapa hari ke depan? Bukankah kamu selalu mempengaruhinya? Oh ayolah Lis, sudah lama dia dalam kendali kita, itu sangat mudah, bukan?” ujar Mama Luna. Dia masih percaya seratus persen, bahwa mudah untuk mereka mengendalikan semuanya.
Dokter Elis menggeleng, wajahnya terlihat malas untuk sekedar menjelaskan.
“Elis, jelaskan sedetailnya! Aku bukan cenayang yang bisa membaca maksud kamu” pinta Mama Luna dengan wajah cemberut.
“Ada orang lain yang ikut campur sekarang, Lun. Aku tidak hanya takut tentang kesembuhan Wanita itu. Aku juga takut kalau kita akan terbongkar, dan tidak bisa di bayangkan apa yang akan terjadi setelahnya,” Tidak bisa di pungkiri, semenjak kedatangan Dokter Delon yang menemuinya di ruang pribadi tadi, perasaan Dokter Elis mulai takut.
Ada rasa yang tidak bisa dia jelaskan, yang jelas perasaannya kurang baik.
“Siapa? Kalau hanya gadis kecil itu, dia tidak akan jauh mengambil tindakan Lis, kamu tenang saja” Mama Luna berujar santai sembari memasukkan sesuap demi sesuap makanan ke dalam mulutnya.
“Iya, aku tahu. Tapi kali ini keluarga Wijaya yang turun tangan—“
“WHAT??” pekik Mama Luna memekakan telinga. Untung di sana adalah ruang privat, jadi tidak ada orang yang melihat dan mendengar hal itu.
“Ta-tapi kenapa bisa? Mereka kan tidak ada hubungan apa apa dengan keluarga Copper. Bahkan selama ini, aku tidak pernah mendapatkan info kalau mereka dekat?” Mama Luna merasakan heran. Dia sampai menghentikan kunyahnya, menatap penuh tanya pada dokter Elis..
“keknya atas usulan dari putra mereka deh. Soalnya anak itu udah beberapa kali datang ke rumah sakit, dan pernah menemuiku” jelas dokter Elis.
“Gavin?”
“kamu kenal? Kok bisa tahu namanya?” Mama Luna memijat pangkal hidungnya benar dugaannya, pasti Gavin yang di maksud dokter Elis.
“Tapi, tunggu dulu. Bukankah dia temannya Melody?” Itu adalah pertanyaan yang hanya ada dalam hati wanita itu.
“Kamu tahu Lun, Dokter Delon yang bertugas di Singapura, dia yang akan menangani Bu Delina.” Lanjut dokter Elis, lagi lagi membuat Mama Luna membulatkan mata tak percaya. Ini tidak bisa di biarkan, wanita itu mulai merasa gelisah.
“Kita harus cari cara lain!” Ujarnya cepat.
“Cara apa? Jangan bawa bawa aku lagi ya! Aku nggak mau namaku makin terseret terus terusan!”
“Ck, terus kamu mau apa sekarang? Tidak mau ikut campur? Tidak bisa Lis, karena sekarang peran kamu yang di utamakan” jawab Mam Luna tak membiarkan dokter Elis mengambil ruang.
“Tapi—“
“shutttt, aku akan bayar berkali lipat!” Mama Luna mengarahkan telunjuknya di depan bibir dokter Elis, meminta Dokter itu untuk diam. Selanjutnya, mereka berdua berdiskusi tentang rencana yang akan mereka lakukan setelahnya.
.
...----------------...
Beberapa hari ini, Ellara benar benar tidak pulang ke rumah. Dia tidur di apartemen miliknya. Beberapa kali pergi mengunjungi Gavin di rumahnya.
Untuk Gavin sendiri, pria tampan itu sudah terhitung empat hari tidak pergi ke sekolah. Daddy Marvin sendiri yang berbicara pada pihak sekolah saat itu, karena Daddy Marvin takut kondisi Gavin yang belum stabil bisa saja menghebohkan sekolah.
Pria itu mengurung dirinya di dalam kamar, dia tidak berani keluar bahkan untuk sekedar menemui mami Nadia saja enggan.
Siang ini, Ellara kembali datang setelah pulang dari sekolah. Dia memarkirkan Brave di halaman rumah besar Wijaya.
Gadis itu berjalan santai, sembari menentang plastik berisi makanan di tangannya.
“selamat siang Non” sapa para pelayanan yang melihat kedatangannya. Ellara membalas mereka dengan senyum, kemudian pergi ke kamar Gavin.
Sudah terbiasa, dia masuk dan akan pergi sendiri ke kamar pria itu. Mami Nadia dan Daddy Marvin tidak membatasinya. Mereka malah meminta Ellara untuk tidak canggung jika datang ke sana. Bahkan, mereka juga memberi tahu para pelayan agar memperlakukan Ellara dengan sangat baik jika berkunjung.
Ceklek~~
Dia membuka pintu kamar Gavin. Kebetulan tidak terkunci, jadi Ellara tidak mengetuknya.
“Selamat sia— akhhhhh!!!” gadis itu berpekik lantang. Dia membalikkan tubuhnya secepat kilat, dengan mata di tutup.
Gavin yang melihat itu hanya tersenyum tipis, pria itu baru saja mandi dan sekarang sedang ganti pakaian.
“salah sendiri tidak mengetuk” guman Gavin pelan.
Usai berganti pakaian dengan yang cukup santai, pria itu meminta Ellara untuk masuk ke kamarnya.
“Nggak mau, aku pulang saja! Ini ada makanan, aku taroh di sini ya,” teriak Ellara dari depan pintu.
“Eh, kok malah pulang,” dengan cepat, Gavin keluar kamar.
“mau kemana?” suaranya menghentikan Ellara yang sudah berbalik badan hendak pergi. Dia menghampirinya.
“Kamu mau kemana, hmm?” seperti seorang pencuri yang tertangkap basah, wajah Ellara menunduk saat Gavin memegang tangannya. Bukan apa, masih tersisa rasa malu karena hal barusan.
“Aku mau pulang, lupa kalau hari ini ada janji menemani Ghea ke perpus” kilah Ellara mencari alasan. Tapi alasan itu tidak serta merta Gavin percaya. Dia menarik Ellara masuk ke kamar, mengunci pintu agar gadis itu tidak berusaha kabur.
“Ngapain di kunci?” tanya Ellara dengan wajah memerah. Gavin tidak menjawab, tapi pria itu menunduk, melihat wajah Ellara yang menggemaskan menurutnya.
“kenapa wajah ini memerah? Kamu pasti berpikiran mesum, iya kan?” goda pria itu. Setelah ingatannya kembali, Gavin memang lebih terbuka pada Ellara. Pria itu juga sudah menjelaskan semuanya tanpa Ellara minta saat itu. Tapi, itu hanya berlaku pada Ellara. Karena sikap dinginnya masih terlihat saat Daddy Marvin dan yang lainnya menemui dia di kamar kala itu.
“Ishh, apaan sih. Siapa yang mesum, sembarangan!” Jawab Ellara dengan bibir manyun. Dia mendorong Gavin menjauh, kemudian duduk di sisi ranjang.
Sementara Gavin, dia mengambil ponsel yang sudah lama tidak dia buka.
“Halo Vin” suara seseorang dari seberang sana.
“Ghea ada rencana mau ke perpus?” Tanya Gavin. Mendengar itu, Ellara membulatkan mata tidak percaya.
"..... "
“oke,” Gavin memutuskan sambungan teleponnya. Dia tersenyum tipis ke arah Ellara. Senyum yang memiliki banyak arti, membuat gadis itu bergidik.
“Ke- kenapa?” tanya Ellara kembali gugup.
“kamu melihat sesuatu tadi?” bisik Gavin dengan suara berat di telinga Ellara. Gadis itu membeku, dia menelan ludah susah payah.
“Bagian mana yang kamu lihat?” kembali, suara Gavin menyadarkannya. Pria itu menggigit pelan daun telinga Ellara, menciptakan rasa gelitik pada gadis itu.
Cepat cepat Ellara berdiri, menjauhkan dirinya dari Gavin.
“Apa yang kamu lakukan?” bentak gadis itu kesal. Gavin terkekeh pelan “ hanya menggoda,” jawabnya singkat.
Gavin mengambil kantong berisi makanan yang di bawakan Ellara tadi. Menyiapkan makanan itu di atas meja. Dia menuntun gadis itu untuk duduk, setelahnya mereka berdua makan bersama.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Kenapa diam? Anda sudah menyadarinya? Ya sudah, aku ke kam—"
Koreksi sedikit ya.